Bab 1

63 3 0
                                    

"Apakah kamu tak pernah merasa lelah dengan sikapku yang selalu sama saja?"

-Yura-

***

Aku melangkahkan kakiku dengan kesal. Tak habis pikir kenapa Bram kembali melakukan hal seperti ini. Masih saja. Apakah dia sendiri tak bosan dengan reaksiku setiap tahun?

"Awww..." Aku kembali berteriak. Sepertinya telapak kakiku kembali menginjak pecahan kaca pada bagian yang tak terlalu jauh dari luka pertama tadi.

Ahh bagaimana bisa aku lupa sekarang di lantai kamarku berserakan kaca yang pecah?

"Yura, kamu gak papa?" Bram bertanya dengan sedikit berteriak dari luar jendela. Nada khawatir terdengar sangat jelas terucap darinya. Tapi aku tak memperdulikannya dan kembali berjalan dengan lebih berhati-hati.

Aku duduk di tepian tempat tidur, merasakan perih di telapak kakiku karena menginjak pecahan kaca sampai dua kali.

Aku mengangkat kakiku, mencoba untuk melihat seperti apa luka yang terjadi. Aku tak dapat melihatnya dengan jelas, dengan cahaya kamar yang temaram seperti ini. Ahh bagimana aku bisa lupa untuk menyalakan lampu?

Seketika lampu kamarku menyala. Aku langsung menolehkan kepala ke arah saklar lampu yang berada di samping pintu. Bram sudah berdiri di sana dengan satu tangan yang berada di saklar lampu dan satu tangan yang masih memegang kenop pintu. Secepat mungkin aku mengalihkan pandangan mataku darinya.

"Kamu tadi kenapa teriak?" Tanya Bram sambil berjalan mendekat ke arah ku. Nada khawatir masih terdengar dari pertanyaanya. Aku hanya diam sambil melihat ujung kakiku yang masih mengalirkan darah.

Aku menatap pecahan kaca yang berserakan di lantai. Bram mengikuti arah pandangku. Beberapa bercak darahpun terdapat di sana. Aku kembali merasakan perih di telapak kakiku.

"Ya ampun Yura. Kaki kamu kenapa?" Aku mendengus malas, dia masih bertanya? "Kamu di situ aja, jangan kemana-mana. Biar aku ambil obat." Dia berkata panik, dan aku tak peduli.

Memangnya aku mau pergi kemana? Gunung Semeru? Bukit di samping rumahku saja, yang hanya perlu waktu tiga puluh menit untuk naik ke puncaknya aku sudah kehabisan nafas seperti ikan yang keluar dari air.

Dengan cepat Bram sudah kembali lagi ke kamarku. Tak perlu waktu lama baginya untuk mencari letak kotak obat di rumahku. Asal kalian tau, dia bahkan lebih hafal letak barang di rumahku ketimbang diriku.

Dia berlutut di depanku, lalu meletakkan baskom berisi air dan handuk kecil serta kotak obat di sebelahnya. Dia meraih kakiku dengan kedua tangan, lalu meletakkan di atas pahanya.

Aku memperhatikan wajah Bram yang tengah serius melihat luka yang ada di telapak kakiku. Tak ada pecahan kaca yang tertancap, hanya dua luka sayat kecil yang terdapat di sana.

Bram mengambil handuk dan memerasnya, kemudian mengoleskan dengan perlahan pada telapak kakiku. Kakiku berjengkit beberapa kali ketika merasakan perih akibat handuk basah yang mengenai luka. Namun tangan besar Bram menahan agar kakiku tidak bergerak, serta tatapan matanya yang menyuruhku untuk diam. Aku hanya bisa menurut sampai dia selesai mengobati luka di telapak kakiku.

Setelah selesai, Bram beranjak keluar kamar sambil membawa serta semua peralatan yang dia bawa tadi. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sapu dan pel. Aku yakin dia akan membersihkan lantai kamarku.

Kami hanya saling diam. Bram masih sibuk membersihkan lantai, dan aku dengan malas memperhatikannya. Padahal ini pemandangan yang sungguh luar biasa. Coba, kapan lagi ada seorang laki-laki yang dengan sukarela membersihkan lantai? Aku rasa itu sangat langka. Peristiwa sejarah seperti ini seharusnya aku buat video agar bisa terus diputar sampai tua nanti, agar aku bisa terus mengejek Bram.

Satu HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang