Anjeli menyiapkan isi koper baru yang diberikan oleh Merra Chopra padanya, dengan sejuta perasaan berkecamuk di dalam dada. Dua malam lalu, Yash Chopra memberi tahu tentang perjalan bisnis yang harus ia lakukan keliling Eropa selama dua bulan, dan semua dimulai dari negara Prancis.
Awalnya Anjeli biasa saja saat mendengar perkataan sang bilionaire, namun pikiran ibu hamil itu terganggu, mana kala ia meminta Merra untuk ikut serta bersamanya. Hal tersebut menegaskan jika Anjeli akan tinggal bersama bibi Manggali dan beberapa pekerja lain di rumah mewah tersebut, dan sejujurnya ia merasa sedikit kehilangan.
Perasaan itu ia ketahui setelah bayi dalam perutnya menendang cukup keras, sehingga dengan sangat yakin ia menyatakan pada hati, jika memang kehamilan itu adalah buatan dari proses in vitro fertilization.***
“Anjeli juga harus ikut bersama kita jika begitu, Yash. Aku tak bisa jauh dari bayi kita dan takut terjadi sesuatu saat kita jauh darinya,” cemas Merra, membuat suaminya berhenti menyuapkan makanan ke mulutnya.
“Aku tidak pergi untuk berlibur, Merra. Ini tentang pekerjaan dan dia sedang hamil!" tegas Yash Chopra, “Apa kau ingin membahayakan anak kita?!”
“Jika begitu aku tidak akan ikut denganmu!” sahut Merra tak kalah tegasnya, “Ajak saja wanitamu yang lain. Aku tidak keberatan, asal aku bisa tetap dekat dengan bayiku!” tambahnya menyudahi makan yang tak lagi terasa nikmat di tenggorokannya.
Yash Chopra menggerutu dalam hati, karena sejujurnya ia ingin memakai moment perjalanan bisnis untuk memperbaiki hubungan mereka yang sering beradu mulut. Terlebih sebulan lalu Merra sudah tak mau tidur sekamar dengan Yash, dan memilih seranjang bersama Anjeli.
Sang bilionaire tampan kala itu terciduk, akibat sedang bertemu dengan wanita yang di minta untuk menjadi istri terbaru oleh kedua orang tuanya. Merra meradang karena melihat langsung bagaimana Yash memperlakukan wanita itu saat baru saja keluar dari kantornya menuju mobil, namun ia tidak bisa berbuat banyak selain merubah dirinya menjadi penguntit, dan memendam rasa sakit di sepanjang perjalanan menuju ke restoran tempat acara makan siang itu terjadi.
Merra sadar dengan keberadaannya yang tak bisa menyempurnakan hidup Yash, sehingga pria itu sampai sekarang kebingungan atas sikap dingin dan kaku sang istri padanya.
“Baiklah! Anjeli akan ikut bersama kita dengan Bibi Manggali juga! Kau puas?!” ujar Yash lebih dulu berdiri, dan meninggalkan meja makan.
Dengan perasaan bahagia Merra menjawab perkataan suaminya, “Good! Itu lebih baik! Kau siap, bukan? Aku akan selalu membawamu untuk memeriksa kandungan saat kita keliling Eropa nanti. Bagaimana? Kau suka, bukan?” sahut Merra dengan matanya yang berbinar-binar menatap Anjeli.
“Aku akan lalukan apa pun, jika memang itu bisa membuat Nyonya bahagia. Aku janji,” dan itu adalah jawaban yang keluar dari mulut Anjeli.***
Maka itu mengapa kini Anjeli sibuk dengan beberapa pakaian dan koper baru di paviliun tersebut, karena memang ia sudah menyanggupi permintaan Merra dua malam lalu.
“Kenapa kau melamun? Apa barang-barangmu sudah siap semua?” tanya Merra yang tiba-tiba saja datang dari balik punggung Anjeli.
“Eh? Aku... Aku...” sahut Anjeli menggantungkan ucapannya.
Wanita hamil itu gugup ditengah tangannya yang sengaja bergerak, dengan tujuan tidak ingin lamunannya menjadi bahan pembahasan Merra. Sebab selama ini istri Yash Chopra tersebut selalu berhasil memaksanya untuk jujur, dengan cara yang tidak ia sangka.
“Hei, apa yang kau pikirkan? Kau keberatan ikut bersama kami? Atau kau takut karena kisah jatuh dari ketinggian itu?” tebak Merra, “Oh, tidak. Ayolah, Anjeli. Ini sangat baik untuk kesehatan bayiku, karena kau selalu terkurung di dalam rumah. Benar, bukan?” ujar Merra merayu dengan wajah memelasnya.
“Aku tidak berpikir sejauh itu, Nyonya. Aku akan ikut bersama Anda, Tuan Yash dan Bibi Manggali. Tidak akan aku ingkari janji itu padamu,” dan Anjeli kembali membuat senyum ceria terbit di wajah cantik Merra.
Oleh sebab itu Merra tak lagi bertanya apa dan mengapa tentang lamunan Anjeli, karena ia sudah tak tertarik dengan hal lain selain menceritakan berbagai macam hal yang akan mereka kunjungi, ketika berada di dataran Eropa nanti.
Sementara dari ruangan Intensive Care Unit, Rahul dengan sigap memasang dua bola mata teliti pada pasien yang baru saja ia operasi tadi.
“Apa kantong darah itu sudah sesuai dengan resusnya, Suster? Aku sedang ditunggu oleh seseorang, dan urusan itu sangat penting! Jadi jangan lakukan kesalahan lagi setelah ini. Kau mengerti?” sahut Rahul pada seorang perawat yang bersiap memasang alat transfusi darah di tubuh pasien.
“Saya sudah mencocokkannya bersama petugas di bank darah, Dokter Maholtra. Anda bisa cek sendiri keterangan dari laboratorium ini,” sahut sang perawat, menyodorkan berkas kecil di tangannya.
“Ya ya! Aku percaya padamu. Hanya aku kecewa dengan pendarahan yang membuat hemoglobin wanita ini menurun,” lantas ia mengambil alih jarum yang akan ditusukkan oleh sang perawat ke pembuluh darah pasien.
“Maafkan saya, Dokter. Suami pasien melepas kateter tanpa kami ketahui sebelumnya. Ibu ini berkata tidak nyaman ketika obat biusnya mulai berkurang. Lalu saat hendak buang air kecil, ia memaksa suaminya turun dari tempat tidur, dan ingin berjalan ke kamar mandi tanpa mau memakai pispot untuk wadah air seninya," jelas perawat itu lagi.
“Mungkin aku yang salah saat menanganinya di ruang operasi tadi,” namun Rahul menjawab dengan perkataan yang sukses membuat perawat tadi menjadi tercengang di tempatnya berdiri.
“Tapi, Dok—”
“Ck! Apa yang kau pikirkan lagi? Mana kantong darahnya?” sahut Rahul membulatkan bola matanya.
“I..ini, Dok,” dan perawat pun menyodorkan apa yang diminta sang dokter kandungan.
Entah mengapa Rahul membayangkan pasien tidak sadarkan diri itu adalah Anjeli, yang juga memiliki tekanan darah tidak normal selama masa kehamilan in vitro fertilization ini.
“Aku akan menyiapkan banyak kantong darah untukmu juga, Anjeli,” batinnya sembari memperbaiki selang transfusi darah yang belum berfungsi dengan baik, “Tapi yang pasti, tekanan darah dan kesehatanmu harus stabil saat bayi itu akan lahir. Karena setelahnya mungkin aku juga akan meminta satu bayi lagi darimu, untuk kehidupan di hari tuaku nanti. Jadi semoga kau selalu sehat, bukan seperti pasien gila dan keras kepala ini!” tambahnya membatin.
Tidak lama kemudian selang berwarna putih bersih itu sudah berubah menjadi merah, sebagai pertanda jika proses transfusi darah sudah berhasil dilakukan.
“Saat wanita keras kepala ini sadar nanti, tolong pakaikan kembali kateter, dan beri dia peringatan keras, Suster! Jangan sampai nama baik kita tercoreng hanya karena kelakuan gilanya!” sahut Rahul, kembali pada sikap tegasnya, “Di mana suaminya? Panggil dia untuk bertemu di ruanganku!” kemudian bertanya di sana.
Sedikit mengesampingkan tentang rencana kepergian Anjeli bersama pasangan bilionaire Chopra, Rahul kembali melangkah ke ruangannya. Karena memang selama ini ia sudah terbiasa mengutamakan hal penting mengenai pekerjaannya di Rumah Sakit terlebih dahulu, sebelum ia bertemu dengan siapa pun secara tenang—termasuk Anjeli saat mereka masih tinggal satu rumah.
Rahul sudah bersiap untuk mengancam dengan jenis penyakit berbahaya, bila pendarahan seperti tadi terjadi lagi pada pasien. Dengan tujuan agar kali ini ia tidak lagi dipusingkan ketika mencoba menahan Anjeli, karena memang ia hendak bertemu dengan wanita itu di rumah mewah Yash Chopra.
Ribuan kata coba ia rangkai sejak tadi di dalam hati, “Kau tidak boleh ikut, Anjeli! Biarkan mereka saja. Sebaiknya kau kembali tinggal bersamaku, Kanna dan juga dua anakmu, jika memang mereka harus pergi karena urusan pekerjaannya!” dan salah satunya adalah sebaris perintah tersebut.💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
MOHE GERUA [END]
Romance[TELAH DI TERBITKAN] [TERSEDIA DI GOOGLE PLAY BOOK] [DAPAT DIBACA SECARA GRATIS DI APLIKASI DREAME] Mumbai, kota terpadat di India ini adalah salah satu kota yang menyimpan banyak kesengsaraan hidup bagi seorang Anjeli Sharma. Mengapa demikian? Seb...