Part 20

2.1K 227 12
                                    

“Apa yang kau katakan pada Tuan dan Nyonya Chopra tadi? Kenapa bisa dia ikut denganmu semudah ini?” tanya Rahul, saat mereka tiba di dalam rumah.
“Aku menyihir pasangan bilionaire itu, dan juga Anjeli. Maka mereka—”
“Ck! Aku tidak bercanda, Kanna. Aku ingin tahu bagaimana ceritanya!” kesal Rahul memotong ucapan sang kakak.
Kanna dengan cepat meledakkan tawanya, hingga berhasil membuat wajah murung Anjeli ikut menunjukkan tersenyum.
“Tanyakan sendiri pada Anjeli, Rahul. Jangan hanya membuat mobilku bergoyang saja. Untung aku punya cara jitu, jika tidak? Shaf, Madu, dan aku akan terlihat seperti orang tolol karena menunggu sesuatu yang sungguh memalukan. Oh, Dewa Brahma yang agung. Tolong ajari Adikku ini norma kesopanan. Lama-lama aku bisa ikut gila sepertinya,” sahut Kanna terus berjalan menuju ke dapur, “Ayo anak-anak. Kita akan ke New Delhi lagi hari ini. Tapi kalian harus makan terlebih dahulu.”
“Horeee... Kita akan ketemu Ayah Rajjj...” teriak dua anak itu, mengikuti langkah kaki Kanna.
Ia dengan cepat mengambil peralatan makan dan menghidangkan makanan yang tadi mereka beli saat menuju ke rumah, sementara Anjeli serta Rahul masih berada di ruang tamu, akibat perkataan Kanna.
Maka itu Anjeli memilih berjalan masuk ke kamar yang selalu ia pakai jika sedang menginap di rumah itu, dengan maksud mengemasi beberapa potong pakaian untuk di bawa ke New Delhi. Akan tetapi Rahul lebih dulu mencegahnya.
“Kau mau ke mana, hem? Urusan kita belum selesai!” tegasnya mencengkeram lengan Anjeli, dan menyeretnya masuk ke dalam kamarnya.
BRAKKK...!
Kanna yang mendengar suara pintu dibanting, hanya bisa menggelengkan kepala. Karena ia sudah tahu apa yang akan dilakukan Rahul pada Anjeli.
“Apa lebih baik alat penopang di tubuh Rajesh itu dilepas saja? Aku juga tidak ingin Anjeli dan dua anaknya seperti ini?” batin Kanna menatap Madu dan Shaf yang sibuk menyantap makanan mereka dengan lahap, “Anjeli harus bahagia, bukan? Ya, meski pun kuakui Rahul sangat temperamental, tapi jelas sekali aku melihat dia sangat membutuhkan Anjeli. Tadi saja baru diberi kesempatan untuk berdua, dia sudah seperti itu. Padahal jelas keadaannya sangat tidak memungkinkan, karena berada di tempat umum dan juga mereka juga di mobil yang berlainan. Tapi apa? Hahhh... Ini sangat berbeda dengan Rahul yang ku kenal selama tiga puluh lima tahun dia menjadi Adikku. Mungkin aku harus bertanya serius padanya, sebelum kami sampai ke New Delhi nanti,” kemudian terus membatin.
Sedangkan di dalam kamar pribadi sang dokter kandungan, pria itu sibuk mencumbu bibir Anjeli yang beberapa bulan ini sangat dirindukan. Anjeli ia dudukan tepat di atas pangkuan, dan kedua lengan kokohnya memeluk dengan sangat erat.
“Aku masih belum selesai denganmu, Anjeli. Kau mau ke mana tadi, hem?” lirih Rahul dengan pandangan mata yang sudah sangat berkabut gairah.
Tangannya bahkan sudah meremas kuat satu gundukan yang menonjol di dada Anjeli, hingga wanita itu tak mampu menjawab apa pun selain memejamkan matanya.
“Oh, Dewaaa... Bagaimana cara aku menolak keinginan laki-laki ini?” batin Anjeli, kini mengigit bibir bawahnya.
“Jangan lakukan itu, bodoh! Lepas gigitanmu ini! Cup,” dan Rahul pun geram, saat melihat bagaimana wajah Anjeli yang semakin membuatnya terbakar.
Ia kembali melumat bibir Anjeli yang sudah sedikit membengkak, lalu dengan perlahan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Anjeli yang tak siap dengan perlakukan Rahul, pun membuka mata dan berusaha melepaskan pelukan erat sang dokter.
“Lepaskan saree yang kau pakai ini sendiri, atau kau ingin aku merobeknya?” tapi ia selalu gagal, ketika nyatanya kini Rahul menyuruhnya seperti itu.
“Tapi, Rahul. Aku—”
“Jangan menolak, Anjeli! Aku tahu kau juga menginginkan hal yang sama denganku, karena terbukti tubuhmu tidak menolaknya!” sanggah Rahul dengan jari telunjuk yang mendarat di bibir Anjeli, “Kau tahu apa? suamimu sudah dalam keadaan koma, Anjeli. Jadi hubungan kita ini tidak akan salah, karena sebentar lagi kau sama denganku yang tidak terikat pada siapa pun. Untuk kali ini mungkin terdengar bodoh, tapi selepas kau melahirkan bayi ini? Aku juga ingin kau mengandung bayi milikku. Kau tidak keberatan, bukan?”
“Apa kau bilang? Koma? Siapa yang memberi tahumu, hah?! Kanna?” histeris Anjeli, mengabaikan ucapan lain tentang keinginan sang dokter.
“Apa dia belum menceritakan ini padamu? Bukankah tadi kalian satu mob— Arghhh...!” sahut Rahul yang tiba-tiba saja terjerembap ke lantai, akibat dorongan kuat dari si wanita hamil, “Anjeli, shit! Kau mau kemana?! Kembali, Anjeli! Kita belum selesai!” hingga membuatnya berteriak lantang.
Namun Anjeli sudah berada di luar kamar, dan tujuannya tentu saja meminta penjelasan pada Kanna Maholtra.
“Katakan kenapa kau tak menceritakan keadaan Raj padaku sedari kita bersama tadi, hah?! Kenapa aku harus mendengar ejekan Rahul terlebih dahulu seperti ini? Katakan apa yang terjadi pada Suamiku, Dokter Kanna Maholtra? Katakannn...!” histeris Anjeli dengan punggungnya yang sudah bergetar hebat.
Kanna yang sedang menuangkan air untuk Madu dan Shaf, menjadi sangat terkejut dengan teriakan tersebut. Namun secepat kilat ia menyimpan gelas di meja, lalu membawa Anjeli ke dalam pelukannya.
“Anjeli, aku—”
“Katakan, Kanna! Aku tak butuh pelukanmu! Aku butuh penjelasanmu!” pekik Anjeli meronta dipelukan Kanna.
Namun dari arah belakang punggung Anjeli, Rahul sudah berdiri dan menempatkan dua tangannya di pinggang. Seolah ingin menegaskan pada Kanna, bahwa wanita itu harus segera diberi penjelasan tentang keadaan Rajesh Kapoor.
“Ck! Apa kau ingin menunjukkan sesuatu yang tidak senonoh pada anak-anak, dengan membiarkan resleting celanamu belum ditarik seperti itu?” sahut Kanna menunjuk ke arah pangkal paha Rahul, “Pergilah dulu. Aku harus menjelaskan tentang keadaan Rajesh, baru kau boleh membawanya lagi!” lalu bertitah dengan gerakan tangan mengusir.
Dengan kesal Rahul berbalik dan mengumpat tidak jelas, sementara kini Kanna kembali berusaha membujuk Anjeli agar pembicaraan mereka tidak berlangsung di depan kedua anaknya.
“Ayolah, Anjeli. Masuk ke kamarku dan kita bicarakan semuanya di sana. Nanti mereka akan mendengar. Apa kau ingin batin anak-anakmu terpukul saat tahu tentang ini? Kumohon, Anjeli. Aku sudah memesan tiket kereta untuk kita, dan akan berangkat tiga jam lagi dari sekarang. Sebenarnya kau ingin pergi ke New Delhi atau tidak?” kesal Kanna sedikit berbisik, namun dua tangannya terus saja menarik Anjeli untuk pergi dari sana.
Dengan langkah berat dan deraian air mata, Anjeli menuruti perkataan Kanna. Lalu meninggalkan Shaf dan Madu yang masih sibuk dengan makanannya. Selama tinggal dengan Kanna Maholtra, dua anak itu memang sering tidak memusingkan apa pun ketika berada di meja makan. Sebab makanan enak adalah sesuatu yang menakjubkan bagi keduanya, serta sayang untuk dilewatkan.
Kehidupan serba kekurangan di pinggiran kota Mumbai, membuat Shaf dan Madu tumbuh seperti anak terlantar, tetapi tidak untuk sekarang dan mungkin juga hari berikutnya.
“Ini air untukmu. Tuang ke dalam gelas dan berikan sisanya untuk Madu juga. Kau sudah seperti orang kelaparan saja, Shaf,” kekeh Rahul yang datang membawa satu botol air dalam kemasan.
“Ini enak sekali, Paman Dokter. Bibi Dokter bilang, kami tidak boleh menyisakan sedikit pun, karena harganya mahal,” sahut Shaf yang masih ingin memasukkan potongan rogan josh ke dalam mulut, namun Rahul menahan tangannya.
“Isi air itu ke dalam gelas Adikmu, Shaf. Dia sudah terlihat kepayahan untuk menelan makannya! Kau tidak mau menurut perkataanku lagi?” tegas Rahul membulatkan dua bola matanya.
“Baik, Paman Dokter. Maafkan aku,” lirih Shaf segera mengisi gelas kosong, dan menyodorkannya pada sang adik.
Madu dengan mata berbinar menerima gelas tersebut, lalu hanya dalam hitungan detik, air tersebut sudah tandas tak tersisa.
“Terima kasih, Paman Dokter. Paman seperti Ayahku saja,” sahut Madu yang kembali sibuk dengan daging domba berbumbu di piringnya.
Mendengar perkataan itu, satu senyuman tulus tiba-tiba saja terbit dari bibir sang dokter kandungan. Lalu secepat kilat ia mengambil naan dan mengisi piring kedua anak tersebut, kemudian menambahkan rogan josh bersama kuahnya.
“Bagaimana jika mulai hari ini kalian memanggil aku dengan sebutan Ayah saja? Panggilan paman Dokter terdengar sangat tidak bagus dan kurang menarik, bagaimana?” ujar Rahul yang kembali duduk di kursinya.
Sayangnya kedua anak itu hanya menatap Rahul sekilas dan terus melahap makanan tanpa memberi tanggapan, selain kepala yang bergerak naik turun.
BRAKKK...
“Hei! Kalian dengar tidak apa yang aku katakan tadi?” kesal Rahul memukul meja makan, “Jadi mulai sekarang kalian harus memanggilku apa, hah?!” lalu semakin membentak Shaf dan Madu.
Aktivitas makan kedua anak itu jelas segera terhenti, “I..iya, Ayahhh... Ma..maafkan kami, Ayahhh...” namun kembali berlanjut setelah suara terbata mereka terdengar.
“Bagus! Kalian memang anak pintar!” kekeh Rahul menampakkan kekonyolannya di sana.
Ia bahkan tertawa sangat keras, sembari terus membayangkan tubuh nikmat Anjeli yang terlihat semakin seksi dengan perut membuncitnya. Anggaplah sang dokter telah menjilat ludahnya sendiri, karena saat ini pikiran tentang mengikat Anjeli dengan seorang anak hasil pergulatan panas mereka, semakin besar terpatri di kepalanya.
“Oh, betapa indahnya. Cepat kau lahirkan anak mereka, Anjeli. Aku tak yakin bayi itu adalah bayiku, walau pun kemarin aku sempat meragukannya," batin Rahul terus menatap Shaf dan Madu, “Sesudahnya kita akan memiliki bayi mungil yang sama seperti itu, tapi kali ini harus dengan cara alami, agar kau tidak akan bisa lari dariku!” lalu ia kembali membayangkan hidup terikat dengan Anjeli.

💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐

To be continue...

MOHE GERUA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang