Setelah sejenak meninggalkan Holly di ruang televisi—yang masih tak percaya karena barusan diajak Chris kencan—tak lama kemudian Chris kembali dari kamarnya di rumah sebelah, menenteng-nenteng tas jinjing besar yang sepertinya terisi barang-barang berat.
"Kita jalan-jalan." putusnya semena-mena.
"Jalan ke mana? Apa kita nggak ganti baju? Dan ngapain kau bawa-bawa tas besar itu?" tanya Holly beruntut.
"Oh aku tahu tempat yang bagus nggak terlalu jauh dari sini! Dan isi tas ini adalah yang terpenting." jawab Chris ceria, menggoyang-goyangkan sedikit tasnya. "Kalau kau mau ganti baju dulu aku tunggu."
Holly memperhatikan Chris dari atas ke bawah. Dia hanya memakai t-shirt sehari-harinya, celana pendek santai dan kets.
"Nggak usah deh. Aku pakai sepatu dulu."
"Oh, ya...kupikir akan baik kalau kita membawa beberapa kotak jus dan keripik..."
"Untuk a—?"
"Sudahlah," Chris menyela tak sabar, "...nurut saja."
Sepuluh menit kemudian mereka berdua sudah berjalan menyusuri jalan setapak menuju pantai. Suasana sepi dan agak gelap, mengingat tak ada lampu yang dipasang di sepanjang jalan itu. Beruntung bulan bersinar terang dan langit cerah malam ini, sehingga Holly tak begitu kesulitan melihat ke mana kakinya harus melangkah.
"Wah, langit sedang bagus-bagusnya, seolah mendukung rencanaku saja." Chris nyengir misterius. Holly mau tak mau jadi bertanya-tanya sendiri. Kenapa dia mau saja diajak jalan-jalan ke suatu tempat (yang Holly duga adalah pantai), disuruh membawa sekotak jus untuk masing-masing pukul sembilan malam oleh cowok jangkung nyentrik yang sekarang memimpin jalan di depannya, sambil membawa-bawa tas jinjing besar berisi sesuatu yang terlihat sangat berat dan mencurigakan.
Jalan setapak berakhir. Mereka tidak lagi melangkah di atas tanah yang solid dan dikelilingi pepohonan rimbun, tapi di atas pasir lembut dan udara terbuka. Pemandangan pantai di malam hari benar-benar mengagumkan. Lautnya yang hitam terlihat misterius dan tak tersentuh. Jejak sepatu mereka membekas di atas pasir, semakin lama jejaknya semakin panjang dan tak bisa lagi dihitung Holly. Jika mendongak, bulan dan bintang terlihat begitu jelas dan dekat, tak terhalang apapun.
Tapi bukannya membawa Holly ke arah pantai yang kemarin mereka kunjungi, Chris berbelok ke kanan dan terus memimpinnya menyusuri garis pantai yang berbeda. Sepuluh menit hanya menikmati embusan angin malam dan suara deburan ombak, Holly tak bisa lagi menahan rasa penasarannya.
"Kita mau ke mana sih?" tanya Holly agak terengah, suaranya agak ditingkahi deru ombak. "Dan apa sih sebenarnya isi tasmu?"
Namun dia harus puas hanya dengan jawaban 'lihat saja nanti' dari cowok itu yang menyebalkan.
Akhirnya pemandangan tak lagi hanya terdiri dari ombak, Chris, dan pasir saja. Di kejauhan Holly mulai melihat petak-petak cahaya yang bermunculan dari rumah-rumah penduduk lokal di sekitar pantai, beberapa sudah padam. Kemudian Holly menangkap bayangan besar tak jauh darinya yang menjorok ke laut. Setelah diteliti, ternyata yang dilihatnya adalah semacam dok. Namun tak seperti dok pada umumnya yang terbuat dari kayu, yang ini terdiri dari batu-batu besar yang tersusun rapat sedemikian rupa sehingga memungkinkan mereka untuk berjalan di atasnya. Jelas dok itu tidak dimaksudkan untuk tempat berlabuh kapal.
"Nah kita akan ke situ dan jalan ke ujungnya." jelas Chris setelah melihat arah pandangan Holly.
"Kelihatannya menyeramkan." kata Holly, sekarang telah tiba persis di depan batu-batu, mengamati ujungnya yang gelap.
"Oh kau bakal berubah pikiran setelah melancarkan aksi kita." Chris tak bisa menyembunyikan kegirangannya, "Hanya saja hati-hati, batunya besar-besar dan licin."
KAMU SEDANG MEMBACA
From The Beach Cottage
Fiksi RemajaHolly Fadden punya alergi terhadap lawan jenis. Bencana datang ketika sobatnya, Sarah, mengajak Holly berlibur di cottage pinggir pantai Australia tanpa memberitahu bahwa mereka akan pergi bersama serombongan cowok; Gary si pacar Sarah yang cute, Za...