N-34. His whisper

11.1K 1.5K 312
                                    

"Emang enggak takut Pak Aksa?"

Keberanian Niel bicara seperti itu membuatku mempertanyakan statusnya sebagai anak buah. Enteng bener ngajaknya, kayak tidak tahu aja kelakuan bosnya kalau marah. Aku saja masih ingat saat dia memukul orang yang melukai lengangku dulu, apalagi ini ngajak yang enak-enak. Bisa-bisa leher Niel jadi taruhannya.

"Takut kenapa?"

"Ngajak aneh-aneh."

"Nay suka Pak Aksa?"

"Enggak," balasku cepat. Aku memiringkan posisi duduk agar bisa mengamati ekspresi Niel. "Enggak usah pakai nama kayak yang ono, kamu aja," lanjutku protes dengan kebiasaan menyebutkan nama yang sering dilakukan Aksa.

"Masih cinta Yudhis?"

"Enggak."

"Berarti tidak ada masalah dengan ajakanku." Niel menoleh sambil tersenyum kecil. Aku tidak bisa menebak dia serius atau hanya mengujiku.

Aku kembali menghadap ke depan. Sedikit linglung dengan ajakan Niel barusan. Maksudku, dari tadi aku mengajaknya bicara tapi dicuekin. Aku tanya tentang pacar pun tidak dijawab. Eh, tiba-tiba ngomong sesuatu yang menurutku.... Ah, bukannya tadi aku yang mulai bicara sembarangan padanya? Atau, apa memang dia lebih tertarik bahas hal seperti itu?

"Kamu suka cewek gimana?" pancingku. "Siapa tahu aku punya teman sesuai kriteriamu, nanti aku kenalin."

Niel menoleh sebentar, "Cewek bertubuh mungil."

"Nyindir?!" Malah nyulut api ini orang. Karena Niel tidak merasa membuatku tersinggung, dia hanya mengangkat bahu mengisyaratkan terserah aku mau marah atau tidak.

Yudhis juga pernah mengatakan hal yang serupa saat aku protes dengan perbedaan tinggi badan kami. Kupikir orang semacam Yudhis maupun Niel lebih suka yang penampilannya ala model gitu, tinggi semampai dengan perut rata dan bokong agak menyembul ke belakang. Indah dipandang mata saat berpapasan, bukannya tinggi sebelah seperti aku.

"Apalagi?"

"Pasangan orang."

"Wah...! Tukang nyari ribut, ya? Lebih menantang kalau gangguin hubungan orang, gitu? Karena itu, lo mancing gue?!" Aku jadi emosi dengan jawabannya.

"Memang kamu punya pacar?"

"Sekarang enggak."

"Itu masalahnya, tanpa pacar pun aku masih mau."

Niel memelankan mobil saat akan memasuki kompleks rumahku. Beberapa orang berpayung berkumpul di sana meski hujan tinggal gerimis. Apa yang terjadi tidak membuatku penasaran, aku lebih penasaran pada Niel.

"Sejak kapan...." Pertanyaanku terputus saat Niel mengangkat tangannya menyuruhku diam.

"Ada apa, Pak?" tanya Niel setelah menurunkan kaca mobil.

"Barusan ada pencurian di Blok F, ini lagi keliling cari maling. Mau kemana?" Seseorang yang mengenakan jas hujan yang kukenal sebagai keamanan di kompleksku mengamati Niel.

"Ke rumah saya, Pak." Aku nyeletuk sambil menunjukkan wajahku, kurasa dia mengenalku karena aku sering bawakan kue-kue buatan ibu. "Kok gelap, Pak?" tanyaku melihat lampu charger yang menyala di posnya.

"Ada pohon tumbang, kena tiang listrik. Sekarang sedang diperbaiki."

"Wah, jadi susah cari malingnya kalau gelap begini."

" Iya, Mbak. Dua maling masih berkeliaran, mungkin cari tempat sembunyi. Mbak nanti kunci pintu dan jendela baik-baik biar aman."

Aku mengangguk mendengar nasehatnya. "Siap, Pak. Bapak juga hati-hati, jaga kesehatan." Pesan terakhirku sebelum Niel kembali menutup jendela kacanya.

I'm HisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang