sixteen

1.8K 217 70
                                    

“Eh, pulpen yang kemarin lo pinjem mana? Sini balikin!” suara itu mulai terdengar Tania.

“Lah,emangnya gua pinjem pulpen lu? Kapan? Kok gua nggak inget?” suara remaja lain menimpali.

“Belaga lupa, lagi! Balikin pulpen gue dalam keadaan selamat atau, lo akan dapat balasannya!” Tidak ada nada gurauan dalam kalimat itu. Memang seorang Nidya Caroline tidak akan main-main dengan yang namanya ancaman. Di dalam kelas IPS empat gadis itu terkenal dengan kedisiplinannya. Ya namanya juga anak jebolan Paskibra mana bisa diajak 'bercanda'.

Tania memperhatikan gerak-gerik Nidya di ambang pintu kelas. Teman dekatnya itu memang overprotektif dengan semua alat tulis yang dimiliki terutama bolpoin dan tipe x. Bukan hanya Nidya saja sih, tapi hampir semua seluruh siswa juga akan berbuat hal yang sama saat bolpoinnya tidak dikembalikan. Apalagi kalau bolpoin baru dibeli lalu hilang. Bisa heboh tuh satu sekolahan.

“Ntar dulu, Nid. Gue minta perpanjangan masa pinjam. Sampai pulang sekolah deh minimal,” jawab remaja yang diketahui bernama Chio.

“Lo pinjem dari hari Jumat anyway. Udah lo bawa balik ke rumah, dan masih kurang lama?” Nidya menatap Chio dengan satu alis terangkat. Cowok yang ditanya nyengir lalu mengangguk tanpa merasa bersalah. “Sana cari mertua penjual pulpen! Buruan balikin gak?!” lanjutnya mulai meraih seragam Chio.

Tania menggeleng-gelengkan kepala sembari berjalan menuju tempat duduknya. Menyadari kehadiran Tania membuat Desya yang tadinya asik dengan gawai, serta Nidya yang bersiap menganiaya Chio serentak menolehkan kepala. Sepersekian detik selanjutnya dua gadis itu menarik kursi lalu dibawanya mendekat ke arah Tania.

Desya sudah mengetahui semua. Ia tahu semua yang menimpa Tania dari Nidya. Sebenarnya sabtu malam setelah mendapat telefon dari Nidya, Desya langsung balik ke Jakarta. Setelah itu ia langsung menuju rumah Tania. Begitu sampai, bukannya berhasil menemui anak pemilik rumah, gadis itu malah bertemu dengan Nidya dan Tomy. Malam itu mereka bersamaan menunggu kepulangan Tania.
Sebelumnya, Tania sudah tahu hal ini akan terjadi. Ia tahu kalau kedua temannya akan melontarkan ribuan pertanyaan. Jujur sampai sekarang Tania masih belum siap bercerita. Jangankan bercerita, buka suara untuk sekedar menyapa dua temannya saja tidak sanggup. Tania malu juga merasa tidak pantas berteman dengan Desya dan Nidya.

Tania mengela napas panjang lalu mengembuskan perlahan. Dengan nada bergetar, ia bertanya; “apa?” ekspresinya dipasang sebiasa mungkin. Padahal mati-matian Tania berusaha kuat.

“Apa, Sya?” ucap Nidya menirukan gaya bicara Tania. Remaja itu tak membiarkan penglihatannya mengarah ke arah lain. Nidya menatap Tania penuh dengan intimidasi.

Tania tahu ini sarkas versi Nidya, tapi persetanlah.

“Nid lo pernah nggak sih ditampol sama kembaran Mun Ka Young?” tanya Desya.

“Enggak pernah. Jangankan ditampol, ketemu aja enggak. Emangnya dia punya kembaran ya?” tanya Nidya balik nanya.

“Dih, gimana, si! Ini hanya perumpamaan.”

Nidya menjawab sekadar melempar-O. Setelah itu, kembali menatap Tania dengan tatapan lapar.

Tania enggak nyaman ditatap oleh kedua sahabatnya, secepat kilat dia bangkit. Akan tetapi, sial memang Desya bangkit dan bergerak lebih cepat dari Tania.

colorless Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang