BAB TUJUH BELAS

699 41 0
                                    

"Kamu itu seperti candu bagiku. Memberi penenang disetiap sisi keluh kesah ku, mengobati lara yang semakin memburu, dan membungkam setiap memori semu di masa lalu."
-Madistra Guwana-

"Aku mencintaimu, dan itu adalah tugasku. Biarkan takdir menentukan akhir pilu, aku tak hiraukan sebab apapun itu. Pada intinya, aku menyayangimu. Itu saja."
-Vanya Lusiana-

∆∆∆

Pagi ini, Madistra terlihat sangat lusuh sekali. Matanya sayu karena memang semalam ia telat tidur. Bagaimana ia bisa tidur setelah kejadian semalam saat dimana keluarganya ribut lagi. Kepalanya serasa mau pecah, fikiran nya berantakan. Sama seperti suasana hatinya.

Untuk menenangkan fikiran, ia dan kedua sahabatnya yaitu Damar dan Gerry, memutuskan untuk menjernihkan fikiran dengan menghirup udara segar di rooftop.

Mereka memang sudah biasa kesana. Saat ada masalah yang mereka alami pasti mereka tidak mengikuti pelajaran, melainkan membolos karena alasan tersendiri. Lagipula mereka berbuat nakal juga tidak akan dikeluarkan dari sekolah. Jelas, karena orang tua mereka donatur terbesar di yayasan ini, dan mereka juga beberapa kali menyumbangkan piala bergelar juara satu untuk membuat bangga sekolahnya itu.

Jadi, guru siapa yang tega atau rela melepaskan murid kebanggaan mereka.

Wajah Damar berubah serius. "Lo ribut lagi sama ayah lo?"

Madistra mencebikkan bibirnya. "Ck, masih nanya."

Gerry melirik sedikit sambil menggigiti kuku di jari-jari nya. "Kenapa lagi?"

"Biasa, sok peduli. Cari muka kok sama anak sendiri." Madistra tersenyum miris.

"Masih aja lo nistain ayah sendiri, gak bosen?"

"Dia yang cari masalah duluan sama gue."

"Tapi sampe kapan lo mau ribut-ribut sama ayah lo?"

Cowok itu mengedikkan bahunya tak peduli. "Maybe setelah dia mati."

Damar geleng-geleng kepala. "Parah lo Dis, gak takut karma?"

"Ada juga dia yang kena karma, bukan gue."

"Heh, serah lo deh." Gerry kembali menggigiti kukunya. "Trus, hubungan lo sama tante Franda gimana?"

"Masih gitu-gitu aja. Gak ada perubahan. Toh, gak guna juga gue ngurusin jalang sialan itu."

Damar menepuk pelan bahu Madistra. "Dis, kalo boleh gue kasih saran mending lo selesain masalah keluarga lo deh. Mau sampai kapan lo dan ayah bunda lo itu bermasalah? Emang lo betah punya keluarga yang gak harmonis kek gitu? Lo gak cape? Lagipula ngelawan orang tua itu gak baik, cuma nambah dosa lo aja."

Secarik Luka [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang