Prolog

744 73 6
                                    

    Seorang gadis remaja berusia delapan belas tahun keluar dari mobil sedan hitam begitu sampai di halaman depan rumahnya yang luas. Dia menutup pintu mobilnya dengan sedikit kuat, lalu segera membuka pintu mobil bagian belakang, di mana terdapat seorang gadis remaja yang berusia lebih muda empat tahun darinya, sedang duduk sambil terus menunduk. Dia—gadis berusia delapan belas tahun itu —menatap tajam ke arah gadis remaja yang ada di hadapannya saat ini dan tanpa mengeluarkan kalimat sedikitpun, dia langsung menggenggam pergelangan tangan gadis itu dengan kuat dan menariknya untuk segera keluar dari dalam mobil.

    Langkah yang diambil gadis remaja delapan belas tahun itu sebenarnya pelan. Tapi, entah kenapa terdapat kesan tegas di setiap langkah kakinya. Wajahnya terlihat sangat dingin tanpa ekspresi sedikitpun. Menutupi fakta bahwa saat ini dia sedang dilanda kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan secara bersamaan. Sorot matanya pun terlalu tajam untuk sekedar ditatap agar bisa mengetahui apa yang sedang dirasakannya tersebut. Sedangkan gadis remaja yang berada di belakangnya hanya bisa mengekor tanpa berniat memberikan perlawanan sedikitpun. Ah, bukan! Bukannya dia tidak berniat untuk memberikan perlawanan, tapi dia terlalu takut untuk melawan. Bahkan, hanya untuk mengankat wajahnya saja dia tidak berani. Gadis itu hanya bisa menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan bulir air mata yang sejak beberapa menit lalu terus mengalir di pipi mulusnya. Dia mengikuti gadis remaja yang empat tahun lebih tua darinya itu dengan punggun yang terus bergetar karena isakan-isakan kecil dari dirinya.

    Begitu sampai di dalam rumah, gadis dingin itu—kita sebut saja begitu—langsung melepaskan genggamannya. Suasana hening pun mulai memenuhi atmosfer ruangan untuk beberapa saat. Hanya menyisakan deru nafas si gadis dingin dan isakan si gadis remaja saja.

    "Bisakah kau jelaskan padaku? mengapa hal itu bisa terjadi?" Tanya gadis dingin tersebut tanpa melihat lawan bicaranya sedikitpun sambil menunggu jawaban dari gadis remaja yang sedang dia belakangi. Tak ada jawaban apapun dari gadis remaja itu kecuali isakannya yang terus mengisi keheningan.

    "Aku tidak sedang berbicara dengan batu, bukan? Angkat kepalamu dan jawab pertanyaanku!" Katanya dengan penuh penekanan. Kali ini dia melihat ke arah lawan bicaranya. Raut kemarahan mulai terlihat sedikit demi sedikit di wajah dinginya. Sorot matanya yang tajam mengunci pergerakan gadis remaja yang masih terisak itu. Masih sama dengan yang tadi. Belum ada jawaban yang keluar sedikitpun dari bibir mungilnya. Membuat si gadis dingin itu membuka mulutnya kembali. "Kubilang angkat kepalamu dan jawab aku!" Bentakya. Gadis remaja itu tersentak, kaget. Pasalnya, itu adalah pertama kalinya dia mendengar si gadis dingin menbentaknya dengan penuh kemarahan.

    "Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah Eomma, Yoong dan aku pernah mengajarimu untuk melakukan hal seperti itu? Apa kau tidak memikirkan apapun ketika kau..."

    "Aku tidak melakukannya... sudah kubilang bukan aku yang melakukannya... dia menjebakku dengan memancing emosiku dan memutar balikkan fakta sehingga aku yang terlihat bersalah...." Jawabnya memotong kalimat gadis dingin itu dengan suara yang bergetar.

    "Baiklah, jika ucapanmu itu memang benar, beritahu aku kenapa emosimu bisa sampai terpancing dan membuatmu terlihat seperti seorang berandal, hah? Bahkan, aku sering melihatmu bertingkah seperti seorang berandal yang sedang menindas..."

    "Aku tidak menindas! Aku tidak melakukan penindasan apapun, Soojung Eonni! Kau harus percaya padaku!" Gadis remaja itu berteriak kencang kepada si gadis dingin yang dia sebut sebagai eonni. Ya, gadis dingin itu adalah kakaknya. Dia merasa tersudutkan atas apa yang tidak dia lakukan.

    "Bagaimana aku bisa percaya padamu kalau kau sendiri tidak percaya padaku, Jung SinB?! Yang ingin kuketahui adalah kenapa kau bisa melakukan hal seperti itu! Hal seperti apa yang dia lakukan padamu sampai kau meluapkan emosimu?! Bukannya malah terus memberikan pembelaanmu itu yang bahkan bukti saja menyalahkanmu!" timpal Soojung tak kalah kencang.

    "Aku melakukan itu karena dia mengatakan hal yang tidak aku suka, Eonni! Dia bilang kalau aku..." kalimatnya terhenti begitu saja ketika dia menyadari apa yang akan dia katakan. Kalimat laknat yang paling dia benci hampir saja terucap kembali. SinB hanya bisa diam dan kembali menunduk sekarang.

    "Dia bilang kalau kau apa?.... Kenapa tidak kau lanjuntkan kalimatmu, SinB? Atau ternyata semuanya adalah fakta, begitu? Dan kau tidak bisa menyangkalnya karena sudah melakukan..."

    "Mianhe... mianhe, Eonni... jeongmal mianhe...." Ucap SinB cepat. Lagi-lagi dia memotong kalimat yang belum selesai diucapkan Soojung. Dia menjatuhkan dirinya hingga duduk bersimpuh di hadapan Soojung. SinB juga menggosokkan kedua telapak tangannya di depan wajahnya dan terus mengucapkan kata maaf tanpa henti. Membuat Soojung yang melihatnya merasa jengah dan kesal dibuatnya. "Ya... geumanhae... geumanhae, SinB-ya. Berhenti meminta maaf seperti itu! Itu tidak akan merubah apapun! Ireona... palli ireona!" ujar Soojung penuh penekanan dan semakin meninggikan nada bicaranya. Matanya mulai berkaca-kaca saking kesalnya. Tapi SinB tidak juga bangun dan tetap mengucapkan kata maaf sambil terus menangis.

    "GEUMANHAE, SINB-YA!" teriak Soojung. Lolos sudah satu butir airmatanya. Menghancurkan pertahanan yang sejak tadi dia buat.

    "Berhenti mengucapkan kata maaf seolah aku akan membunuhmu sekarang! AKU INI KAKAKMU! BUKAN MONSTER!"

***

Bagaimana untuk prolognya, Readers?? Semoga kalian suka, ya...

Kalo kalian merasa ada yang kurang sama ceritaku, dikomen aja ya... oke??

Kalau begitu, sampai di sini dulu ceritanya. Tunggu terus kelanjutannya ya....

Jung Family: Monster PeniruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang