Berlalu semua bahagia
Kesedihan mulai menjalariku
Bebab kehidupan bagai langit
Runtuh menimpa diriku
Lara hati ini ....
Saat kehadirannya tak dapat diharapkan lagi
Dunia kini terbagi
Saat aku terseret teramat dalam
Saat itu juga ....
Dia naik bersama cerita lain
Meninggalkanku dalam cerita ....
Semoga berbahagia...
Awan hitam perlahan berarak di atas langit. Menggulung-gulung hingga menutup biru indahnya. Titik-titik air hujan mulai berjatuhan menyirami bumi pertiwi, yang beberapa bulan terakhir tak terjamah air dari langit.
Jarum jam telah menjalari detik demi detik hingga bertengger di waktu 15:00. Hujan di luar sana semakin deras menghantam bumi. Dibalut mukenah biru, hadiah ulang tahun dari Aira, aku duduk di atas sajadah. Al-Qur'an yang sedari tadi kubaca, kututup saat telepon genggamku berbunyi. Suaranya yang sedikit bising begitu mengganggu konsentrasiku. 'Kak Aiman', sepenggal nama bertengger di layarnya. Aku ragu untuk mengangkat telponnya, hingga panggilan itu tak terjawab.
Aku tak menutup atau menghidarkan diri dari Aiman, hanya saja akan lebih baik jika aku tak menghubunginya lebih dulu.
Dalam lamunanku, tiba-tiba umi masuk setelah sebelumnya salam yang diucapkannya tak kuhiraukan. Bukan sengaja, tapi memang tak terdengar olehku.
"Aira baru saja menelpon," kata Umi.
"Ada apa, Umi?" tanyaku.
"Ada baiknya jika kau menelponnya. Dia tak menjawab saat kutanya. Tiba-tiba saja telponnya terputus setelah menanyakanmu. Umi khawatir padanya. Suaranya terdengar parau, seperti orang yang sedang menangis," ujar umi kembali.
Tanpa berpikir panjang, segera kutekan tombol hijau, untuk menghubungi Aira.
Setelah beberapa detik, panggilanku pun terjawab.
"Assalamualaikum Aira," salamku pada Aira di seberang sana.
"Waalaikumsalam, ada apa, Ra? Kata umi tadi kau menelpon?" tanyaku tanpa basah-basi.
"Iya," jawab Aira singkat. Tiba-tiba saja tangisnya pecah, tak terbendung.
"Kamu kenapa, Aira?"
"Umi, Fadillah ..., Umi," ucap Aira terbata-bata.
"Ada apa dengan Umi?" Aku ikut panik mendengar nada suaranya.
"Umi masuk rumah sakit Fadillah, tadi ibu jatuh dari tangga. Kepalanya berdarah. Kau bisa datang ke sini?" tanya Aira setelah menjelaskan kronologi keadaan uminya.
Aku mengiyakan. Umi Aira, telah kuanggap sebagai umiku sendiri. Beliau sangat baik padaku. Saat berada di rumahnya, aku selalu dimanja, tak berbeda jauh dengan Aira. Itulah sebabnya, kekhawatiranku tak kalah hebat dengan yang dirasakan Aira.
Hujan masih terus membasahi bumi, saat Taksi yang membawaku dan umi ke rumah sakit. Umi memaksa ikut setelah mendengar Umi Aira masuk rumah sakit.
Jarak rumah dan rumah sakit yang tidak terlalu jauh membuatku lebih cepat sampai.
Di sebuah sudut rumah sakit, kulihat Aira tertunduk lemas, di sebelahnya abah berusaha menenangkan. Aku dan umi berjalan menghampirinya.
YOU ARE READING
AKHIR PENANTIAN- COMPLITE
Romanceaku mengerti, menanti adalah hal yang sangat membosankan, menggilakan, menggalaukan. namun, setiap penantian akan selalu menemukan akhir