#6―Tengah Malam.

45 13 2
                                    

     Shilza masih terjaga, meringkuk kedinginan dan takut yang menyelimuti. Untuk pertama kalinya, Ia merasa sangat diteror, bahkan penyebabnya saja tidak Ia ketahui.

"Sebenarnya, si peneror itu mau apasih dari gue" pikir Shilza sambil memasang kuping mendengar denting jam

"Gue perasaan nggak ngelukain hati orang deh untuk seminggu ini, gue aja udah tobat. Apa mungkin.. cowo itu?" gumam Shilza dan menarik selimut tebal berwarna pastelnya untuk menutupi leher jenjangnya

Ia tertidur, bola matanya berhenti bermain dengan dunia, semilir angin dari luar terasa menyejukkan pikiran terornya.

"Tidurlah cantik, aku suka kau seperti ini" lirih suara pria sebelum mengusap lembut rambut Shilza

     Jam dinding tidak pernah lelah berputar di dunia fana ini, daya hidupnya sangat bergantung pada benda kecil yang banyak manfaat itu. Ia terus berputar di tengah malam, membangunkan Shilza yang tertidur nyenyak.

"Karet rambut gue mana dah" kata Shilza kebingungan karena karet itu adalah karet berharga, karena seorang Shilza hanya memiliki satu karet rambut dan yang lainnya, menghilang.

"Ah masa iya hilang lagi, tai banget!" kesal Shilza dan membenarkan rambutnya

    Dirinya bangkit dari sofa, matanya masih terasa mengantuk. Dengan berat, Ia keluar kamar dan pergi ke dapur untuk sekedar mengisi kerongkongannya yang haus dan butuh cairan.

    "Nyamm.. nyam" suara kunyahan dari meja makan seketika membangunkan kedua mata Shilza, meneliti sosok siapa di meja makan.

"Ka Vella? Mama?" tanya Shilza pelan, suara mengunyah seketika terhenti.
Saklar lampu ada di dekat Shilza, namun dirinya sangat tak punya nyali untuk melihat sosok yang Ia kira itu adalah si peneror. Pikirannya mengatakan bisa saja peneror itu membawa senjata tajam dan siap menghempas jiwa Shilza ke alam lain di malam ini.

    Shilza meneguk ludahnya beberapa kali, menatap ke arah meja makan yang sudah tidak bersuara. Tangannya tanpa ragu, menekan saklar lampu di dinding, dapur yang kosong dan sunyi ada di hadapannya.

"Hah kosong? Astaghfirullahalazim, kerja lembur bagay quda, sampay lupa.. hiih kok nyanyi si!" kesal Shilza dan menepuk jidatnya.

Niat untuk sekedar minum atau bisa mengemil, Ia tunda dan batalkan. Kakinya dan pikirannya bekerja sama untuk segera ke kamar dengan cepat.

     "Shilza!" panggil Mama dari kamar yang Shilza lewati

"Apa Ma?" tanya Shilza mundur beberapa langkah

"Salat tahajud, sudah?" tanya Mama dengan badannya yang tertutup mukenah pemberian ulang tahun beberapa bulan yang lalu

"Oiya, belum Ma. Shilza tadi kebangun terus Shilza ke dapur dan denger orang lagi makan padahal .."

"Sstt! Jangan ngigau terus deh kamu Shil! Cepetan sana kamu wudhu" potong Mama dan hendak masuk ke dalam kamarnya

"Eh Mamaa! Temenin aku wudhu ya, boleh lah" mohon Shilza dengan wajah yang Ia buat-buat memelas. Mama hanya menggeleng pelan dan masuk ke dalam kamarnya.

Shilza pasrah, nyalinya menciut saat melihat kamar mandi yang sepi dan hanya suara tetesan air yang terus terdengar.
Kaki kirinya resmi masuk ke lantai kamar mandi yang basah, tangannya memutar keran dengan perlahan, merasakan dinginnya air di waktu-waktu yang Allah swt perintahkan untuk sholat malam.

     "Assalamualaikum warahmatullah" salam Shilza diiringi dengan kepalanya ke arah kiri.


"Ya Allah, apa sebenarnya yang terjadi sekarang ini? Apakah hamba diteror? Ya Allah, tolong berikan petunjuk Ya Allah, baik bagi si peneror itu dan juga bagi hambamu ini. Aamiin" doa Shilza dengan khusyuk

Ia melepas mukenah berwarna jingganya, melipatnya dan menaruhnya di rak.

    Dengan cepat, Ia merebahkan tubuhnya ke kasur. Berpikir keras tentang si peneror.

"HAH TUNGGU! BUKANNYA KASUR GUE INI!" seru Shilza dan segera bangkit untuk mengecek.
Tidak ada tetesan darah, tidak ada tulisan MATI, sprei tayo kebanggannya masih mulus sempurna.

"Apa gue ini.."
"Stress ..?"

Shilza menggaruk kepalanya, mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Ia benar-benar butuh seseorang untuk diajak bicara dan mengobrol tentang teror yang terjadi pada dirinya.
Namun, Ia tidak mungkin membahasnya bersama Ka Vella terlebih lagi pada Mama. Itu sangat tidak mungkin.

     Zian masih dalam dengkuran tidurnya yang spesial. Badannya dibiarkan terbuka dibawah kipas angin dinding yang terus berputar, otot-otot gagahnya sudah tidak usah lagi ditanya bagaimana bentuknya. Keenam kotak di tubuhnya kini benar-benar terekspos sangat jelas.

"Pisau hmm jubah dimana kamu hmm umm ..." lantur Zian disertai iler di mulutnya yang menetes
.
.
.

Ayo terus like, comment dan boleh juga saran yang membangun!
VOTE YA VOTE. 🔥🍁
Vote kalian sangat berharga🍁- author

Just Friend.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang