fourteen

1.7K 217 29
                                    

Serba salah.
Itu gambaran yang pas untuk mendeskripsikan keadaan Nawang. Dirinya tak bisa berbuat apa-apa. Kalau pun bisa, pasti kena marah. Serba salah kan?

Nawang masih kebingungan menatap Tania yang masih sesenggukan dan tidak mau bicara sejak lima belas menit lalu. Tepat saat dirinya mengenyakkan badan di jok mobil. Saat ini keduanya sedang duduk di mobil Nidya. Nawang mengendara mobil sesuka hatinya, entah, hanya memutar setir, injak pedal dan menatap lurus ke depan, gelapnya malam, tentu saja.

Belajar dari pengalaman saat Brisia, keponakan Nawang menangis, dia punya dua cara untuk meredakan tangisan. Pertama: Membawa tubuh gadis kecil itu ke dalam dekapan lalu mengelus kepalanya sembari membisikan kalimat menenangkan. Kedua, memberi gadis kecil itu sesuatu yang disukainya. Dan ajaib! Dua cara itu ampuh untuk meredakan tangisan Brisia.

Lalu sekarang yang jadi masalahnya apa cara demikian bisa dipakai untuk meredakan isak Tania?

Jawabannya adalah, bisa jadi. Namun, kita harus berpikir lebih dalam tentang dampak apa yang nanti akan Tania berikan saat Nawang mencoba menenangkan. Mari kita analisis kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi;

Untuk cara pertama tidak mungkin Nawang lakukan. Ia tidak mungkin membawa tubuh Tania ke dalam dekapannya. Bukannya berhasil menenangkan yang ada malah Nawang mendapat bogeman karena sudah berani menyentuh Tania. Jadi untuk cara yang pertama coret sajalah!

Sekarang kita pikirkan cara kedua, yaitu; memberikan sesuatu yang bisa meredakan tangisan. Pertanyaanya adalah sesuatu apa? Apa yang bisa Nawang berikan pada Tania? Cokelat? Permen? Wafer? Demi Tuhan ... Tania bukan Brisia keponakannya. Umur mereka berbeda jauh.

Dan cara ketiga?

“Tidak ada, bodoh!” rutuk Nawang dalam hati, tangannya mengurut dagunya, kebingungan!

Lalu, harus bagaimana? Ck, demi Tuhan! Mengapa sulit sekali mendiamkan wanita yang sedang menangis?

Nawang menoleh ke samping. Mendapati tubuh Tania masih bergetar karena menangis. Ini sudah lima belas menit semenjak Nawang membawa Tania pergi dari tempat itu. Nawang menarik napas panjang lalu mengembuskan perlahan. Hanya itu yang bisa ia lakukan sejak semobil dengan Tania. Membosankan sekali.

“Kalau aja lo nangis di Malang mungkin gue bisa ajak lo ke suatu tempat yang bisa dijadikan pelampiasan.” Nawang akhirnya membuka suara. Persetan ada yang mendengar atau tidak.

“Di Malang, ada tuh, tempat orang jual ceker. Ceker bukan sekedar ceker biasa melainkan ceker pedes yang bener-bener pedes. Saking pedesnya, bisa bikin lo mencret tiga hari tiga malem. Btw, ceker itu kaki ayam kalau lo gak tahu.” Nawang berhenti sejenak. “Eh gue ceritain sembari ngendarain mobilya—”

“Tapi, jangan pulang. Lo boleh bawa gue ke mana aja asal nggak balik ke rumah,” potong Tania di tengah tangisnya.

Nawang tidak tahu apa alasan Tania enggan pulang ke rumah dan kenapa tiba-tiba menangis. Yang ia tahu seharusnya Tania tetap ada di dalam ruangan bersama teman-temannya. Tapi, entah kenapa malah nongol di parkiran Nawang tidak tahu apa yang terjadi pada anak teman kakak keduanya. Karena tadi ia ke parkiran untuk mengambil gawai yang tertinggal di mobil Nidya. Tujuannya pamer pada temannya, si Azu. Cowok berhoodie putih itu, mau memberitahu kalau ia diundang oleh cewek yang terkenal seantero Globarium. Sayangnya, niat pamernya tak terlaksana. Kemalangan menimpanya.

Nawang lupa, ketika ingin kembali ke dalam tempat pesta, dia tidak dapat menunjukkan undangannya. Alhasil cowok itu hanya bisa merutuki kebodohannya sepanjang melangkahkan kaki ke kembali menuju pelataran parkir.

“Oke.” jawab Nawang singkat.

Sebenarnya, Nawang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, ia terlalu takut bertanya. Apalagi yang ditanyai modelan si Tania. Hadeh. Belum juga melontarkan satu pertanyaan pasti Nawang sudah kena makian. Jadi, daripada sakit hati mending tidak usah.
Sembari melajukan mobil tanpa tujuan, Nawang kembali bercerita.

colorless Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang