Gue pikir masa putih abu gue bakalan semanis cerita novel atau seasik cerita SMA Disa tapi ternyata nggak.
Semuanya beda.
Gue adalah seorang siswa kelas akhir yang berdoa semoga di umur 17 ini gue bisa sedikit mencicipi masa yang katanya indah kala...
Gue natap kedua orang ini datar, sekuat tenaga nahan diri biar nggak ngedengus.
"Bukannya nggak mau, gue kalau kuotanya adaan juga udah searching dari tadi."
"Sama Gis, gue nggak bisa searching ini wi-fi nya error."
Gue memijat pelipis sedikit pusing. Berusaha untuk sabar, "ya udah kita ke perpus aja lah, sekalian ngerjain di sana." Kata gue lalu mengambil buku tulis PKN di dalam tas.
"Kata Pak Sukoco, Gisna sama Ayman ke ruang guru sekarang!"
Tangan gue berhenti mencari pulpen, natap mereka datar dengan alis terangkat.
"Ekhm ... kayaknya sih penting Dip ... gue mau ke—"
"Oke ... kalau gitu kita ke ruang guru dulu," katanya sambil mendorong-dorong tubuh Gisna. "Thanks ya!" Teriak Ayman di pintu kelas.
Setelah mereka pergi gue menghela nafas lelah. Ini maksud gue yang nama doang kelompok tapi satu kerja sisanya numpang. Gue sih nggak apa-apa diginiin udah biasa, lagian bodo amat lah percuma maksa orang yang kek gitu, malah kitanya yang cape sendiri cuma kalau ntar nilainya beda sama gue nggak usah protes.
Ya iya lah.
Usaha kagak kok nilai mau sama.
Karena mood udah anjlok dan nggak mau makin anjlok kalau ada di kelas gue langsung jalan ke perpustakaan, nggak peduli bentar lagi masuk yang penting otak gue dingin nggak panas kayak sekarang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sesampainya di perpustakaan gue melangkah mencari buku paket PKN kelas 12 di rak belakang. Saking fokusnya nyari gue gak merhatiin sekitar sampe tiba-tiba ada yang teriak ngagetin gue dan penghuni perpus saat itu.
Gue nunduk kemudian melotot ngeliat siapa yang duduk di sana, lebih kaget lagi GUE NGINJEK TANGANNYA WOY!
"Eh sorry, gue gak liat lagi nyari buku." Kata gue pelan sambil meremas-remas rok seragam.
Bais nggak ngomong apa-apa, dia cuma ngelirik terus ngusapin tangannya yang merah, buat gue semakin gelisah.
Sumpah. Gue degdeggan.
Gimana kalau dia marah????
Lagian ngapain, sih, lesehan di bawah? Kan gue nggak tau ada yang duduk di sana.
"Pulpen lo jatoh."
"Hah?"
Bais berdiri terus ngasihin pulpen, "emang nyari buku apa?" Tanya Bais ngusapin lagi tangannya bikin gue makin nggak enak.
"PKN." Gue menelan ludah jadi gelisah sendiri. "Sorry ya, gue gak lihat."
Bukannya ngejawab Bais malah natap gue.
"Nama lo Dipa, 'kan? Adipa?"
Gue ngangguk berusaha kalem meski dalem hati degdeggan.
Duh, ngapain nih nanya-nanya?
Nggak gue nggak geer cuma tatapannya itu loh, mengintimidasi.
"Iya gak apa-apa. Gue juga sorry udah nyikut lo.
Gue ngangguk lagi. Elah udah kayak boneka dashboard aja gue ngangguk-ngangguk mulu.
"Buku PKN nya warna biru bukan?"
"Hng?"
"Buku PKN nya warna biru?"
Gue mengerjap sebentar. "Oh ... iya iya warna biru."
Tangan Bais mencari-cari sesuatu di jajaran paling atas lalu tak lama ia menyodorkan sebuah buku ke hadapan gue tanpa basa-basi Bais pergi menuju pintu keluar ninggalin gue yang melongo ditempat karena sikapnya.