N-33. He says....

11K 1.5K 298
                                    

Lima belas menit yang ditawarkan Aksa kumanfaatkan sebaik-baiknya. Tiga menit  menghabiskan sarapan, dua belas menit mandi plus pakaian. Bagaimana tidak, aku harus di tempat kerja jam tujuh. Entah ini namanya untung atau malah sial, ya? Untung aku ingat diminta Randi cepat-cepat masuk kerja karena barang baru datang pagi, sialnya karena aku kehilangan momen yang ditawarkan Aksa. Bahkan, aku mengabaikan badmood-nya dengan nebeng sampai di perempatan tapi dia mengantarku sampai di depan minimarket dengan catatan aku harus pulang bersamanya.

Mobil Aksa yang sudah di parkiran sejak setengah jam lalu membuatku deg-degan. Tadi pagi aku bisa  menahan diri, malam ini aku tidak yakin. Dalam situasi sekarang, aku tidak bisa terlalu lama di dekatnya. Aku benar-benar butuh pelampiasan dan Aksa adalah orang yang tepat melakukannya. Haruskah kukesampingkan nuraniku pada anak yang belum lahir?

"Masih sama suami orang?" tanya Randi yang melihatku mengamati mobil Aksa.

"Yoa, usaha Yudhis sia-sia." Rugi aku curhat pada Pipit jika akhirnya malah menyerang juga.

"Calon bapak orang, loh." Riswan ikut menimpali. Sepertinya aku tidak dapat dukungan siapa-siapa kali ini.

"Gue tahu nafsu itu susah dikendalikan, tapi pada akhirnya gue tetap balik ke istri." Edisi nasehat sekaligus sindiran. Jelas sekali Randi bilang aku akan dicampakkan.

"Kurasa Yudhis lebih aman perihal nafsu, kebobolan tinggal ayuk nikah. Kan, kawinnya udah." Mulut Pipit makin pedes, kagak tahu aja dia kelakuan Yudhis bagaimana.

"Sana puasin kelamin kalian berdua, doi dari tadi nunggunya."

Shit! Apa jelas terbaca aku sangat butuh itu sekarang! Radar orang-orang ini memang tanpa batas dengan yang hot-hot.

"Mulut kalian setajam silet, ya. Ngiris teman enggak ketulungan." Aku tidak tahan lagi.

Riswan merangkul punggungku. "Itu karena kami sayang kamu, Nay."

"Betul say," tambah Pipit. "Ucapan antara nasehat, sindiran, dan bully itu beda tipis tapi tujuannya sama, menyelamatkan Nayla yang tersesat."

"Isshhh...." Aku melepas rangkulan Riswan. "Kalau gue tetep mau sama Aksa kalian bakal musuhin aku, gitu?"

"Enggak, dong." Riswan kembali merangkulku. "Balik arah ngedukung-lah. Kan kamu yang jalanin, kita mah asyik-asyik aja nontonnya." Jawabannya bikin dongkol.

"Apa pun pilihan teman kita, ya di-support, dong." Pipit ikut-ikutan.

Randi hanya geleng-geleng sambil tertawa kecil. "Lo temui sana, bikin keputusan, biar teman-temanmu ini juga punya pendirian. Kalau lo aja linglung, apalagi kami sebagai supporter-mu."

Ada-ada aja mereka. Benar salahnya didukung semua. Apakah ini yang namanya persahabatan? Temannya tersesat dibiarkan saja jika sudah memilih tersesat, gitu?

Emang iya juga sih, kita tidak bisa memaksakan keinginan pada orang lain. Pilihan ada di tangan masing-masing individu, jadi aku sendiri yang harus menentukan jalan hidup yang akan kupilih. Benar salahnya tidak akan kusesali, toh aku sudah tahu konsekuensinya.

Seperti saran Randi, aku menemui Aksa. Tanpa kata setelah aku memasang seat belt, Aksa menyalakan mesin mobil. Dia bahkan tidak protes setelah menungguku hampir sejam.

Deritan panggilan mamanya Yudhis kubiarkan saja di tas. Karena telpon dan chat anaknya aku abaikan, kini mamanya yang aktif menelpon sejak siang tadi. Hingga jelang malam, dia terus menelpon setiap setengah jam.

"Tidak diangkat?"

"Aku balik ke tempat Yudhis, jadi antar aku ke sana." Jawaban yang bukan jawaban. Aku tidak menjawab pertanyaannya tapi menegaskan tidak mau kembali ke apartemen bersamanya.

I'm HisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang