2

42 4 0
                                    

23/04/2001 16:42

Daun berguguran. Langit yang mendung.

"Ini, makan sandwichnya."

Kedua tangan kecil meraih makanannya dan tidak sabar menggigitnya. Tawa lembut mengalun di udara dari ledakkan rasa yang menari dilidahnya. Taeyong menyukai sandwich buatan ibunya.

Saat dia mengunyah gigitan besar roti dan isi selai stroberi itu, mata penasarannya mengedar dan menyaksikan anak-anak lain berkeliaran di taman. Taeyong ingin bergabung dengan mereka untuk bermain, tetapi dia tidak pernah diijinkan. Piknik adalah hal yang langka, dan dia bahkan tidak bisa meminta ijin karena dia tahu ibunya tidak akan membiarkan dia berdiri di bawah matahari selama lebih dari satu jam. Memikirkan tentang mencari teman dan bermain petak umpet adalah satu-satunya yang dia dapatkan, dan satu hari keluar rumah sebulan sekali adalah kemewahan.

Dia bertanya mengapa dan ibunya mengatakan padanya bahwa dia lemah —lari akan menguras energi dan jantungnya tidak akan kuat. Taeyong tidak memahaminya, seberapa lemah jantungnya? Bagaimana dengan anak-anak lain? Apakah jantung mereka tidak lemah karena ibu mereka selalu membiarkan mereka bermain di luar?

Ibunya tidak akan pernah lupa untuk mengingatkan bahwa dia tidak akan cocok untuk kegiatan yang penuh semangat dan bahwa dia harus tetap membaca dan menggambar. Taeyong suka membaca dan menggambar, tetapi dia ingin bersosialisasi juga.

"Bolehkah aku bermain dengan mereka, bu? Kumohon? Aku tidak akan lari."

"Sayang, yang mereka lakukan hanyalah lari. Anak-anak seperti mereka tidak tahu apa-apa lagi selain menyusahkan. Mereka tidak membaca dan memperoleh pengetahuan di waktu luang mereka. Kau tidak mau menjadi anak yang menyusahkan, kan?"

"Tidak, bu."

"Maka kau seharusnya tidak iri pada mereka. Kau sudah memiliki apa yang kau butuhkan. Bukankah ibu sudah memberitahumu tentang jantungmu, sayang?"

Ibunya tersenyum begitu lembut dan Taeyong berpikir bahwa ibunya adalah wanita tercantik. Seorang bocah tersandung di dekatnya dan menangis, ibunya dengan cepat mengangkatnya untuk menghapus air matanya.

"Jangan lemah sepertinya, Taeyong. Jangan menangisi hal-hal kecil."

Taeyong anak yang patuh dan Taeyong kecil belajar bahwa dia harus bersyukur dia lebih pintar dari yang lain, dan bahwa jantungnya seharusnya merasakan cinta dan kasih sayang, memiliki mimpi dan harapan tetapi Taeyong hanya bisa makin membenci jantungnya di setiap harinya.

xXx

01/07/2003 – 07:03

Dia menatap lurus ke mata Taeyong. Taeyong mencubit lengannya dan dia mengaduh kesakitan lalu cemberut.

"Ibu, apa ibu yakin dia robot? Kenapa dia mirip denganku?"

Ibunya duduk di sebelahnya dan menyisir rambutnya sebelum meninggalkan ciuman di atas kepalanya.

"Ayahmu dan ibu berpikir karena kau tidak memiliki saudara kandung dan kau tidak bisa kemana-mana, ayahmu membuatkanmu seorang teman —seseorang yang tahu bahwa dia seharusnya tidak membuatmu memainkan permainan yang akan melelahkanmu. Dia akan melakukan apa yang kau katakan, Taeyong. Jika kau memintanya untuk membaca denganmu, maka dia akan melakukannya. Jika kau memintanya melukis denganmu, maka dia akan melakukannya. Beritahu ibu jika dia menolak."

Robot —bocah itu, menundukkan kepalanya saat Taeyong memandangnya. Taeyong menganggapnya itu bukti kalau robot itu tunduk kepadanya. Lagipula mesin adalah hewan peliharaan mereka.

Ibunya meninggalkan mereka sendiri untuk mengangkat panggilan dan Taeyong terus menatap bocah itu. Dia melirik kulit yang dicubitnya, dan mengernyit karena dia tidak melihat warna kemerahan dikulitnya.

(zero) beats per minuteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang