Raut keterkejutan tak dapat disembunyikan dari wajah Tania. Ketika dia menuruni tangga menuju ruang makan, mendapati Nawang duduk di kursi meja makan.
Berbagai pikiran terlintas di benak Tania, salah satunya soal menguntit. Ini yang membuatnya sebal setengah mati. Namun, di sisi lain hatinya, dia merasakan kebahagiaan. Entah karena apa.Sama seperti yang sudah-sudah, saat berhadapan dengan Tania, Nawang selalu menyungingkan cengiran khasnya. Tania yang baru saja bergabung langsung disambut senyuman manis si cowok asal itu.
“Makan, Tan,” katanya.
Setelah menjawab ucapan Nawang dengan gumaman, Tania menarik kursi makan. Dalam diam, menyendok nasi merah dan mengambil sambal ikan, serta ayam goreng. Sayuran, kesukaan Tomy, enggak menjadi favorit gadis itu. Suasana canggung meliputi ruangan lebar ini, denting alat makan yang saling beradu adalah suara yang menguasai pendengaran. Tania fokus menatap piring nasinya dan Nawang makan sembari menunduk. Tomy melirik keduanya, benar-benar kaku.
Tomy berdeham pelan. Membuat dua remaja itu langsung menatapnya bersamaan. “Apa?” tanya Tomy mendapati Nawang dan Tania kompak melihatnya.
Sepasang remaja itu menggelengkan kepala lalu kembali fokus pada piring makanan.
Lalu, si ayah mengembuskan napas kasar. Suasana yang membosankan. “Eh, Tan,” Tomy, membuka suara. Membuat si pemilik nama menatapnya. “Kata Mbak Inten ada temen sekolah kamu datang ke sini. Terus sekarang mana? Kok, nggak diajak makan malam?”
Ah, Nidya!
Tania seperti tersentak, teman—yang tertidur itu dia tinggalkan tadi setelah mandi. Lebih bodoh lagi, dia hanya menerima ketika Nidya merengek meminta menginap. Padahal, ada Tomy dan Nawang. Habislah sudah malam ini akan menberikan penjelasan panjang ke sahabat terbaiknya itu.
“Tan mana temen kamu?” pertanyaan Tomy menyadarkan Tania.
“Ha? A-ah, iya! Dia masih ketiduran di kamar aku,” jawabnya apa adanya.
Demi Tuhan, Tania belum siap menjelaskan, apa lagi ke Nidya. Dia buru-buru berpikir, harus cepat memberi tahu sahabatnya itu, mencegah agar tidak berkeliaran ke lantai satu. Bila perlu memintanya pulang.
“Oh masih tidur. Ya, udah nanti jangan lupa kenalin dia ke ayah, ya!” ucap Tomy antusias.
“Tania, oh, Tania!” teriakan Nidya menghentikan gerak semua orang yang ada di ruang makan.
Tak lama setelah suara itu terdengar sesosok gadis manis pun muncul ke hadapan. Masih dengan kaos lengan panjang dan celana pendek di atas lutut.
Gadis itu nyengir kuda—tak menyangka jika ada manusia lain (Tomy dan Nawang) di sini. Masih terus nyengir sembari menatap Tania. Sorot mata tajam, menuntut sebuah penjelasan.
Tamatlah sudah.
...
“The real sugar daddy.”
Ralat.
“The real abang sugar daddy!” Adalah ucapan yang tak henti-hentinya Nidya serukan sejak bertemu dengan seorang Gabriel Tomy Wardhana.
Bahkan, sudah setengah jam makan malam usai, gadis yang baru saja keluar kamar mandi itu masih terus melontarkan sebutan untuk Ayah Tania
Tania tak acuh dengan gumaman Nidya dia masih fokus menyapu setiap ruas kuku dengan kuteknya—yang kuning. Menuntut suatu penjelasan, Nidya melayangkan jitakan ke kepala sahabatnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
colorless
Teen Fiction[T E E N F I C T] colorless: ks. 1 tanpa warna. 2 tak menarik.The story was utterly c. Cerita itu sama sekali tak menarik. . Hidupnya tak lagi berwarna ketika sebuah rahasia yang selama ini tersimpan rapat tiba-tiba terungkap.