10. Siap Berbagi

12.9K 1.2K 103
                                    

Tidur Kinar terusik oleh suara ponsel milik suaminya yang tak henti-henti berdering. Setelah diperiksa, benda elektronik tersebut rupanya sudah dipenuhi banyak panggilan dari satpam rumah, sekaligus dari Aysha yang langsung menyita perhatian.

Aysha : Mas, aku udah di rumah. Aku tunggu.

Aysha : Mas?

Aysha : Mas, pesanku kok nggak dibales? Telepon juga nggak diangkat. Kamu nggak pegang hp?

Aysha : Mas, ada suara-suara di bawah. Aku takut. Aku telepon Randi juga nggak diangkat.

Aysha : Angkat, please!

Kinar melirik lelaki yang sedang terlelap di sebelahnya. Tadi setelah salat isya berjamaah, Agam kembali merebahkan diri. Katanya sedikit kurang enak badan. Tapi sebelum itu, suaminya ini berpesan untuk membangunkannya jam sembilan karena harus menunaikan jadwal gilir. Tapi Kinar abai dan malah ikutan tidur. Memanfaatkan ketidaksadaran lelaki ini untuk tidak meninggalkannya. Oke, kelakuannya  curang dan tidak fair, tapi hatinya enggan disalahkan.

Ponsel kembali berdering dan Kinar segera mengangkatnya.

"Ya, Randi?"

"Ngapunten Bu menawi sampun ganggu wekdalipun. Griyo sebelah kemalingan. Ibu Aysha dhawah, sakmeniko dipun larikan teng rumah sakit kalian Tanto."

Kinar kaget bukan kepalang mendapat informasi tak terduga dari satpam rumahnya. Jantungnya memukul terlalu keras. Rasa cemas bercampur sesal akan kondisi sang madu menghantam hatinya.

"Mas Agam, ayo, bangun!"

Kinar bangkit dari tempat tidur menyalakan lampu utama. Dia bergegas berganti pakaian.

"Jam berapa ini, Ki?"

"Setengah satu! Ayo cepatan, Mas. Kita harus ke rumah sakit. Mbak Aysha pendarahan."

Agam terperanjat dan langsung bangun. "Setengah satu? Kamu nggak bangunin aku?"

"Aku juga ketiduran. Ayo, ini cepat pakai!" Kinar menyerahkan setelan Polo dan dipakai lelaki itu kilat.

Sambil bersiap batin Agam berkecamuk memikirkan istrinya. Rasa bersalah bertubi menghunjamnya kalau sampai terjadi apa-apa dengan perempuan itu. Terlebih sampai di depan rumahnya ia mendapati banyak warga berkerumun. Beberapa aparat keamanan dan kendaraan polisi. Randi menceritakan kronologis kejadian. Saat rumah sebelah didatangi rampok dan Aysha berlari menyelamatkan diri hingga jatuh dari tangga. Jantung Agam seperti terjun bebas. Lebih menyakitkan lagi saat ia mengecek ponselnya, pesan dan telepon dari perempuan itu yang membutuhkannya semakin membuat Agam sesak.

Kini ia sedang perjalanan menuju rumah sakit. Agam mengendari mobilnya dengan kepanikan yang luar biasa.

"Mas! Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa Mbak Aysha bisa tinggal di rumah sebelah?"

Lelaki itu tak menjawab. Tatapannya lurus ke depan mengendalikan setir, melaju kencang.

"Jawab, Mas!"

"Dia punya hak menentukan tempat tinggalnya sendiri, Ki."

Kinar menyipit. Tidak suka dengan jawaban suaminya yang terkesan ringan. Sementara dirinya sudah naik darah merasa dipermainkan.

"Bukannya istri itu harus nurut sama suami ya? Kenapa dia nggak?"

Agam menatapnya sekilas. "Dia sudah nurut sama kamu, kan? Kamu yang menyuruhnya tinggal sama kita."

"Iya, tapi nyatanya dia tinggal di rumah sebelah. Nggak izin pula sama aku! Coba kalau tadi dia di rumah aja dan nggak kemana-mana, pasti nggak akan terjadi apa-apa."

Lelaki itu tak menanggapi. Kinar semakin kesal dengan sikap diamnya.

"Dia izin nggak sama Mas?"

"Apa yang akan dilakukan istri, harus seizin suami, Ki."

Tentu saja bukan jawaban seperti itu yang diharapkannya. Tapi Kinar memilih mengubah pertanyaan. "Dan Mas mengizinkan?"

"Tentu saja aku mengizinkannya!" suara lelaki itu meninggi. Tampak menahan frustasi.

Kinar terperanjat. Belum pernah suaminya bernada tinggi.

Agam menepikan mobilnya. Mematikan mesin. Napasnya tersembus kasar. Tatapannya nanar ke depan sebelum beralih pada perempuan di sebelahnya.

"Tentu saja aku mengizinkannya, Ki," ulang lelaki itu lebih lembut. Ada nada memohon dan kesedihan di dalamnya. "Kamu tahu, semua ini ku lakukan demi kamu."

Dahi Kinar berkerut. Tak mengerti. "Maksudnya apa, Mas? Demi aku apa?"

Lelaki itu mengambil jemari Kinar dan menggenggamnya erat. Tatapannya teduh memaku. "Soal kemarahanmu kemarin," mulainya memberi jeda. "Kemarahanmu kemarin aku melihatnya, di cctv. Jadi bahan tontonan Tanto sama Randi juga membuat Siti ikut campur. Bukankah itu jadi aib? Aku nggak mau mereka menganggapmu jahat. Sementara mereka semua tahu Aysha juga memiliki hak yang sama denganmu. Aku nggak mau sikap istriku yang ku kagumi selama ini lemah lembut berubah. Dipandang pun sebagai suami aku juga akan gagal karena nggak bisa mengakurkan kalian. Aku lelah, Ki ... sungguh lelah. Percayalah, kita sama-sama merasakan hari yang nggak mudah. Aku memahami perasaanmu. Tapi aku juga nggak bisa mengabaikan dia. Demi Tuhan dia sedang hamil, Kinar. Melalui dia kita bisa mewujudkan cita-cita keluarga kita selama ini. Jangan pernah lupakan misi awalmu menyuruhku menikahinya. Kita sudah membuat dia masuk rumah tangga kita. Konsekuensinya kita harus memberinya kenyamanan. Nggak benar kalau kita memperlakukannya kurang adil. Aku pun akan menjadi suami yang buruk jika berat sebelah. Kamu tahu, kan, apa hukuman bagi pelaku poligami yang tidak bisa adil? Hukumannya berat, Ki."

Agam mengatur napasnya yang terasa sangat berat. Berharap kali ini Kinar bisa memahaminya. Menjaga perasaan dua wanita yang sama-sama jadi prioritas ternyata jauh lebih melelahkan dibanding apapun yang sudah Agam lakukan selama hidup. Agam tidak pernah bercita-cita memiliki dua istri sehingga saat ia dihadapkan situasi seperti ini, ia nyaris menyerah. Agam harus jadi penengah yang bijaksana untuk kedua istrinya supaya tetap akur. Tapi sebagai manusia normal ia sering dilanda pergulatan batin karena tidak sanggup.

Agam seperti memakan buah simalakama. Mengobral rayuan manis meski tak ingin. Bersandiwara demi untuk menyenangkan hati salah satu istrinya. Sementara juga harus merangkai beribu penjelasan untuk istrinya yang lain. Demi Tuhan Agam sangat lelah. Dalam tiga bulan ini ia seperti kehilangan dirinya. Ia sudah berusaha untuk adil tapi tetap tak mampu. Rumah tangganya justru semakin banyak prahara. Kedua istrinya wanita yang sama-sama sensitif. Kepala Agam nyaris pecah memikirkan ini.

"Berulang kali aku katakan padamu, kamu cuma satu-satunya. Sungguh! Jangan lagi merasa takut tersaingi, Ki. Karena sejak kita bersama, aku sudah menjatuhkan hatiku sejatuh-jatuhnya padamu. Ku mohon, percayalah ...."

Kinar menangis. Ia seperti baru saja ditembak telak. Mengingat begitu parah perilakunya belakangan ini. Entah mengapa Kinar seperti bukan dirinya. Kinar tidak tahu lagi caranya mengendalikan emosi saat menghadapi Aysha. Kinar selalu merasa Aysha adalah musuhnya meski perempuan itu tak melakukan kesalahan apapun. Rasa cemburunya yang berlebihan mengubah pribadi Kinar menjadi jahat. Setiap berhadapan dengan Aysha, dirinya secara otomatis berubah menjadi sosok monster yang kejam. Kinar tak ingin dikutuk karena sudah menjadi istri yang durhaka dan madu yang kejam. Kinar tidak boleh egois. Ia harus bisa mengendalikan emosinya.

Satu Hati, Dua Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang