2 - Duo Racun

115 14 9
                                    

Gue menyandarkan punggung pada kepala ranjang natap lelah dua manusia dewasa tapi kelakuan bocah yang daritadi berisik main Ular Tangga di kasur.

"Semoga dua amin." Oka menjatuhkan dadu di tangan lalu bersorak heboh karena doanya terkabul. "Gue menang HAHAHAHA! Sesuai perjanjian yang kalah beliin seblak!" Oka ngendorong-dorong Disa sampe kakak gue itu hampir jatoh, "sono beli! Punya gue pedesnya banyak pake ceker sama tulang ya!"

Di hadapan gue Disa merenggut kesal terus mukulin Oka pake boneka beruangnya. "BELI AJA SENDIRI!" teriak Disa nimpuk Oka dengan bantal-bantal gue.

Dapet serangan yang bertubi-tubi Oka berdiri balas nyerang sampai kamar gue yang tadinya rapi sekarang udah berantakan kayak kapal pecah.

Ngeliat mereka malah berantem saling lempar bantal satu sama lain gue memejamkan mata ngerasa pusing lagi padahal tadi udah agak mendingan, sambil memijat pangkal hidung gue turun dari kasur dan ngungsi ke ruang tamu yang lebih sepi.

Baru juga gue nata bantal buat tidur duo racun itu lari keluar nyamperin ke bawah seakan belum puas gangguin gue yang mau istirahat.

"Dip jangan di sini, pindah ke kamar." Denger itu gue mendengus natap tajam Oka bikin dia menciut. "eh ... berantakan ya, sorry."

Gue munggungin Oka yang kekeuh suruh pindah dan ngebiarin gue tidur di kamarnya tapi nggak gue hiraukan sementara si kampret Disa justru narik bantal gue sampe ini kepala ngejedug pinggiran sofa.

"Ngapain sih lo?!" Sentak gue kesel langsung bangun dari tidur, nggak mikir apa gue tuh masih pusing abis pingsan gara-gara disikut orang? "Sana pergi jangan ganggu gue, berisik!"

Disa mencibir ngeluarin hpnya terus nonton youtube bareng Oka di karpet nggak menghiraukan gue yang udah kesel setengah mampus pengen nendang mereka jauh-jauh.

"Pindah sana nontonnya." Gue menghela nafas nyoba sabar karena mereka malah berisik jerit-jerit nggak jelas takut hantu nya muncul. Hhhh, susah nih susah kalo dah kek gini. "Ck, yaudah lah kalau mau di sini jangan berisik." pasrah gue pada akhirnya.

"Ssstt berisik Dip!"

Gue hampir aja khilaf jambak Oka saking gemes sama omongannya.

Tolong ya untuk sepupu saya Oka Mahendrong coba anda sadar YANG DARITADI BERISIK ITU SIAPA HA? GUE ATAU ELO??

Oka dongak natap gue dengan wajah tengilnya. "Mukanya santai kali serem amat, pantes jomblo." Katanya terkekeh kembali nonton youtube, "pake aja earphone gua kalo nggak mau berisik." Oka nunduk-nunduk tangannya masuk ke kolong sofa. "Lo cari sendiri lah Dip, gue lupa pokoknya daerah sana jatohnya."

Gue berdecak tapi nurut juga nyari earphone.

"Dimana sih?" tanya gue jongkok berusaha menggapai apapun yang ada di sana. "Dimana elah Ka?" Karena nggak dijawab gue noleh dan sialannya Disa nyikut gue tepat di pangkal hidung.







Hm. Nais.









Dalam sehari gue dua kali disikut orang.









Very nice.







"Eh sorry Dip, gue kaget!" Belum sempat protes, gue ngerasa ada cairan yang mengalir dari hidung. Sontak Oka sama Disa panik liat gue mimisan mereka jadi heboh nyari tisu.

"Pake ini aja ni pake!" Sumpah kalau tangan gue lagi nggak nahan mimisan Oka udah gue geplak. Masa gue dikasih taplak meja coba?

"GAK USAH BERCANDA!" Kata Disa mewakilkan gue untuk ngegeplak kepala Oka lalu duduk samping gue ngasihin tisu. "Kok bisa mimisan sih?"

Sambil mengelap sisa darah di tangan gue mendelik, "ya mana gue tau."

Disa berdecak mengumpulkan sampah-sampah tisu. "Ohiya kenapa deh lo bisa pingsan Dip? Pusing banget emang?"

Untuk kedua kalinya gue mendelik.

"Sini gue sikut, biar tau rasanya mau?" kata gue sinis buat Disa mencibir.

"Halah lebay, bilang aja itu alibi biar balik cepet ya kan?" Disa berdiri membuang sampah-sampah itu ke dapur. "Tadinya gue mau ngasih tau ibu kalau lo pingsan." Teriak Disa masih di dapur.

"Lo kasih tau?"

"Nggak," gue buang nafas lega, untung aja Disa ngerti. Ayah sama Ibu lagi di Surabaya jenguk temennya yang sakit, gue cuma nggak mau bikin mereka khawatir.

Disa datang dengan tiga buah gelas berisi coklat panas di atas nampan dan menaruhnya di meja. "Sumpah gue kesel banget sama si Oka, demi apapun dia bacot banget tadi."

Gue melirik si empunya nama yang lagi serius nonton youtube. Disa duduk di sisi kanan gue yang kosong. "Oka neleponin gue nanya sekolah lo dimana padahal kan dia alumni Sukarasa, masa baru dua tahun lulus udah lupa? Geblek emang, keliatan banget dia suka mabal bukannya sekolah."

"Nggak gitu anjir," Oka cekikilan sambil niupin coklat panas. "Gue baru bangun terus ada yang dm kalau si Dipa pingsan ya iyalah gue panik."

Gue menerima gelas yang disodorkan Disa. "Untung aja dia gabut di rumah,  jadi bisa jemput lo."

"Yee daripada lo Dis, rajin banget ngampus padahal di sana juga diem nggak ada kelas," celetuk Oka memainkan ponselnya.

"EH GUE MAU BIMBINGAN YA!"

"Ck, mulai kan mulai," sahut gue malas sama adu bacot mereka yang suka nggak ada berhentinya. "Emang lo di dm siapa Ka?"

Sebelum menjawab suara ketukan pintu terdengar lantas Oka berdiri membukanya. Gue nggak tau itu siapa karena yang keliat cuma tangannya doang ngasihin jaket sama tas gue ke Oka.

Setelah menutup pintu Oka membawa tas dan jaket gue terus duduk di karpet.

Gue natap tajam Oka.

"Sorry Dip, gue panik jadi lupa nggak kebawa hehe."

Untuk kesekian kalinya gue mendelik.

"Btw, anak pak RT yang cowok itu siapa namanya Dip?"

Gue nyerinyit heran, kenapa tiba-tiba nanyain anak pak RT? "Yang mana?"

"Itu adeknya si Faisal."

"Oh ..." tatapan gue lurus pada jaket sama tas yang ada di meja. "Itu dia yang ngasih?"

Oka ngangguk mainin lagi hpnya. "Katanya kalau lo mau ikut olimpiade ekonomi besok harus sekolah, namanya siapa sih, Dip?"

Gue nggak menjawab dan menghela nafas.

Apalagi nih, sekarang?







* * *

Thx for reading!

Bandung,
16 April 2019

When I Was 17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang