Dua Hati Datang lagi

971 19 0
                                    


Dia hadir tanpa salam

Senyum yang baru saja menghias mataku

Senyum adam-adam Allah

Membawaku dalam gulana yang tiada jeda

Mengantarku pada sebuah jalan

Haruskah kumemilih?


Setelah pertemuan pagi itu Aira tak langsung mengajakku pulang. Sebuah toko buku menjadi sasaran perjalanan singkat kami. Aira memang selalu memahami situasi hatiku. Dia amat mengerti kalau saat gelisah seperti ini membaca menjadi salah satu penguatku.

"Kau tak merasa tertekan Fadillah?" tanya Aira.

"Tertekan karena apa?" Aku kembali bertanya.

"Karena lamaran kak Aiman ...."

"Aku tahu kegundahan kak Aiman. Aku tak menyalahkannya karena ini. Aku malah merasa bersalah pada kak Aiman sebab membuatnya terus menunggu terhadap sesuatu yang tak pasti."

"Jangan terlalu memaksakan diri," tutur Aira. Dia menatapku dengan lembut. Aira, memang sahabat yang sangat mengerti aku.

Kesibukan kami kembali tertuju pada deretan novel-novel yang seakan berteriak meminta untuk dibaca. Sayangnya, jemariku tak tertarik untuk menarik satu pun dari mereka. Kini kuterhanyut dalam lamunan tanpa ujung, berdiam di sebuah sandaran dengan meja bundar di depannya.

"Andaikan kak Aiman lelah menunggu dan mendapat wanita lain, bagaimana denganmu?" Pertanyaan Aira memecah lamunanku.

"Apa lagi yang harus kulakukan," ungkapku tanpa makna.

"Kau tak marah?"

"Apa hakku untuk marah? Setidaknya aku telah mencoba menumbuhkan cinta itu dan kak Aiman sudah mencoba untuk menunggu. Kalau saja kak Aiman mendapat wanita lain, itulah jalan yang dipilih Allah untuk kami."

"Tapi aku selalu berharap agar kau menjadi pendamping kak Aiman," ucap Aira tulus.

"Kita akan selalu bersaudara, meskipun aku dan kak Aiman tidak menikah." Dengan tulus kuucapkan kata itu hingga mengiang di telinga Aira. Sahabat yang selalu terlihat tegar saat itu menitikkan air mata, lalu menghambur dalam pelukanku.

"Jangan menangis, Aira. Kau tampak jelek saat menangis," candaku mencoba menghiburnya.

"Itulah mengapa aku tak ingin menangis." Dengan air mata yang masih menggenangi kelopak matanya, Aira tertawa kecil kepadaku. Kusambut tawanya yang begitu renyah.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak tentang hubunganku dengan kak Aiman. Apa pun yang terjadi, kita akan selalu bersama," tuturku setelah sepeda motor Aira berhenti di depan rumah. Matahari sudah semakin garang di atas langit, memancarkan panas yang tak terbendung lagi.

"Mampir dulu, Aira, cuaca terlalu panas," ajakku pada Aira.

"Aku langsung pulang saja, Fadil, nanti kak Aiman khawatir aku belum tiba juga di rumah. Tapi, makasih udah diajak mampir." Aku hanya tersenyum, menanggapi Aira yang langsung menancap gas motor selepas mengucapkan salam.

####

Gema suara azan menyadarkanku dari buaian mimpi yang indah. Di alam mimpi kulihat diriku menari di atas rerumputan hijau yang dihiasi lautan bunga-bunga. Gamis putih dan jilbab yang seirama dengannya membalut tubuhku. Masih jelas dalam pelupuk mata kebahagiaan yang terpancar dari bola mataku.

AKHIR PENANTIAN- COMPLITEWhere stories live. Discover now