ten

1.6K 219 31
                                    

“Asal kamu tahu Edo itu yatim piatu.”

Tubuh Tania membeku. Rasa bersalah yang sebelumnya tak pernah hinggap kini mengendap. “Nawang beneran nggak punya orang tua ya?” tanyanya dalam hati.

“Dia adik temen mama kamu. Harusnya, dia tinggal di Bali, tapi setelah mama Septa ingat ada kamu di Jakarta dan kebetulan kalian seumuran. Jadilah, mama mengusulkan Edo tinggal di sini. Ya, itung-itung bisa ngawasin serta lindungin kamu ‘kan,” lanjut Tomy.

“Emang saudaranya ke mana? Kenapa dia nggak tinggal sama abang-kakaknya aja?” tanya Tania mencari celah untuk mengenyahkan rasa bersalah.

“Dia punya dua kakak cowok dan satu kakak cewek. Semua udah berkeluarga.” Tomy membelokan mobil ke kanan. “Entah alasannya apa, tapi semua kakak ipar Edo enggak suka sama dia.”

“Pantes nggak suka. Dia annoying gitu,” gumam Tania.

Walaupun gumaman Tania pelan, tapi Tomy bisa mendengar. Senyum di wajah pria itu mulai terukir. “Edo bukan cowok annoying. Kamu harus tahu kalau dibalik sikap aneh, bahagia, ceria, atau dibalik ekspresi terlihat 'baik-baik saja' seseorang, pasti ada 'sesuatu' yang sedang mereka sembunyikan.”

Tania kembali menoleh. “Maksud ayah?”

Tangan Tomy terulur. Menyentuh punggung tangan Tania lalu mengelusnya. “Stop judge someone.”

“Tania nggak nge-judge Nawang—”

Tomy menggelengkan kepala. “Ayah nggak berhak buka semua kartu Edo. Tapi ayah cuma pesan ke kamu satu hal. Kita, sesama manusia, diciptakan oleh Tuhan yang sama. Lalu, apakah kita berhak menilai seseorang dari luarnya saja?” Tomy menatap wajah Tania. “Jawabannya tentu tidak. Derajat kita sama di mata Tuhan. Kita juga sama-sama diciptakan dari tanah. So please jangan judge seseorang sebelum kamu mengenal baik dirinya.”

Kalimat yang tadi Tomy ucapkan kembali terngiang di pikiran Tania. Mendadak dia merasa bersalah. Jadi benar, Nawang nggak punya orang tua? Pertanyaan itu terus saja Tania lontarkan bahkan ketika kakinya melangkah ke dalam rumah.

Tania melentangkan tubuhnya di atas ranjang. Mata indahnya menatap langit-langit kamar. Nawang, pemilik nama itu menyimpan misteri dalam hidupnya. Banyak pertanyaan muncul di benak gadis itu. Tania ingin mendengar cerita Nawang lebih banyak, tetapi tidak bisa.  Ia bukan siapa-siapa Nawang, tidak mungkin tiba-tiba bertanya. Apa lagi, menanyai hal rawan menyangkut keluarga.
Tania bergerak gelisah di atas ranjang, kanan—kiri.

“Lo di mana,  Wang?” ucap Tania tanpa sadar.

Andaikan gadis itu tahu kalau Nawang sebatang kara. Andaikan Tania tahu kalau remaja itu butuh teman bercerita. Pasti tidak akan menyakiti hati Nawang. Bukan tidak menyakiti, tetapi lebih berhati-hati supaya tidak terlalu menyakiti.

Lamunan Tania terpecah ketika suara panggilan seseorang terdengar di telinga. “Tania sayangku~”

Tania tahu pemilik suara kaleng rombeng itu. Siapa lagi kalau bukan Nidya Caroline. Lantas saja, cewek itu bangkit untuk membuka pintu kamar. Dia langsung menarik tangan sahabatnya ini—yang rencananya akan menginap di sini.

Sayangnya mereka hanya berdua, tanpa Desya. Kalau sudah ngumpul begini, wajibnya bertiga sih. Tapi, si kampret Desya memilih hilang tanpa kabar berita bagai tertelan lautan sejak pulang sekolah. Padahal, Tania dan Nidya sudah spamchat di grup. Gadis tidak membalas, jangankan menjawab membaca pun tidak. Benar-benar!

colorless Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang