17. Permintaan Mama

16.8K 1.4K 305
                                    

Agam baru saja dipindahkan ke ruang perawatan setelah berhasil menjalani operasi apendektomi. Kinar sedikit menyesal karena sudah meremehkan sakit yang dikeluhkan suaminya. Jika ia tahu akan berujung di ruang operasi, mungkin ia tidak akan pernah sesantai tadi.

"Latifa! Sori aku beneran nggak bisa datang. Suamiku baru aja kelar operasi usus buntu. Dia nggak mau ditinggal. Aku juga udah ngabari Rianti. Sebenarnya nggak ada yang perlu dikhawatirin sih. Rianti udah sangat pengalaman. Hanya saja aku nggak enak sama yang lain. Kesannya ngentengin banget. Beneran, aku nggak akan absen kalau nggak ada halangan kayak gini."

Kinar menutup teleponnya setelah mengungkapkan alasan ketidakhadiran pada pembukaan acara bazar siang hari ini. Ia merasa tidak enak pada rekan desainer lain. Meskipun ia sudah memiliki asisten yang mumpuni untuk menghandel stand miliknya, tetap saja Kinar merasa perlu mengeceknya langsung.

Kinar memasukkan kembali ponselnya di dalam clutch. Tatapannya kini jatuh pada Aysha yang duduk di samping suaminya yang sedang terlelap. Perempuan itu tampak sangat terpukul. Tak jarang Kinar mendapati Aysha mengusap air matanya di sepanjang tindakan yang dilalui suaminya tadi. Meskipun Kinar juga merasakan sedih, tapi untuk menangis, rasanya terlalu berlebihan. Apendektomi bukan penyakit berbahaya dan harus dikhawatirkan. Jika ditangani dan segera disembukan, usus buntu tak akan menyebabkan penyakit serius.

"Sudah dong, Ay. Aku nggak apa-apa."

Kinar sempat tertegun di depan pintu saat ia baru saja keluar dari toilet. Suaminya sudah terjaga dan kini sedang memeluk Aysha yang menangis di dadanya.

"Jangan bikin anakku sedih karena ibunya terlalu cengeng!"

Kinar melangkah pelan, sementara mereka belum menyadari keberadaannya. Ia cukup tahu diri untuk tidak mengganggu. Tangan suaminya yang masih terpasang infus mengusap-usap punggung Aysha yang bergetar. Kinar benar-benar tak mengerti, apa yang membuat perempuan ini harus mengeluarkan air matanya.

"Kamu bilang nggak apa-apa terus! Kayak gini kok nggak apa-apa." Protes perempuan itu.

Kinar tak kuasa untuk tak memutar bola matanya. Berlebihan sekali! Caper! Cetusnya dalam hati.

"Mas! Aku tinggal bentar ya, ngurus administrasi sama nebus resep."

Sudah pasti drama kaget sepasang insan tersebut bakalan terjadi. Kinar paham suaminya yang baik dan penyayang itu, tidak akan pernah sengaja bermesraan di depannya. Jadi Kinar pura-pura abai. Ia tidak perlu menunggu respon Agam. Hati Kinar sudah terlanjur panas. Dan ia tahu caranya untuk menghindar.

Begitu Kinar keluar dari ruangan, seseorang segera menyambar lengannya. Kinar tak menyangka ibu mertuanya akan ada di sini.

"Mama, kok ...."

"Aysha yang ngabari Mama. Kamu ini, mbokya kalau ada apa-apa itu Mama dikasih tahu. Minggu lalu katanya Aysha baru kena musibah kamu juga diam aja, nggak kabar-kabar. Sebenarnya, kamu ini nganggap Mama apa sih?"

Kinar belum sempat menjawab saat Ibu mertuanya menarik tangannya untuk duduk di kursi teras.

"Duduk! Mama mau ngomong."

Kinar menurut.

"Mbokya kalau ada apa-apa itu kasih tahu Mama. Telepon opo susahe?" Ibu mertuanya terus mengoceh.

"Aku nggak pengin Mama kepikiran. Mas Agam juga begitu, nggak pengin Mama panik." Akhirnya Kinar menemukan suaranya. Wanita paruh baya ini punya riwayat jantung. Selama masalah bisa diatasi sendiri, suaminya selalu mewanti-wanti untuk tidak merepotkan Ibunya.

"Dan, lebih baik untuk sementara kamu tinggal sama Mama. Hanya untuk sementara."

Kalimat Ibunya yang tiba-tiba itu membuat Kinar mengerjap. Belum memahami kemana muaranya.

"Biarkan Masmu fokus dulu sama Aysha. Jangan dikira selama ini Mama nggak tahu kelakuanmu. Mama terus mantau kalian. Mama paham apa yang kamu rasakan, Ki. Tapi jangan pernah melampiaskan kemarahanmu sama Aysha. Yang bahkan nggak salah apa-apa. Kalau kamu mau marahin Masmu, Mama nggak masalah. Itu urusanmu sama Masmu, Mama nggak akan ikut campur. Tapi kalau sudah menyangkut Aysha, Mama nggak terima. Mama nggak mau cucu Mama kenapa-napa. Wanita hamil itu nggak mudah, Ki. Harus banyak dukungan. Semangat dari sekitar itu penting, biar hati dan tubuhnya tetap sehat. Jangan sekali-kali buat dia nangis. Sembrono sampean!"

Kinar menahan napas, sudah sering ia mendapati wanita ini mengomel, tapi entah mengapa kali ini terasa beda. Kinar tahu Ibu mertuanya terlalu menyayanginya, bahkan sudah menganggapnya layaknya anak sendiri, sehingga saat Kinar melakukan kesalahan, tidak banyak pertimbangan akan langsung ditegur. Seperti yang dilakukan sekarang, meskipun terasa lain. Ibu mertuanya lebih terlihat marah, bukan mengomel seperti biasanya.

Kinar paham kesalahannya kemarin, yang tidak bisa mengendalikan emosi dan terlalu sensitif. Itu karena hatinya belum bisa ikhlas sepenuhnya berbagi. Tapi sekarang ia sudah lebih belajar. Satu minggu bahkan terlewati setelah Aysha pindah ke rumah sebelah. Meskipun kemarin ia masih mengungkapkan kemarahannya pada Agam, tapi setidaknya ia sudah bisa mengendalikan diri saat menghadapi Aysha.

"Mbokya emosimu itu dikendalikan toh, Nduk ... Nduk! Cuma masalah sepele aja kamu besar-besarin."

"Ini aku juga lagi belajar sabar, Ma." Kinar tidak tinggal diam. Ia merasa perlu menjelaskan apa yang dirasakan. "Ikhlas itu nggak mudah, Ma. Mama nggak tahu apa yang aku rasain jadi wanita yang kurang."

"Sekarang udah bukan saatnya belajar lagi, Nduk, Cah Ayu. Kudune sampean wes iso noto ati."

Kinar tak bisa menjawab. Mulutnya kelu. Debar dadanya terasa menyakitkan. Matanya memanas. Perih. Salah satu wanita yang menjadi panutannya kini tega menyalahkannya. Berada di pihak yang baru dikenal. Kinar merasa semakin kerdil. Pengorbanannya yang rela dimadu seolah tak berarti.

"Mama benar-benar malu sama Aysha. Mama malu kalau sampai Aysha merasa keluarga kita sudah memperlakukannya tidak adil."

Jantung Kinar rasanya mau rontok. Tangisnya luruh.

"Tinggal sama Mama ya? Untuk sementara aja. Ya, Nduk?"

Kinar menggeleng. "Nggak, Ma. Aku nggak mau. Mas Agam pasti juga nggak bakal setuju."

"Masmu pasti setuju kalau kamu yang minta sendiri, Ki."

Kinar menatap Ibu mertuanya dengan pipi yang basah. "Tapi Mas Agam juga suami aku, Ma. Dia juga wajib ngejaga aku karena aku juga istrinya. Jangan jadiin kehamilan Mbak Aysha alasan untuk dia nggak bisa adil. Aku nggak mau!"

"Jangan dijawab! Mama ngomong gini bukan untuk dijawab! Pikirkan dulu. Renungkan. Kondisinya sekarang beda. Mama mau kamu ngalah dulu sebentar. Aysha itu hamil. Wanita hamil nggak mudah. Mama sangat paham sifatmu. Gampang banget mencak-mencak nggak jelas. Kalau dulu Mama bisa maklumin, sekarang nggak. Kamu udah dewasa. Udah dua puluh empat. Harusnya bisa jaga emosi. Kalau suatu hari emosimu naik lagi, dan terjadi apa-apa sama Aysha, Mama nggak akan mau tanggung jawab lagi."

Satu Hati, Dua Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang