Bab 2

35 2 0
                                    

"Mudah saja untuk kamu mengatakan. Tapi apakah kamu tau pengaruh dari ucapanmu?"

-Yura-

***

Bram kembali masuk ke dalam kamarku, tanpa ada aba-aba dia menyibak selimut yang sudah menutupi setengah tubuhku, dan menarik pergelangan tanganku untuk bangun dari tidur.

"Apaan sih Bram? Kamu dari tadi ganggu aku mulu!" Ujarku kesal pada Bram sambil menghentakkan tangannya keras. "Kamu masuk ke kamar gadis malem-malem begini gak takut di grebek sama warga emang?"

"Kalo digrebek juga paling kita di suruh nikah." Bram terkekeh, aku mendengus semakin kesal. "Aku mau ajak kamu pergi." Ucap Bram santai sambil berusaha meraih pergelangan tanganku lagi. Aku menjauhkan tanganku dari jangkauannya.

"Emang kamu gak tanya dulu aku mau apa gak?!" Aku bertanya dengan nada yang tinggi, sudah tak bisa mengendalikan emosiku lagi.

"Aku gak perlu tanya kamu dulu." Bram menjawab datar.

"Egois." Sinisku. "Memangnya siapa kamu? Bersikap seenak hati. Aku ini bukan boneka kamu. Dan kamu juga gak ada hak paksa-paksa aku buat ngelakuin hal yang gak aku suka." Bram menatapku sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. "Kamu itu bukan siapa-siapa, Bram." Ucapku dengan nada yang ditekankan.

"Udah?" Tanya Bram. "Kalau udah, sekarang ganti baju panjang. Aku tunggu di depan." Ujar Bram dan berlalu menuju pintu untuk keluar. "Oh iya, jangan lupa pakai jaket." Ujarnya lagi sebelum menutup pintu kamarku.

Aku menghembuskan nafas. Apa aku keterlaluan berbicara seperti itu pada Bram? Ahhh, tapi dia juga lebih keterlaluan dengan memaksaku seperti itu.

Aku beranjak dari atas kasur, lalu berjalan dengan sedikit tertatih mendekati lemari untuk mengambil kaos berlengan panjang untuk aku kenakan, mengganti kaos pendek yang sekarang aku pakai. Kemudian aku mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu sembari keluar dari kamar. Pada akhirnya aku tak bisa menolak perkataan Bram.

Aku berjalan sampai ke ruang tamu. Di sana aku melihat Bram duduk bersandar di sofa sambil memainkan ponselnya. Dengan perlahan, aku duduk di sofa kosong yang ada di hadapannya.

"Udah?" Tanya Bram sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Aku hanya mengangguk.

"Kaki kamu?" Tanya Bram lagi. Aku tak menjawab, namun memiringkan telapak kakiku agar dapat terlihat. Ada dua plester yang tertempel di sana. "Buat jalan sakit?"

"Sedikit." Jawabku sambil masih menatap telapak kakiku. "Kita mau pergi kemana memang?" Aku mengalihkan pandangan untuk menatap Bram.

"Lapangan."

"Lapangan?" Bram mengangguk. "Mau ngapain malem-malem begini ke lapangan?" Tanyaku heran.

"Ini udah pagi, bukan malem lagi."

Mendengar jawaban Bram, mataku bergerak untuk melihat jam yang tergantung di dinding. "Baru jam satu lebih lima belas menit tau, Bram."

"Tau kok." Jawabnya membuatku sedikit kesal. "Udahlah, kamu ikut aja. Nanti juga kamu bakal tau kita mau ngapain."

Aku mendengus. Percuma aku bertanya, disini kan yang harus aku lakukan hanya mengikuti apa yang dikatakan Bram. Jika aku tak mau, pastilah Bram akan memaksa, dan akhirnya aku akan mengikuti perkataan Bram dengan berat hati. Hanya seperti itu.

"Kok kamu bisa masuk ke rumah? Perasaan pintu udah aku kunci semua." Tanyaku pada Bram setelah aku baru teringat dengan bagaimana cara dia masuk ke rumahku padahal semua jendela dan pintu sudah aku kunci.

Satu HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang