9. Hati yang Terbagi

13K 1.1K 143
                                    

"Suamik, bangun dong ...."

Usapan demi usapan sudah mendarat di lengan kokohnya, namun tak sedikitpun lelaki itu menunjukkan reaksi. Tidurnya terlampau lelap. Lagi-lagi Aysha tersenyum dibuatnya. Paras suaminya yang begitu teduh membuat hatinya berdesir oleh beragam rasa. Beban hidupnya terasa ringan dengan adanya lelaki ini di sisinya. Bunga-bunga kasmaran memenuhi dada. Semalam Aysha sangat terkesan dengan perhatian lelaki ini saat memijat kakinya yang pegal-pegal sampai ia terlelap. Bahkan Agam sudi menyambangi dapur hanya untuk membuatkan susu setiap kali Aysha enggan melakukannya.

Istri mana yang tak tertambat hatinya bila diperlakukan begitu baik?

Bolehkah Aysha berharap, bisa memiliki lelaki ini seutuhnya? Tanpa adanya bayang-bayang wanita lain?

"Sayang, bangun dong! Sudah lewat jam tujuh nih. Kamu harus ngantor, kan?"

Lelaki itu membuka matanya dan tersenyum sayu. "Baju gantiku di mobil!" ujarnya.

"Kamu mandi aja. Biar aku yang ambil bajunya dan sekalian cari sarapan."

Agam menurut. Beranjak dari sofa dan lekas masuk ke kamar mandi.

Aysha buru-buru merapikan selimut dan bantal yang baru digunakan suaminya, diletakkan di rak samping sofa. Setelahnya ia segera mengenakan hijab dan menyambar clutch. Diliriknya sekilas ranjang tempat Abyan berbaring sebelum melangkah menuju pintu dan keluar kamar.

Tak lama, Aysha kembali dengan membawa satu kantong plastik berisi makanan dan satu paper bag pakaian suaminya.

Ada seorang dokter dengan didampingi satu perawat tengah memeriksa Abyan. Tampak Agam ikut berbaur dan mengutarakan beberapa pertanyaan.

"Bisa. Tidak ada yang tidak mungkin, Pak. Yang penting kita tetap optimis dan berikhtiar, insyaallah Abyan bisa sembuh," ujar si dokter sekaligus menutup perjumpaan.

Aysha menyerahkan baju ganti pada lelaki yang baru saja membenarkan letak selimut anaknya. "Ganti dulu, habis itu sarapan."

"Tadi kamu dengar, kan, Ay ... apa kata dokternya Abyan?" Agam menangkap raut murung istrinya. Membuatnya tidak tahan untuk berkomentar. "Di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin. Jadi kamu harus optimis. Abyan pasti sembuh. Ayo, sini ... aku suapin! Jangan jadi mogok makan dan membuat bayiku kelaparan. Ayo, buka mulutmu!"

Aysha menerima suapan itu dan mengunyahnya pelan. Keduanya saling melempar senyum hangat. Hal yang sama juga ia lakukan. Mereka saling suap-suapan sampai seporsi menu tandas.

"Aku berangkat dulu, ya."

"Hem, Mas ... hem, nanti malam ...."

"Tunggu aku di rumah sebelah," lanjut lelaki itu seakan memahaminya.

Aysha berbinar. "Kemarin aku sudah berkemas nanti aku minta tolong Randi buat mindah kopernya boleh?"

Lelaki itu mengangguk. "Iya. Nyuruh dia aja."

Senyum Aysha terkembang sempurna. "Makasih, Mas. Dah, hati-hati di jalan."
.
.
.
Kinar baru sampai rumah selepas magrib. Ia memarkir Mini Coopernya di samping kendaraan Jeep milik suami. Seharian ini keduanya sama sekali belum bertemu. Meski sangat rindu tapi Kinar belajar membesarkan hati. Mencoba untuk terbiasa meski tatanan yang sudah terlanjur menjadi kebiasaan susah dihilangkan. Kinar berusaha menyadarkan dirinya jika kondisinya telah berbeda. Kini prioritas Agam bukan hanya untuknya seorang.

Semalam lelaki itu meminta izin untuk menyusul Aysha ke rumah sakit. Karena memang jadwal gilir lelaki itu bersama madunya. Kinar mengizinkan meski cemburu tak habis-habis mengganggu. Dan waktu terasa lambat berjalan mengingat suaminya tengah menghabiskan malam bersama wanita lain. Ranjang yang selama ini menjadi favorit Kinar melepas penat bersama suaminya, kini berubah dingin dan menyiksa.

Kinar tak langsung masuk. Sengaja mengamati lelaki itu dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka. Suaminya duduk di sofa samping ranjang. Seperti tengah mengerjakan sesuatu dengan iPad di pangkuannya, tapi tatapannya justru kosong ke depan. Kinar mengerutkan kening. Mas Agam melamun! Baru kali ini ia mendapati lelaki itu melamun.

Kinar berbalik menuju dapur. Berniat membuatkan kopi berbekal resep yang sudah ia kantongi dari Aysha. Kinar mengambil biji-biji kopi dan segera dieksekusi. Enak juga! gumamnya mencicipi. Pantas nagih, karena rasanya benar-benar memanjakan lidah. Berbeda dengan kopi-kopi sachet yang pernah ia konsumsi selama ini.

"Kopi ... kopi ...."

Agam kaget. Lelaki itu buru-buru meletakkan iPadnya di meja samping dan tersenyum menyambut sang istri. "Kamu sudah datang?"

"Lagi ngelamunin apa, Mas?"

Alis tebalnya terangkat. "Nggak ngelamun."

"Orang aku lihat sendiri dari tadi ngelamun. Sampai aku kelar bikin kopi masih ngelamun." Kinar menjatuhkan diri di samping lelaki itu sembari menganjurkan cangkir berisi kopi hitam panas.

"Apa ini? Kamu bikin kopi?" Agam menatap Kinar tak percaya. "Aku lagi nggak pengin kopi. Bikinin aku susu aja!" titahnya.

"Diminum aja itu. Udah terlanjur dibuatin juga."

"Aku lagi nggak pengin kopi."

"Cobain deh, dikit aja! Ini enak kayak bikinannya Mbak Aysha. Ayo!" Kinar mendekatkan cangkir itu di bibir suaminya.

"Nggak! Bukan kopi yang ku butuhkan. Sekarang badanku lagi loyo. Perutku perih."

"Ish ish!" Kinar merutuk.

"Kamu yang minum aja. Trus bikinin aku susu. Cepetan!"

"Hih, ogah! Bikin aja sendiri!"

Ekspresi lelaki itu yang tampak geregetan membuatnya semakin tampan. Kinar tersenyum geli.

"Yaudah, aku bikin sendiri!" katanya beranjak dari sofa.

"Kok marah sih gitu aja!" Kinar buru-buru memeluk perut keras lelaki itu dari belakang.

"Lepas, Ki!"

Kinar tak menghiraukan. Pelukannya malah semakin mengencang.

"Kamu emang nakal!" Agam menangkap lengan istrinya yang memenjara pinggang dan berbalik. Dengan sekali aksi lelaki itu mengangkat tubuh Kinar dan melemparnya ke ranjang. Agam merangkak di atas istrinya, kedua tangannya sibuk menggoda.

Ranjang bergoyang. Mereka terlibat pergulatan kecil. Kinar tak kuasa menahan geli. "Hahahaha, ampun, Mas! Ampun! Hahahaha."

"Nggak ada ampun! Sini, kamu! Cewek nakal!"

"Ah!"

Gelitikan itu berubah haluan. Agam dengan tergesa membuka kancing blouse istrinya satu persatu. Meloloskan semua yang perempuan itu kenakan sebelum menanggalkan pakaiannya sendiri.

Selanjutnya ....

Satu Hati, Dua Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang