3 - Si Pintar Yang Lurus

124 12 9
                                    

Gue duduk tenang di angkot sambil main zombie tsunami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gue duduk tenang di angkot sambil main zombie tsunami. Sesekali gue dongak takut angkotnya kebablasan. Biasanya gue udah di kelas sebelum bel tapi sekarang jam 7.25 gue baru berangkat.

Hm, gue telat dan gue bahagia.

Iya tau aneh gak usah hujat, ini masih pagi.

Sebenernya tadi gue dianterin Oka sekalian dia kuliah tapi karena ada yang harus dibawa dulu ke kosan temennya dan gue males ikut jadilah sekarang gue naik angkot ke sekolah. Pas zombie gue sisa satu, angkot udah berhenti di depan SMA Sukarasa gue pun matiin hp, turun lalu bayar. Sambil buka jaket gue lihat Bu Heni lagi mencak-mencak ngehukum murid yang telat.

Bagus, timing nya pas.

"Udah mau jam 8 ini baru datang! Jalannya cepet!"

Dengan riang gue mengampiri Bu Heni, "kenapa telat?" tanya Bu Heni galak. Harusnya gue takut sama guru killer tapi entah kenapa gue malah seneng hampir aja senyum lebar kalau nggak inget ini Bu Heni guru paling galak di Sukarasa.

"Bangunnya kesiangan bu."

Bu Heni berdecak, "klise! Sana kumpul di lapang!"

Gue nurut jalan ke lapang sambil senyam-senyum sendiri. Ternyata banyak juga yang telat dan semuanya laki-laki kecuali gue.

Langkah gue semakin lebar, ini saat nya, saat dimana gue yang terkenal selalu dipanggil 'si pintar yang lurus' di hukum karena telat. Gue ingin mematahkan pikiran orang-orang bahwa gue 'si pintar yang lurus' ini bisa aja belok ngelanggar aturan.

Hidup gue nggak serapih yang 'kalian' pikir.

"Adipa!"

Behubung kacamata gue hilang pas disikut orang gue memincing biar bisa ngeliat jelas siapa yang manggil. "Eh, Mal," kata gue pada Akmal terus ikutan baris di pinggirnya. Seseorang di depan gue berbalik dia manggut senyum yang gue balas se—eh?

Tunggu, tunggu, kayaknya gue kenal deh.

Dia ini kan yang sering nongkrong bareng Akmal di Idp. Kalau nggak salah namanya ...

"Udah baikan?"

Hah?

"Soal kemarin Dip." Akmal menunjuk cowok depan gue. "Bego emang si Bais."

Oh iya namanya Bais.

Eh.

EH.

Gue mandang sekeliling terus hela nafas jadi ngedumel sendiri dalam hati kenapa baru sadar.

Ck. Mereka semua kan XII-IPS 4!

"Sorry ya," Bais menggaruk pipinya. "kemarin gue nggak tau ada orang di sana."

Akmal menepuk pundak gue. "Dimaafin asal ada syaratnya gitu Dip." Katanya cengengesan. "Tumben kesiangan? Gadang main ps ya sama Oka?" tanya Akmal buat gue noleh, berusaha senyum. Akmal itu adik kelas Oka SMP, jadi kalau main ke rumah dia tau gue suka main ps.

Bais ikut nimbrung, "lo pacarnya Oka, Dip?"

"Bukan, gue sepupunya hehe," jawab gue masih dengan senyum yang dipaksakan.

"Ohh, pantes mukanya nggak mirip."

Dahi gue mengkerut.

Apaan sih?

"Yang di belakang! Siapa suruh ngobrol?"
Gue tersentak dan Bais langsung balik badan. Bu Heni mendekat matanya melotot kayak mau keluar, "Udah kesiangan, ngerumpi lagi! Sana lari sepuluh keliling!"

Sontak tangan gue di tarik Akmal biar lari.

Dih.

Dia kan udah punya pacar, kalau ceweknya ngeliat gimana?

"Lepas Mal," jujur sekarang ini gue sangat nggak nyaman. Sambil ngelepasin cekalan Akmal gue noleh kanan kiri takut ada yang lihat, nggak mau gue jadi gosip di Sukarasa.

Bukannya ngelepasin si kampret malah makin narik gue biar larinya sejajar.

"Buruan Dip, ntar diamuk macan!" Akmal ketawa sinting buat gue ngedelik.





TOLONG DONG, LEPASIN DULU INI TANGAN GUE.








KELAS PACAR LO PINGGIR LAPANG BUSET, GIMANA KALAU DIA LIAT???






"Iya macannya galak Dip!" teriak Bais sambil ketawa lari ngelewatin gue.

Karena di belakang malah rusuh saling nyalip barisan gue ngehempasin tangan Akmal terus lari ke depan deket Bais.

Sumpah gue lama-lama kayak lagi marathon.

Padahal ini cuma hukuman. Lari ke satu pun nggak akan dapet hadiah.

"MAKANYA BANG MALEM ITU BOBOK, BUKAN VIDEO CALL!"

Teriakan itu buat gue kaget. Sumpah idiot. Nggak nyadar apa sekarang lagi KBM? Bais yang di pinggir gue ikut teriak. "SIRIK AJA LU BANDROS!"

Gue nengok ke piket takut Bu Heni denger, bisa gawat kalau nanti hukumannya ditambah.

Emang sih gue pengen dihukum tapi ya ... nggak usah banyak-banyak, gitu.

"Woy cewek kelas sebelah!" Teriak orang itu lagi, gue ngedonggak tapi percuma aja pandangan gue burem karena nggak pake kacamata. "Jangan deket sama Bais! Pacarnya galak kek Bu Heni!"

Eh mamprang.

Kalau Bu Heni denger gimana coba?

"Jangan teriak-teriak ini bukan hutan! Masuk kelas!" Bu Heni keluar dari piket nunjuk cowok yang tadi teriak di lantai 2. Mampus kan dimarahi. "Kalian juga sama udah sana masuk kelas!"

Walau nggak rela hukuman nya berakhir padahal baru 4 keliling gue pun berhenti lari dan berjalan gontai menuju piket. Waktu mau nulis nama di piket rombongan IPS 3 turun dari tangga. Wajah mereka sedikit kaget liat gue di sini tapi nggak ada tegur sapa layaknya teman sekelas.

Mereka hanya melirik lalu masuk ke lab Elmo.

Meski 3 tahun satu kelas gue ... masih ngerasa asing dengan mereka.








* * *

Bandung,
26 April 2019

When I Was 17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang