Chapter 22

153K 13.3K 1.4K
                                    

Ini adalah hari yang menjadi mitos anak-anak RD, hari ini adalah Hari kamis. Aku seharian mendekam di ruangan karena takutnya jika aku keluar, bahkan untuk ke pantry sekalipun aku akan bertemu dengan Jin Ifrit.

"Ayas?"

"Iya mbak." Mbak Nisa memanggilku, ia meletakan sebuah map merah dengan beberapa tumpukan lembar kertas laporan di atas mejaku.

"Ini apa ya mbak?"

"Bisa minta tolong anterin ini ke lantainya Pak Gemintang nggak?"

Aku melihat lagi Mbak Nisa, mungkin ia sedang mengerjaiku untuk mencairkan suasana karena aku seharian ini berkerja dengan kaku. Aku mencari kebohongan dimatanya tapi hasilnya nihil.

"Mbak Nisa nggak becanda kan?"

"Saya serius."

"Tapikan ini hari kamis mbak."

Laura dan Risa menatapku dengan tatapan kasihan, keduanya mengepalkan tangannya untuk memberikanku semangat.

"Justru karena ini hari kamis, kami mempercayaimu yang pernah menjadi asdos beliau untuk menyampaikan ini ke beliau."

"Tapikan aku juga takut mbak."

"Ayo harus berani!" Mbak Nisa mengatakan sedemikian rupa tapi nyatanya dirinya sendiri juga nggak berani berhadapan dengan Pak Gemintang langsung. Dengan mlempem aku mengangguk lemah.

"Saya cuma ngasih doangkan?"

"Nah itu, kamu harus jawab pertanyaan bapaknya, bapaknya akan koreksi di tempat dan kamu nanti catat apa yang harus di revisi terus sampaiin ke kita, oke?" Aku hanya bisa melongo menerima nasibku.

"Kenapa jadi kayak skripsi gini?"

Mbak Nisa menepuk pundakku, ketika aku berdiri Laura dan Risa bertepuk tangan bahagia. Keduanya menghembuskan napas lega melihatku yang hanya tersenyum masam.

Naik dua lantai, aku berpapasan dengan meja-meja para staff yang lebih senior, semua orang melihat ke arahku seakan-akan mereka sedang mengantisipasi anak baru yang akan menjadi korban Pak Gemintang selanjutnya. Mereka sedang menunggu drama.

Di ujung sana terdapat mas Rio yang sedang sibuk berkutat dengan komputernya.

"Mas Rio."

"Oh Ayas, saya kirain si Nisa yang naik. Masuk aja, Pak Gemintang sudah di dalam."

Aku masuk ke dalam ruangan yang luas itu, kaca lebar di belakang meja membuat ruangan tak lagi memerlukan lampu untuk menerangi ruangan. Tak ada Pak Gemi di kursi kerjanya. 

"Ayas?"

Aku menoleh dan menemukan Pak Gemintang yang sedang berjongkok di depan kulkas kecil di pojok ruangan. Ia melihatku dengan bibir yang mengerucut.

"Duduk." Tubuhku mengikuti perintah bapaknya dengan canggung, berkali-kali aku berdehem untuk mengingatkan diriku sendiri atas janji untuk bersikap normal. Ia meletakan sebuah kaleng susu beruang di depanku dan duduk di kursinya.

Ia tak lagi mengenakan jasnya dan kemeja bagian lengan telah digulung hingga dibawah siku.

Kuletakan berkas pemberian Mbak Nisa ke depannya, ia meletakan kaleng kopi dinginnya dan membaca setiap lembar dengan teliti. Tangannya dengan telaten mencoret, menggarisi, dan menulis sesuatu di atas kertas dengan bolpen bertinta merah. Aku mencoba menahan senyumku agar tak terlihat kecewa dengan setiap coretan yang Pak Gemi buat.

Bagaimana, Pak? (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang