15. Kinarian Darapuspita

14.8K 1.3K 82
                                    

Kinar sampai rumah bersamaan dengan kedatangan suaminya yang entah dari mana. Lelaki itu langsung masuk ke garasi tempat motornya biasa diparkir. Kinar sengaja menunggu.

"Kenapa itu lututmu?" Lelaki itu langsung menyeru, begitu tepat berada di depan sang istri. Rupanya, noda kotor di rok milik Kinar menarik perhatiannya.

"Habis jatuh." Tiba-tiba saja Kinar ingin menangis. Matanya sudah berkaca-kaca.

Setelah melepas jaket dan meletakkan helm, Agam langsung menyongsong tubuh istrinya. Meneliti dari atas ke bawah. "Gimana ceritanya kok bisa jatuh?" tanya lelaki itu lebih lanjut.

Tangis pun tidak bisa dibendung. "Ini semua gara-gara kamu, Mas!" teriak Kinar.

Agam mengernyit, tak paham.

"Makanya kamu itu kalau keluar sama Mbak Aysha, pakai lah masker! Biar kalau pas ketemu teman-temanku mereka nggak perlu ngenalin kalian. Biar mulutnya nggak pada gosip seenaknya. Dasar perempuan-perempuan mulut comberan, nggak tahu diri!" Kinar semakin tersedu-sedu.

Lelaki itu cepat-cepat memeluknya. "Ssttt, sabar, sabar ...."

"Nggak bisa! Aku nggak bisa kalau disuruh sabar. Apalagi kalau mereka udah lancang ngebanding-bandingin aku sama istrimu yang lain! Benci aku digituin! Semua salahmu, Mas!"

Kinar mengurai pelukannya. Menampar dada suaminya yang keras tapi berujung dengan kesakitannya sendiri. "Aduh, ini dada apa batu, sih! Kesel banget aku sama kamu!"

Lelaki itu malah tersenyum. "Yaudah pukul-pukul aku sini. Lampiasin ke aku."

"Ish." Kinar mendengus. Lagi kesal, malah bercanda!

"Itu kenapa? Coba sini aku lihat!" Suaminya menunduk.

"Tadi aku lari gara-gara habis dengar para manusia laknat itu ngata-ngatain aku! Mereka itu benar-benar minta digampar mulutnya. Pada nggak pernah disekolahin itu mulut."

Lelaki itu menggiring Kinar untuk meninggalkan garasi dan duduk di sofa ruang keluarga. "Hus, ngomongnya loh," tegurnya lirih.

"Habisnya mereka nggak tahu apa-apa tentang keluarga kita, bisanya cuma ngehujat doang! Nggak ngaca sama sendirinya. Dipikir udah yang paling bener."

"Istighfar, istighfar ...."

"ASTAGHFIRULLAH AL AZIM, Ya Allah ... sabar, sabar ...." Kinar menepuk-nepuk pelan dadanya, berusaha mengendalikan diri.

Setelah menuntun istrinya hingga duduk nyaman di sofa, Agam melangkah ke dapur mengambilkan air putih. Dibawa juga kotak obat dan ia segera memposisikan diri di bawah Kinar. "Kamu lari-larian pakai sepatu kayak gini? Pinter, besok diulangi lagi ya."

Kinar yang sibuk menghabiskan air putih tidak menanggapi ledekan lelaki dibawahnya.

Agam mengangkat rok istrinya ke tas. Kaki Kinar yang putih dan mulus ternoda dengan luka kebiruan. "Aduh, kakinya tuan putri biru-biru. Sakit, Sayang?"

Dan perempuan itu pun membalas dengan anggukan manja yang dramatis. Agam lekas mengolesi lukanya dengan salep.

"Mbokya dikurang-kurangin pakai sepatu kayak gitu. Memangnya nyaman?"

"Nyaman-nyaman aja. Kan udah biasa."

"Tetap aja kalau jatuh, sakit juga kan?"

"Udah, udah ... cuma itu aja!" Kinar buru-buru menarik turun roknya saat tangan suaminya mulai merayap ke atas. Nakal sekali!

"Kali aja ada yang lain," celetuk lelaki itu enteng.

"Ish! Mesum."

Kinar melepas jilbabnya. Membenarkan kuncir rambutnya yang sedikit berantakan, lalu merebahkan punggungnya di sandaran sofa. Sementara dari arah dapur, suaminya membawa botol kaca berisi air putih dan diletakkan di meja setelah diteguk beberapa kali. Lelaki itu ikut merebahkan punggung di sampingnya.

"Kamu habis dari mana, Mas?" tanya Kinar.

"Muter sini-sini aja," jawab lelaki itu.

"Kencan gitu ceritanya?"

"Ck! Motoran, Ki. Bukan kencan."

Kinar menoleh. Suaminya sedang memejamkan matanya dengan kepala tengadah. Hidungnya yang bangir menarik perhatian Kinar. Dulu ia sering melakukan hal konyol saat mengagumi paras rupawan suaminya, dengan memainkan jari telunjuk untuk menelusuri wajah itu.

"Naik motor apa tadi?"

"Kayak biasanya."

"Iya, apa?"

Agam diam saja. Tetap pada posisi awal.

"Jangan bilang kamu bonceng dia pakai Harleyku?"

Lelaki itu membuka matanya dan menatap istrinya. "Iya. Nggak apa-apa, kan?"

Kinar mengerjap. Sabar, sabar. Sungguh kesal rasanya, barang yang biasanya cuma jadi milikmu tapi sekarang harus dibagi juga dengan wanita lain.

"Motor banyak kenapa harus yang itu, sih? Harleynya kan ada tiga, Mas. Kenapa harus pakai yang digrafir namaku?"

"Kan semua digrafir namamu, Ki."

Kinar mendengus. Menyebalkan sekali!

Lelaki itu melingkarkan tangannya di pinggang sang istri sambil menatapnya dalam. "Nggak apa-apa, kan?"

"Terserah kamu lah, Mas. Itu semua kan milikmu. Meskipun semua digrafir namaku tapi apalah dayaku cuma numpang nama doang. Kalau kamu pengin bonceng istrimu yang lain pakai motor itu, ya terserah kamu."

Agam semakin dalam menatapnya. Ekspresinya yang jahil membuat Kinar semakin sebal. "Tumben?"

"Tunggu dulu, tadi pakai helmku juga?" tanyanya kembali, ketus.

Suaminya mengangguk tanpa dosa.

"Ish! Kenapa sih nggak kamu beliin sendiri. Ogah aku pakai helm itu lagi!" Kinar menghirup napas dalam-dalam. Cemburu kembali merayapi hatinya. Terlebih saat mendapati respon suaminya yang seringan kapas. Membuat Kinar bertambah kesal. Sabar, sabar ....

Agam membenarkan posisi duduknya. Mengambil bantalan sofa dari pangkuan Kinar, lalu ia merebahkan kepalanya di paha sang istri. Tangannya menarik jemari Kinar dan dikecup lembut. "Masalah sepele jangan dibesar-besarin, Ki. Motor cuma benda yang nggak ada apa-apanya dibandingkan kesehatan hatimu. Jangan mengotori hati dengan prasangka buruk yang bikin kamu sakit hati. Aku akan tetap jadi milikmu sampai kapanpun."

Dinasehati begini membuat Kinar rasanya ingin menangis.

"Kamu dengarin aku nggak, Ki?" Agam menatap ke arahnya.

Kinar mengangguk lemah. "Iya, iya ... dengar. Maaf."

Lelaki itu lalu membenamkan wajahnya di perut Kinar. Kinar membalasnya dengan mengusap-usap pelan rambutnya yang tebal.

"Mas, kok kamu agak-agak anget ya? Eh, nggak anget lagi, kamu panas, Mas?"

"Perutku sakit banget," bisik lelaki itu teredam.

"Ck! Pasti asam lambung naik ini. Kenapa kamu nggak ngomong sih? Pantesan dari tadi kamu lempeng kayak orang nggak ada tenaga gitu."

"Sakit banget."

"Yaudah ayo kita ke dokter sekarang!"

"Aku nggak kuat bangun."

"Ish, bayi gedheku manja banget." Kinar tersenyum. Dipeluk tubuh besar itu sambil diguncang-guncang penuh sayang. "Makanya kalau sakit itu di rumah aja. Kamu kan demam, kok malah motoran. Oh, Sayangku ...."

Satu Hati, Dua Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang