Aku memasuki perpustakaan yang cukup ramai. Ada kelas lain yang sedang melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar atau KBM di perpustakaan. Ada juga siswa-siswi yang tidak masuk belajar dan memilih ke perpustakaan.
Di meja sebelah kiri ada beberapa siswa yang sedang berdebat salah satunya adalah Dayat—teman Dewa. Aku menghampiri Ustadzah Fajriani selaku penjaga perpustakaan ini untuk mengembalikan buku yang kupinjam. Perpustakaan ini seperti tak memiliki peraturan, buktinya siswa-siswi di sini malah berisik tanpa memedulikan orang yang sedang belajar ataupun membaca.
Setelah aku selesai mengembalikan buku yang kupinjam, aku ke rak-rak buku yang menyimpan banyak buku bacaan tentang agama.
“Bego! Pemerintah seperti itu harusnya diturunkan dari jabatannya.”
Aku mendengar perdebatan mereka yang tidak kumengerti.
“Setidaknya tidak seperti itu, pemerintah itu juga memerintah satu negara bukan kelas ataupun sekolah. Kalau main asal-asalan ingin menurunkan pemerintah itu kurasa tidak baik.”
Aku menggelengkan kepalaku saat mengerti apa yang mereka perdebatkan.
“Koreksi dulu diri sendiri, baru mengoreksi diri orang.”
Setelahnya, aku berlalu, menyusuri rak buku untuk mencari buku yang akan kubaca.
“Aisyah....”
Tiba-tiba Rahmat—teman sekelas Dewa—menghampiriku dengan senyum, senyumnya terlihat senyum senang. Karena itu, aku mengernyit.
“Ada apa?” tanyaku tak melihat ke arahnya. Aku lebih memilih mengambil buku dari pada melihatnya.
“Aku tahu, kau dengan Dewa dekat.” Perkataan Rahmat membuat gerakan tanganku terhenti seketika. Untung saja di sini orang-orang sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Aku menoleh sejenak padanya.
“Hmm... Jangan beritahu ke siapa-siapa.”
“Tidak, aku tidak akan memberitahukan ke siapa-siapa. Kau tenang saja. Aku tahu itu privasi kalian berdua.”
Aku melangkah, mencari buku-buku yang cocok untuk kubaca, sedangkan Rahmat terus saja mengikutiku. Dia bahkan sesekali menolongku mengambil buku yang berada di rak paling tinggi.
“Dan aku juga tahu kalau kau dan Dewa sedang ada masalah.”
Aku menghela napasku pelan saat mendengar penuturannya. Terlalu berbasa-basi. Aku tidak suka. Lebih baik langsung to the point saja, daripada harus berbasa-basi seperti ini.
“Lalu kau mau apa?.” Tanyaku mulai jengah.
“Sebaiknya selesaikan masalah kalian berdua secepatnya. Aku pusing melihat Dewa yang uring-uringan sendiri. Kadang juga dia itu marah-marah tidak jelas, seperti wanita PMS saja.”
Aku dan Dewa sudah hampir dua minggu tak saling menyapa ataupun bertemu. Dia seolah-olah menghindar dariku. Aku ingin menyapanya, tetapi ego dan gengsiku terlalu tinggi hingga sampai sekarang aku tidak menyapanya. Aku juga ingin minta maaf padanya, tapi aku mengurungkan niatku saat hari kedua—aku dengannya tak bertegur sapa—aku melihatnya membonceng gadis lain. Karena itu aku kesal dan mengurungkan niatku. Terlebih lagi gadis itu tidak sekolah di sekolah kami. Aku tidak tahu gadis itu sekolah di mana, dan aku tidak mau tahu dia sekolah di mana.
Aku berlebihan. Aku bukan siapa-siapa Dewa, tapi aku cemburu melihatnya bersama gadis lain. Wajarkan aku cemburu?, Walau Dewa bukan siapa-siapaku.
Sesungguhnya wanita mampu menyembunyikan cinta selama 40 tahu. Namun, tak sanggup menyembunyikan cemburu meski sesaat. (Ali bin Abi Thalib).
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa✔️
Подростковая литератураKupersembahkan ini untukmu Seorang yang kudamba Seorang yang kurindu Tapi tidak merindukan ku Yang kusebut Dewa Amor Ini adalah kisah seorang gadis bernama Aisyah yang mencintai lelaki bernama Dewa. Mencintai tapi tidak dicintai, merindukan tapi tid...