Bab 5

28 3 0
                                    

"Ahh iya, masih ada kamu disini. Yang menjaga aku agar terus baik-baik saja."

-Yura-

***

"Ra? Ra? Yura?" Bram menepuk-nepuk sedikit keras kedua pipiku dengan tangannya. Membuat aku kembali tersadar pada dunia nyata.

"Bram?" Tanyaku masih mengerjapkan mata, berusaha untuk memfokuskan pandangan mataku dan mengembalikan kesadaranku sepenuhnya. Kemudian bangun dari posisiku yang terbaring.

"Iya. Ini aku." Jawabnya dengan suara rendah. "Kamu kenapa?" Lanjutnya lagi.

Mendengar pertanyaan Bram, membuatku mengingat kejadian beberapa saat yang lalu tanpa sadar.

Tentang Yoga yang kembali, yang membuatkan teh, yang memelukku, yang mengusap rambutku, yang mengecupku, yang menyanyi untukku, yang tersenyum padaku, yang kemudian pergi meninggalkanku lagi.

"Yoga." Ucapku dengan nada datar dan tatapan kosong.

"Yoga." Suaraku sudah terdengar bergetar dan air mata sudah terkumpul kelopak mataku siap untuk terjatuh.

"Yoga?" Bram bertanya dengan dahi yang berkerut. Menatapku tak mengerti.

"Iya, Bram. Yoga." Aku menatap Bram, kedua tanganku mencengkram lengan Bram keras. "Yoga barusan dateng. Dia buatin aku teh. Dia peluk aku. Dia senyum buat aku. Dia nyanyi buat aku." Aku mengguncang lengan Bram kasar. Air mataku pun sudah banyak menetes. "Tapi...tapi...tapi, Yoga udah pergi lagi."

Bram menarikku ke dalam pelukkannya. Dia menepuk-nepuk punggungku pelan, berusaha untuk membuatku lebih tenang.

"Gak apa-apa, Yura. Masih ada aku di sini. Dia udah bahagia di sana. Aku yakin dia dateng cuma buat liat kamu senyum. Jadi, kamu jangan nangis lagi ya? Nanti Yoga juga sedih liatnya."

Aku menghembuskan nafas, kemudian mengangguk. Apa yang dikatakan Bram sama seperti apa kata Yoga tadi. Cukup membuat hatiku sedikit tenang. Aku menarik tubuhku dari pelukan Bram. Mengusap air mataku kasar. Tersenyum lebar sambil menatap Bram.

"Nah gitu dong, Senyum. Jadi galaknya ilang." Bram terkekeh, menyubit kedua pipiku. Sontak aku memukul lengan Bram keras. "Yah, Yura galaknya udah balik lagi." Bram mengusap lengan yang baru saja aku pukul.

"Apaan sih? Kamu emang pantes buat digalakkin." Bram hanya terkekeh mendengarku.

"Keluar yuk?" Ajak Bram setelah dia berhenti terkekeh.

"Oh iya, ini di mana Bram?" Mataku menyusuri sebuah ruangan kecil tempatku duduk. Aku baru menyadarinya. Ruangan kecil dengan bentuk setengah lingkaran, yang cukup di masuki oleh empat orang dewasa.

"Udah ayo keluar aja." Bram menarik pergelangan tanganku untuk mengikutinya keluar.

Mataku langsung menatap cahaya yang berasal dari api, lebih tepatnya api unggun. Di atasnya terlihat teko yang terbuat dari alumunium yang digantung dengan kayu. Terlihat uap keluar dari mulut teko itu.

Aku kembali menatap ke belakang, melihat dari mana aku keluar. Tenda camping. Tenda kecil dengan bentuk setengah lingkaran yang biasa di bawa oleh para pendaki.

Aku mengedarkan pandangan ke belakang tenda. Aku tak terlalu mengetahui suasana sekitar. Dengan penerangan yang hanya dari cahaya bulan yang remang membuatku susah untuk melihat dengan jelas.

Aku mendongakkan kepala menatap langit. Banyak bintang terdapat di sana. Tapi cahayanya hanya terlihat di langit. Tak membantu penerangan di bumi sedikitpun.

Satu HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang