Prolog

79.6K 3K 51
                                    

"You never know your owner."

-- L22B --

Sudah lima bulan aku bekerja di minimarket tidak jauh dari rumah. Keputusan cuti kuliah di semester tujuh kulakukan demi adik semata wayangku, Nadya Sanjaya. Dia butuh biaya lebih masuk di perguruan tinggi.

Penghasilan ibu yang hanya punya kios kecil di pasar tidak mampu membiayai kami, manalagi biaya hidup. Jadi, aku bekerja full sementara waktu. setelah Nadya kuliah, barulah cari kerja sampingan sambil kuliah.

Ayah? Jangan ditanya kabarnya. Aku tidak mau tahu informasi apapun tentang dia. Kami pindah ke kota lain setelah dia memilih selingkuhannya yang mengandung tiga bulan. Kejadian itu lima tahun lalu, selama itu pula komunikasi dengannya terputus.

Sejak Nadya bilang ingin melanjutkan kuliah di universitas negeri ternama, aku ingin dia belajar sungguh-sungguh, les di tempat bimbingan populer agar lulus SBMPTN jika tidak berhasil di jalur SNMPTN. Aku tidak ingin dia berakhir di universitas swasta yang masih memperjuangkan akreditasinya sepertiku.

Nadya adalah harapanku dan ibu. Dia cukup pintar dan aktif di organisasi sekolah. Walaupun tiga minggu lalu dia terkena masalah karena temannya, aku tetap percaya padanya. Dia bukan gadis bodoh yang mau terlibat dengan hal-hal yang menyusahkan keluarga.

Setelah lima bulan bekerja di sini, rasanya tidak terlalu buruk walaupun aku sering pulang malam. Karena minimarket terbuka 24 jam, pergantian shift dilakukan pada malam hari. Kadang aku suka tinggal mengatur barang hingga pulang larut seperti sekarang.

"Hari ini banyak konsumen Ris, banyak barang yang kosong di rak," ujarku sambil mengatur mie instan sesuai dengan jenis masing-masing.

"Hm," gumam Riswan sambil tetap fokus depan komputer di meja kasir. "Besok barangnya datang, kan?" tanyanya menoleh pada orang di sampingnya.

"Yap," jawab Randi. Dia sedang sibuk melakukan hitungan barang yang terjual hari ini.

"Nay, kamu nggak pulang? Pipit sudah pulang dari tadi, loh." Suara Riswan terdengar lebih dekat.

Aku mendongak, dia sudah berdiri di sampingku. "Selesai ini aku pulang," kataku menunjuk beberapa mie instan di keranjang.

Otot-otot kurenggangkan dengan memutar pinggang ke kanan dan kiri setelah mie instan sudah pindah dan tersusun rapi di raknya. Sekilas aku melihat punggung seorang pria yang berdiri di meja kasir depan Riswan. Aku memandang seisi ruangan, tidak ada pelanggan lagi. Mataku tertuju pada pendingin es krim.

"Udah jam 11 malam Nay, masa' makan es krim?" Riswan mendekatkan barcode scan di pembungkus es krimku.

"Kamu yang bayar, ya," pintaku memelas.

Riswan mengernyit, " kok aku?"

Aku berjalan mundur membuka pintu kaca tanpa memberikan uang sepeser pun, "upah aku bantu rapiin itu." Aku menunjuk satu rak.

"Ya ela..., itu kan memang tugasmu," elak Riswan terhadap kerja kerasku.

"Tapi sekarang jam kerja kamu," balasku sebelum pintu tertutup.

Aku duduk di kursi menyaksikan Riswan berdumel kesal karena ulahku. Sejengkel apa pun dia, aku tahu pada akhirnya akan dibayar.

Rasa manis dan dingin menyentuh lidahku. Aku berdecak enak sambil tetap memperhatikan Riswan yang mengoceh di dalam. Bibirnya berhenti berkomat-kamit membentuk senyuman saat dua pelanggan wanita masuk. Aku tertawa kecil melihatnya.

Tawaku terhenti ketika menghadap ke depan, di kursi seberang meja yang kududuki, seorang pria menatapku. Ekspresinya datar tapi sorotan matanya tajam menembus pupilku. Aku terkesiap, kami saling bertatapan, lama. Waktu seakan berhenti sejenak. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya, wajahnya memancarkan aura yang sangat kuat membuatku takut sekaligus kagum.

"Ma-af," kataku terbata-bata dan sedikit menundukkan kepala.

Pria itu tetap diam, ekspresinya pun tidak berubah. Aku tidak tahu apa dia menerima atau menolak permintaan maafku. Sorot matanya pun masih sama, mengintimidasi. Aku seperti tersangka yang melakukan kesalahan besar hanya karena duduk di hadapannya. Bulu romaku berdiri.

"Maaf, permisi," ujarku muak karena tidak mendapatkan respon. Rasa kesal tiba-tiba muncul dibenakku karena dicuekin.

Sesaat tarikan napas pria itu terdengar saat aku berdiri. Aku sempat meliriknya setelah masuk minimarket, dia masih fokus pada kursi kosong di depannya.

Ya. Sepertinya aku memang duduk di tempat yang salah.

*****18/01/19*****

Ini adalah tulisan keduaku, semoga lebih rapi dari yang pertama dan kalian tertarik membacanya.

'I'm his' ini sebagai pelarian dari EMay klo lagi stuck di sana. Rencana updet sekali seminggu. Part.y jadi long or short story tergantung peminat n partisipasi yang baca, mungkin juga bakal berakhir unpublish.
😆😂

Ide cerita ini muncul karena timeline yutub aku biasanya full of korean things, eh tetiba satu berita gosip yg udah lama sih selalu muncul, lama2 penasaran eyke, jd buka. Pas udah buka, eh, gosip yg mirip malah bertebaran. Gerah deh, muncul lah ide cerita ini dari sudut pandang eyke.

Kalo ada nama, instansi, lembaga, tempat, peristiwa yang sama, hanya kebetulan. Ide utama fiksi ini adalah hal yang sering terjadi di masyarakat. Klopun ada yg mirip bangetz, kebetulan ya. Taulah, eyke imajinasinya liar sih, eyke juga badboy lover di dunia khayal, klo ada di real life kan, amit2 deh.

Nah, bagaimana pendapat kalian tentang cerita ini setelah baca prolog.y???

Jang lupa vote & comment. ^_^

I'm HisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang