Aku memilih bungkam setelah mendengar pernyataan Seok Jin. Dia adalah tipikal oportunis tulen dan aku baru-baru ini menyadarinya. Tetapi dia tetaplah suamiku. Dia baik, selama ini dia tidak pernah berlaku kasar. Bagaimana pun itu aku tidak boleh kecewa dengannya. Aku sudah terlanjur memilih jalan yang salah. Untuk itu, aku harus berjuang untuk berbelok ke arah yang benar.
Harus kuakui, aku sudah dibuat jatuh cinta untuk kesekian kalinya atas sikap baiknya, atas ilmunya yang beberapa kali dia bisikkan ke telingaku sebelum kami tertidur, dan banyak hal lain tentang dirinya yang tidak bisa aku rangkai satu persatu. Lalu kenapa aku harus kecewa? Setidaknya sikap-sikap dia yang mengecewakanku sudah terselumti oleh sikap baiknya.
Dan oh Hana kenapa sekarang aku begitu cengeng. Aku justru mengeluarkan air mata. Jangan sampai Seok Jin mengetahui hal itu. Maka dari itu kualihkan pandanganku ke arah jendela. Menjauhi tatapanku dengan tatapannya.
"Kau menangis?" tanyanya setelah kami tiba di rumah. Kami segera mengganti sepatu dengan sandal rumah.
"Tidak, aku hanya sedang tidak enak badan." Aku berbohong tentu saja, aku tidak mungkin menjawab jujur.
"Kau sakit hati?"
"Ya?"
"Kau gadis yang jujur nyonya Kim."
Sial, aku keceplosan. Bukan begitu maksudku. Astaga! Sepertinya aku harus lebih banyak belajar akting ke depannya agar dia tidak buru-buru menyadarinya.
"Kamu bahagia?" tanyanya.
"Aku bahagia kok."
"Aku melihat kesedihan di wajahmu, matamu sembab. Kau—"
"Ya, kau pikir aku semenyedihkan itu?"
"Kurang lebih begitu, tampangmu begitu tidak beraturan."
"Enak saja. Aku hanya kecapaian."
"Mau kugendong," tawarnya.
"Tidak..." belum cukup aku berujar dia sudah mengangkat tubuhku. Aku tidak tahu apakah tubuhku seringan itu sehingga dia dengan lancar membawaku hingga ke kamar. Aku sungguh tidak bisa menahan tawa bahkan nyaris terbahak.
"Tetaplah tersenyum dan tertawa seperti itu, aku menyukainya," ujarnya setelah merebahkan badanku di atas kasur.
Aku harus bangkit dari kasur sesegera mungkin. Tubuhku masih kotor, setidaknya aku harus membersihkannya dulu sebelum tidur. Tetapi aku tidak punya kekuatan untuk itu. Tubuhku masih terlentang dan terhimpit oleh badan Seok Jin di atasnya. Meski kulit kami tidak bersentuhan.
"Seok Jin aku ingin mandi," ujarku pelan.
Seok Jin merebahkan badannya di sampingku.
"Kau mau mandi di dalam keadaan sakit begitu?" begitu tanyanya.
"Aku akan lebih sakit kalau aku membiarkan tubuh kotorku menempel di tempat tidurku."
Aku memang tidak tahan melihat sesuatu yang kotor. Ketika melihat benda kotor rasanya seperti melihat kuman yang segera menggerogoti tubuhku.
Seok Jin menggeleng-geleng tidak percaya.
"Kau harus menerima kebiasaanku itu," jawabku. Badanku sudah berdiri tegak dan siap meluncur ke kamar mandi.
"Kau juga, segerlah bangun dan bersihkan tubuhmu. Apa perlu kita mandi bersama?" Aku tersenyum licik.
"Kupersilahkan nyonya Kim mandi terlebih dahulu," jawabnya. Setelah itu dia menarik tubuhnya dari atas kasur. Ah, sial! Dia tidak terpancing.
* * *
Ajaibnya setelah bangun tidur perasaan kecewa itu kian memudar. Aku melihat dia masih tertidur dengan membelakangiku. Layaknya pagi-pagi sebelumnya aku menjalankan tugasku untuk melayaninya sebagai istri, meskipun dia tidak pernah meminta. Aku melayani dia makan terutama saat sarapan karena kami selalu sarapan berdua dan hanya itu waktu yang paling rutin kami lakukan, aku juga menyiapkan bajunya sebelum berangkat ke kantor. Aku berusaha mengurus segala keperluannya. See, setelah berumah tangga aku jadi merasa lebih dewasa. Bahkan kadang-kadang aku berpikir bahwa aku lebih dewasa darinya.

YOU ARE READING
Eufhornia
LosoweTidak jarang orang mengatakan bahwa hidup Hana itu begitu sempurna. Gadis itu menikah dengan orang yang dicintainya. Suaminya kaya dan sanggup mengikuti semua keinginannya termasuk mendukung sifat gila belanjanya. Kata orang dia sangat beruntung bis...