5. Madu

12.1K 1.2K 105
                                    

Hidup memang tak mudah, hidup butuh perjuangan.

Mantra itu sengaja Kinar rapalkan berkali-kali hanya untuk menguatkan kakinya untuk tetap berdiri tegak. Terlahir yatim piatu, dan hidup di panti asuhan yang serba kekurangan. Dengan segala keterbatasan yang membuatnya harus berbagi. Tempat tidur, pakaian, makanan, Kinar sudah sangat akrab dengan kosa kata mengalah. Oleh sebab itu mengalah sekali lagi baginya, pasti takkan sulit.

Kinar sadar hidupnya tak akan pernah mudah setelah merelakan suaminya menikah lagi. Meski jauh-jauh hari, sudah ia siapkan mental untuk hal yang satu ini, tapi saat melihatnya secara langsung, hati Kinar terasa hancur lebur. Rasanya seumur hidup baru kali ini ia merasakan sakit yang benar-benar tak terkendali. Sakit namun tak berdarah.

Perhatian suaminya yang dulu hanya tercurah padanya, harus dibagi dengan perempuan yang kini berstatus madu. Tubuh kokoh itu, bahu lebar yang menjadi favorit Kinar saat ingin bermanja, bukan lagi milik seutuhnya. Juga paras tampan dan senyuman suaminya, semua yang dulu hanya milik Kinar, harus dibagi seadil-adilnya. Dan tangan yang kini hinggap di pinggang sang madu, yang dulu hanya digunakan untuk menyentuhnya, sekarang harus ia relakan pula.

Begitulah, sejak dua bulan terakhir ini.

Dapur yang dulu menjadi tempat paling Kinar sukai untuk dedikasinya sebagai istri, kini seolah angker, menjadi tempat yang paling Kinar takutkan. Di dapur ini lah, untuk yang pertama kalinya Kinar menyaksikan adegan romansa suaminya dengan perempuan lain.

Oh ayolah, Ki! Aysha juga istri suamimu. Mereka dua manusia yang halal dan sah. Mereka bebas melakukan apa saja, kapan saja dan di mana saja. Ingat, ini juga rumahnya! Lagi pula, apa kamu lupa? Kamu yang sudah membawa Aysha masuk ke dalam rumah tanggamu. Kamu pula yang menawarkan wanita lain untuk suamimu. So, buang jauh-jauh sifat cengengmu. Jangan jadi pengecut. Terima konsekuensinya!

Namun, entah mengapa, untuk ukuran pasangan yang baru mengenal, di mata Kinar, kedekatan mereka terasa sangat ganjil. Kinar merasa seolah mereka sudah lama saling kenal satu sama lain. Tapi Kinar mengabaikan rasa penasarannya itu.

Salahkan dirinya, saat suaminya menawarkan membeli satu unit lagi untuk si madu tepat di samping kediamannya, ide tinggal bersama justru muncul dari otak Kinar sendiri. Alasannya, agar suaminya tak perlu mondar-mandir hanya untuk melakukan jadwal gilir. Sekarang Kinar menyesali keputusannya yang impulsif itu. Seharusnya ia tak menolak, jika ingin jantungnya tetap waras sampai tua.

Saat ini Kinar sedang berdiri di balik pintu masuk dapur. Berulang kali ia menarik napas dan membuangnya pelan. Detak jantungnya yang menggila ia coba tebas paksa. Tak lupa menarik kedua sudut bibir ke atas sebelum melangkah masuk dengan santai seolah tak terpengaruh oleh pemandangan sekitar.

"Belum ada yang ngalahin enaknya kopi buatanmu," celetuk suara yang sangat Kinar kenal pemiliknya.

"Yang bener? Bilang aja pengin dibuatin tiap hari kan? Nggak usah pakai ngegombal bakalan aku buatin tiap hari. Jangan khawatir."

"Lagi masak apa, Mbak? Kelihatannya enak. Harum banget dari luar." Kinar membaur. Dan benar saja, suasana seketika hening. Tangan suaminya yang berada di pinggang sang madu langsung menjauh. Terlihat jelas lelaki itu kaget oleh kehadirannya. Tapi Kinar pura-pura abai.

"Eh, ini! Tadi di kulkas ada daging. Ku pikir hujan-hujan enak makan yang berkuah." Sambut perempuan itu sambil tersenyum kalem.

Kinar mengangguk-angguk. "Wah, mantap! Kalau masalah masak-memasak Mbak Aysha nggak diragukan lagi, emang jagonya. Nih ya, semenjak ada Mbak Aysha menu makan di rumah ini jadi nggak monoton. Koki restoran pun lewat sama rasanya."

Senyum perempuan itu semakin lebar.

"Seriusan deh, Mbak. Aku tuh manusia paling rasional, nggak suka peres. Kalau ku bilang masakan Mbak Aysha enak ya berarti enak beneran. Lidahku itu pemilih soalnya."

Kinar meraih irus, mencicipi kuah soto dengan menuangkan pada telapak tangannya yang sudah ia cuci bersih. "Nah kan, parah! Ini enak banget. Mas! Coba deh, ini kesukaanmu banget pasti."

Ia lantas beralih pada lelaki yang sedari tadi lebih banyak diam. Kinar berusaha membesarkan hatinya untuk mengusir canggung. "Enak, kan?" tanyanya.

Lelaki itu mengangguk dua kali. Ekspresi wajahnya aneh, sulit diartikan.

"Sekarang kalau pengin soto nggak usah nyari jauh-jauh, cukup minta sama istrimu, Mas." Kinar menjawil lengan lelaki itu sembari mengerling pura-pura menggoda, padahal hatinya bagai terkoyak. Ada perasaan tak rela saat menonjolkan kelebihan perempuan lain yang bisa mendapat nilai tersendiri di hati suaminya.

Dada Kinar bergetar hebat. Tubuhnya terasa lemas karena cemburu. Ya Allah, ternyata seperti ini rasanya memiliki madu.
.
.
.
"Mama kapan datang?" Kinar langsung menjatuhkan diri di sisi mertuanya, usai mencium punggung tangan.

"Sudah dari sejam yang lalu. Tadi Mama sarapan duluan sama Aysha. Dia keburu mau ke rumah sakit."

"Itu apa, Ma?" tunjuk Kinar pada bungkusan di depannya.

"Buah-buahan. Mangga sama apel Batu." Ibu mertuanya menatapnya penuh sayang. Salah satu tangannya yang hampir keriput mengusap perut sang menantu. "Semoga cepet nular, amin!"

Kinar langsung terpaku. Antisipasi datang memenuhi jantungnya. "Mbak Aysha, hamil, Ma?"

"Kamu nggak tahu? Belum dikasih tahu sama Masmu?"

Kinar menggeleng. Mulutnya terasa kelu. Banyak rangkaian kalimat yang menyerbu batinnya. Semudah itu kah, Allah? Semudah itu Engkau menurunkan amanahmu. Belum genap tiga bulan mereka menikah, sedangkan diriku? Enam tahun. Banyak rintangan, bahkan hujan terik badai sudah ia lalui lebih lama bersama suaminya. Berbagai macam cara mulai dari terapi obat, melakukan segala saran yang diberikan dokter, dan yang terakhir program bayi tabung. Tapi hasilnya nihil.

Allah, bolehkan aku iri untuk yang satu ini? Sungguh aku benar-benar iri!

"Usianya delapan minggu. Nanti sesekali temani dia periksa ya, Sayang? Kalau pas kamu lagi nggak sibuk."

Setelah ibu mertuanya pulang, Kinar buru-buru naik ke lantai atas mencari keberadaan suaminya.

"Mas Agam!"

Lelaki itu tampak kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba sudah berada di dalam ruang kerja.

"Mbak Aysha hamil, Mas?" bisik Kinar parau. Seolah ada gumpalan yang menyumbat tenggorokannya. Sakit.

Lelaki itu tidak menjawab. Parasnya sendu, tidak terlihat bahagia seperti yang seharusnya dirasakan.

"Selamat, Mas ... selamat! Sebentar lagi kamu akan jadi ayah."

Satu Hati, Dua Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang