BAB LIMA PULUH DELAPAN

470 25 8
                                    

"Bukan tanpa sebab jika seseorang menyembunyikan satu hal dari orang yang dia sayang. Karena, bisa jadi seseorang tersebut tak mau jika orang yang disayang itu ikut terbebani dengan hal yang disembunyikan oleh dirinya."

-secarik luka-

Chika mengaduk secangkir teh yang ia pegang. Kini Wanita paruh baya yang hanya memiliki satu anak itu sedang duduk di sofa ruang tamu bersama anak semata wayangnya dan suaminya. Kebetulan, hari ini sudah hari minggu saja. Jadi, suami dan anaknya itu bisa menghabiskan waktu bersama dirumah.

Waktu memang cepat rasanya. Jika tidak ditunggu-tunggu, maka hari libur akan datang dengan sendirinya. Padahal, kemarin baru saja hari senin, dan sekarang tidak terasa sudah hari minggu saja.

"Sampai kapan kamu nyembunyiin soal penyakit kamu sama Madistra?" Tanya Chika, memecah lamunan Vanya yang fokus pada layar besar televisi.

Perempuan bermuka pucat itu menjawab, "Sampai aku dipanggil sama Tuhan. Ntar juga dia tahu sendiri kok, Mam,"

"Hus! Nggak boleh ngomong gitu, Papi yakin kamu bakalan sembuh." Kini Rendy ikut bicara.

"Iya, berdo'a aja untuk kesembuhan kamu, Van. Mami juga yakin kamu pasti sembuh, kamu nggak akan ninggalin kita."

Vanya menghembuskan napas pasrah, tersenyum, lalu menyahut dengan nada getir. "Iya..."

∆∆∆

"Gila itu film seru banget si, parah!!!" Racau Jasmine yang baru saja keluar dari bioskop bersama Antariksa.

Cowok disebelahnya itu hanya diam sambil memegangi perutnya yang seperti ingin keluar isi-isi didalamnya.

"Apalagi waktu cowoknya rela berkorban buat si cewek, gila itu romantis banget." Lanjut Jasmine yang terus saja meracau sedari tadi, tak bisa diam.

Antariksa mengacak rambutnya frustasi. "Rela digorok isi perutnya hanya demi ceweknya yang murahan itu lo pikir romantis? Lo stres apa gimana sih, Jas?"

Jasmine memutar bola matanya jengah dengan sudut bibir tertarik. "Ah, lo mah nggak seru! Liat gituan doang sampe nangis kejer di dalem tadi. Malu-maluin banget."

"Heh! Gue nggak nangis. Gue cuma—" Antariksa menggantungkan ucapannya yang bergetar.

"Cuma apa? Takut? Bocah banget lo, Ta!"

Antariksa berkacak pinggang. Tak mau terlihat seperti orang yang baru saja dikejar setan.

Jujur, Antariksa memang takut dengan film bergenre thriller. Cowok itu sangat pantang terhadap hal-hal yang menyeramkan. Apalagi saat melihat manusia yang disiksa oleh manusia lain. Ia pasti akan merasa mual, dan jijik.

"Nih ya, gue bukan takut. Gue cuma nggak seneng aja nonton film gituan. Itu cuma bikin penontonnya terpancing sama hal-hal negatif. Apalagi dalam film itu ada bunuh-bunuhan yang sampai sebegitu parahnya."

Jasmine menggembungkan pipinya menahan tawa. "Jujur aja kalau lo takut, udah keliatan dari muka lo tuh, pucat
banget. "

"Gue pucat karena belum makan dari tadi pagi."

"Hah? Serius lo? Kenapa nggak bilang daritadi? Kan kita bisa makan dulu sebelum nonton."

"Nonton film thriller makan dulu? Bisa muntah-muntah gue di dalam tadi, Jas!"

Secarik Luka [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang