Part 21

2K 222 23
                                    

Wajah muram dengan mata sembab nan memerah, nampak jelas di pandangan kedua netra Rahul Khan Maholtra. Ia duduk berhadapan dengan Anjeli Sharma di dalam kereta api menuju ke New Delhi, namun wanita itu sejak tadi hanya menatap ke arah jendela.
“Ck! Apa yang dilakukan Kanna sampai matanya bengkak seperti itu?!” umpat Rahul dalam hati, dan kini memandang ke arah sang kakak yang berada di sampingnya, “Apa wanita bodoh ini lupa jika Anjeli sedang mengandung dan tidak boleh dibebani dengan pikiran berat, agar bayi dari pasangan bilionaire ini sehat terus? Tunggu kau nanti, Kanna! Aku tidak akan membayar biaya hotel atau biaya apa pun selama kita di New Delhi, sebagai hukuman karena kau membuat Anjeli menangis! Pakai uangmu sendiri!" tambahnya terus saja membatin.
Ia berdiri dari tempat duduknya, sehingga hal tersebut jelas membuat lamunan Anjeli buyar seketika.
“Kau mau kemana, Rahul. Bawa Shaf bersamamu dan tolong bantu dia untuk buang air kecil,” sahut Kanna, yang langsung diberi pelototan tajam dari sang dokter kandungan.
"”ku hanya ingin duduk di sebelah sini. Aku tidak pergi kemana-mana,” sahutnya menggendong Madu dan mendudukkan gadis kecil itu di pangkuannya.
Apa yang Rahul lakukan, sekali lagi membuat Anjeli harus menatap ke arahnya dan dengan sedikit memaksa ia meminta Madu untuk bersamanya. Akan tetapi Madu dengan cepat menggelengkan kepalanya, sehingga Anjeli sedikit terkejut dengan perlakuan sang putri.
“Pindah ke sini saja, Sayang. Kita bisa melihat pemandangan dari kaca jendela ini,” bujuk Anjeli sekali lagi.
“Aku ingin duduk dengan Ayah saja, Bu. Kasihan Adik di dalam perut Ibu nanti,” dan suara lucu Madu terdengar dan untuk kesekian kalinya Anjeli dibuat terkejut.
“Madu, kau—”
“Aku yang mengajari mereka. Cepat atau lambat mereka akan tahu bagaimana keadaan suamimu, Anjeli. Mereka butuh Ayah di saat masa keemasannya ini. Jadi aku—”
“Menyuruh Madu dan Shaf untuk memanggilku Ayah, karena aku akan segera menikahimu saat kau sudah melahirkan anak itu nanti. Itu yang ingin kau ucapkan, bukan? Oh, tidak! Kau sungguh Adikku yang paling manis, Rahul. Sejak kapan kau belajar merayu seorang wanita dan anak-anak, hem?”
Damn it!
Warna merah pekat, mulai bermunculan di wajah tampan sang dokter kandungan secara perlahan. Sementara Anjeli segera membuang pandangannya kembali ke arah kaca jendela, dan berusaha sekuat tenaga menahan kekehan agar tidak lolos dari pita suaranya.
“Tutup mulut sialanmu itu, Kanna! Aku hanya berusaha membuat Madu dan Shaf menjadi anak yang tidak dikucilkan oleh teman-teman nanti. Apa kau lupa seperti apa kita dulu?” kesal Rahul memelototi sang kakak, “Kau dan aku tak ubahnya seperti kedua anak ini, bahkan kita juga menerima perlakuan akibat kelakuan Ayah yang suka mencari kehangatan pada wanita lain, menghabiskan uang Ibu dan meninggalkan hutang yang banyak. Apa kau lupa? Kau ingin mereka juga mendapat ejekan yang sama karena tak memiliki Ay—”
“Ayah dari kedua anakku masih hidup, Dokter Rahul! Seharusnya Anda baru boleh melakukan itu, jika Rajesh benar-benar sudah meninggal dunia. Bukan sekarang!” kini giliran Anjeli yang menyanggah tegas ucapan Rahul.
“Ayah, ayo kita ke toilet. Aku ingin buat air kecil,” ujar Shaf secara tiba-tiba, dan sudah berdiri dari tempat duduknya.
Ucapan anak tertua Anjeli dan Rajesh lantas mematahkan asumsi si ibu hamil, dan itu membuat kekesalan Anjeli semakin bertambah di sana.
“Shaf, jangan memanggil Ayah pada Paman Rahul. Bukankah kita sebentar lagi akan menemui Ayah Rajesh?” sahut Anjeli menjelaskan pada Shaf.
“Tapi Ayah tidak pernah memberi kami makanan enak dan mainan bagus, Ibu. Aku ingin Paman Dokter saja yang jadi Ayahku,” lirih Shaf dengan kepala yang tertunduk dan menatap ujung sepatu barunya, “Ayah juga tidak pernah mengajakku ke sekolah. Jadi aku tetap mau Ayah yang ini, Bu. Aku tidak mau yang lain lagi,” lalu kembali bersuara.
“Shaf, ayo Bibi Dokter antar ke toilet. Kamu ingin buang air kecil, bukan? Ayo cepat kita jalan sekarang. Nanti perutmu sakit jika terus ditahan,” kemudian Kanna pun memainkan perannya di sana, “Berikan Madu padaku, Rahul. Dia juga harus buang air kecil, agar kita tidak repot mengganti celananya yang basah nanti,” lalu Madu dengan cepat menggapai tangan Kanna, dan ketiganya pun pergi menuju ke toilet dengan keadaan kereta api yang masih bergerak.
Tak lama setelah kepergian mereka bertiga, Anjeli tentu saja menumpahkan segala rasa kesalnya pada Rahul.
“Aku tidak akan mau menikah atau mengandung anakmu, Dokter Rahul Khan Maholtra yang terhormat! Jadi berhenti meracuni pikiran kedua anakku dengan ucapan tidak masuk akalmu itu!” tegas Anjeli bersama api kemarahan yang begitu membara di matanya, “Hubungan kita hanya sekedar balas budi karena kau sudah membantu membayar seluruh hutangku pada Tuan Manoj Pratab Singh, dan juga karena aku sedang mengandung anak dari hasil kerja sama dengan keluarga Tuan Yash Chopra. Setelah itu aku akan pergi membawa kedua anakku, karena seperti yang kau ketahui jika suamiku tidak akan lama lagi hidup di dunia. Jadi aku sudah tidak membutuhkan uangmu dan aku— Hemphhh... Rah— Hemphhh...!”
“Berhenti berbicara atau aku akan merobek saree sialan ini, Anjeli! Cup,” jawab Rahul setelah berhasil melumat bibir pedas Anjeli.
“Rahul, lepaskan aku! Kita ada di dalam kere— Hemphhh...!”
Sayangnya Anjeli sudah sangat salah karena membangunkan cobra India yang sedang tertidur, maka kini racun dari ular berbisa itu mulai pun mulai menjalar, setelah berhasil mematuk si wanita hamil tersebut.
“Kau tak akan kubiarkan pergi, Anjeli. Aku ingin memiliki seorang bayi, jadi kau harus memberikannya untukku,” lirih Rahul di tengah lumatan bibirnya, “Akan aku buat kau menderita seumur hidup, jika kau berani pergi sebelum memberiku seorang keturunan. Camkan ucapanku ini baik-baik!” lanjutnya berbisik tepat di telinga Anjeli.
Kendati perut Anjeli semakin membuncit, namun Rahul seakan tidak memedulikan hal itu. Lidah sang dokter kini sudah bermain di telinga kanan si wanita hamil, dan bermaksud untuk turun ke leher jenjangnya.
Akan tetapi Kanna tiba-tiba datang dan berdeham keras, “Ehemmm...! Aku bisa gila jika kau terus begini, Rahul!” dan mengumpat, akibat ulah adiknya.
Maka dengan cepat Rahul kembali membantu memperbaiki saree Anjeli yang sedikit terkoyak, akibat ulahnya. Lalu duduk dengan sebegitu rapat di sebelah Anjeli, hingga sekali lagi Kanna harus menghembuskan napasnya dan memaklumi jiwa sang adik yang sedang berbunga-bunga di sana.
“Jangan lupa biaya pengobatan suami Anjeli, Rahul. Aku akan membawamu bertemu dengan Dokter Amran, agar kau bisa berdiskusi sendiri dengannya,” ujar Kanna lagi, sembari memindahkan Madu ke atas pangkuannya.
“Berikan Madu padaku, Kanna. Shaf juga sudah mengantuk sepertinya,” sahut Rahul tak menanggapi isi perkataan kakaknya tadi.
“Bolehkah aku saja yang duduk dengan Ayah?” dan Shaf, pun ikut bersuara.
“Hem, boleh. Cepatlah kemari, Shaf," jawab Rahul tersenyum lebar dan anak laki-laki itu melompat ke pangkuannya.
Anjeli yang menatap pemandangan tersebut sampai harus membuka mulutnya, karena ia begitu takjub dengan perubahan dalam diri Rahul.
“Kenapa dia jadi aneh seperti sekarang?” batin Anjeli bertanya-tanya, “Bukankah dia tidak terlalu suka dengan anak-anak?”
Sayangnya Anjeli kemudian tak mau mencari tahu akan hal tersebut, karena kini pikiran wanita itu kembali pada bayang-bayang wajah sang suami.
Hasil dari pikiran itu, tentu saja adalah air matanya yang berlinang tanpa bisa dibendung lagi. Namun segera ia hapus dengan selembar tisu. Sebenarnya Rahul sempat menyadari akan kesedihan Anjeli, tapi ia membiarkan itu untuk sejenak.
“Menangislah untuk detik terakhirmu berstatus sebagai istri, Anjeli. Karena setelah itu, kita akan merangkai cerita lain yang lebih menantang dari pada hidup di masa lalumu!”

🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡

To be continue...

MOHE GERUA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang