Bab 6

35 3 0
                                    

"Aku mengerti, sepenuhnya mengerti. Maaf. Hanya saja, aku masih ragu."

-Yura-

***

"Aku cinta kamu, Ra." Ulang Bram sekali lagi karena melihatku yang hanya diam sambil membelalakkan mata.

Aku menelan ludah susah payah. Berdeham, kemudian mengalihkan pandangan. "Haha." Aku tertawa garing. "Bercanda kamu gak lucu." Aku memukul lengannya pelan.

Bram menyisir rambut dengan kedua telapak tangannya ke belakang. Kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Menatapku dengan kecewa.

Bram meraih kedua bahuku, menuntunku untuk menatap wajahnya. "Aku serius, Ra." Aku menatapnya bingung sambil menautkan kedua alis. "Kenapa buat kamu ngerti itu susah banget sih?!" Bram berteriak kesal. Melepaskan tangannya dari bahuku, dan menutupi wajahnya.

Aku mengerti. Sepenuhnya mengerti. Tapi, "Se...la?" Tanyaku.

Bram membuang nafasnya kasar, lalu kembali menatapku. "Dari dulu kamu gak pernah sekalipun peduli sama Sela. Kenapa baru sekarang kamu mulai peduli?" Tanyanya dingin.

"Dia kan sekarang sama kamu. Dan kamu bilang cinta sama aku. Gimana aku gak peduli?" Tanyaku dengan nada yang meninggi. "Aku cuma gak mau dianggap jadi perusak hubungan kamu sama dia."

"Ternyata kamu masih cuma memikirkan diri kamu aja ya?" Bram terkekeh kecewa.

"Bukannya kamu yang seperti itu? Disaat kamu masih sama Sel--"

"Aku gak pernah sama Sela. Sekalipun gak pernah." Ucap Bram memotong perkataanku. Membuatku berhenti berbicara dan hanya diam menutup mulut, sulit mencerna maksud dari ucapan Bram.

Apa benar dia sama sekali tak pernah bersama Sela? Lalu apa maksud dari Sela yang selalu mengekori Bram jika di kampus? Menggenggam tangan Bram, dan Bram sama sekali tak menolak. Membawakan Bram makanan, sampai menyuapinya. Bahkan kemarin, saat kami wisuda dia datang dan ikut berfoto bersama keluarga Bram. Dan mereka terlihat sangat cocok. Apa artinya itu jika dia tidak bersama Sela?

"Bohong." Kataku akhirnya. Aku berdiri dan melangkah meninggalkan Bram. Namun baru lima langkah berjalan, aku sudah berhenti karena baru sadar ini bukan di rumah. Dan, kemana aku harus pergi?

"Kamu mau kemana? Memangnya kamu tau jalan? Memangnya kamu gak takut gelap? Memangnya kamu mau diculik sama komplotan burung hantu terus dibawa ke kerajaan nenek sihir?" Tanya Bram sambil terkekeh, membuatku mengepalkan tangan di samping tubuh untuk menahan emosi.

"Eh tapi biasanya di dongeng-dongeng kayak gitu, kalau ada yang diculik pasti diselamatkan sama pangeran kan? Ya udah, sana kamu pergi aja. Nanti biar aku yang jadi pengeran penyelamat kamu." Bram seolah membiarkan aku untuk pergi dan diculik oleh komplotan burung hantu terus dibawa ke kerajaan nenek sihir.

Aku menarik nafas dalam, dan membuangnya dengan kasar. Menekan emosi dan gengsiku yang sudah menjalar sampai ke ubun-ubun. Aku berbalik dan kembali duduk di sebelah Bram. Menarik selimut sampai terlepas dari tubuh Bram, kemudian memakainya untuk menutupi tubuhku sendiri.

Bram terkekeh tepat di samping telingaku, kekehan yang terdengar sangat menyebalkan. Kemudian merengkuh tubuhku untuk masuk ke dalam pelukannya. "Kamu lucu kalo lagi ngambek." Ucapnya, dan aku hanya diam.

"Ra, percaya deh. Aku sama Sela gak pernah ada apa-apa." Ucap Bram kembali meyakinkanku.

"Gak percaya. Kamu bohong." Jawabku.

"Beneran. Aku gak bohong." Bram berusaha meyakinkanku sekali lagi.

"Gak. Kamu bohong. Tiap hari juga kamu ketemu sama dia. Jalan pegangan tangan udah kayak anak TK mau nyebrang jalan. Makan pake disuapin kayak gak punya tangan sendiri aja." Ucapku kesal.

Satu HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang