Delapan

483 41 0
                                    

Rumitnya cinta tak urung membuatku berhenti
Gelisah merindu tak urung membuatku berhenti
Selalu mencintai walau tak dicintai
Selalu merindu walau tak dirindu
Selalu memikirkan walau tak dipikirkan
Dan itu adalah aku

Tadi—pulang sekolah—aku langsung pulang tanpa mau bertemu dengan Dewa. Hari ini adalah hari Kamis, jadwalku hari ini mengikuti pengajian bersama Mama. Namun... Mama malah meninggalkanku karena aku ketiduran.

Aku kesal, kesal pada diriku sendiri. Kalau aku tahu seperti ini, aku tidak akan tidur siang karena menghindari Dewa.

Ponselku berdering nyaring. Aku melihat id caller di layar berbentuk persegi panjang itu. Di sana kulihat nama Dewa tertera.

Dengan malas, aku mengangkat telepon dari Dewa.

Aku ada di depan. Keluar!” katanya setelah mengucapkan salam tanpa menunggu aku membalas salamnya.

“Aku sedang mengikuti pengajian.” Bohongku.

Aku masih belum mau bertemu dengan Dewa.

Jangan bohong! Sejak Mamamu pergi ke pengajian aku sudah di depan dan aku sama sekali tidak melihatmu keluar.

Tanpa mengucapkan salam, Dewa langsung mematikan sambungan teleponnya. Itu bertanda kalau dia tak mau dibantah. Maka dari itu, aku harus menemuinya.

🖤🖤🖤

Dewa terus menatapku tajam, sementara aku hanya menunduk. Tatapan Dewa seperti pisau yang siap menikamku kapan saja yang dia mau.

Sudah hampir setengah jam aku dan Dewa hanya diam tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun. Dan sejak tadi juga Dewa terus menatapku tajam. Jika kalian tanya apakah aku takut atau tidak, tentu saja aku takut. Dewa kalau sudah marah menyeramkan, lebih seram dibanding kuntilanak yang sedang duduk di atas pohon.

“Aku mau masalah ini diselesaikan sekarang.” Dewa akhirnya buka suara setelah hampir setengah jam tak mengeluarkan suara.

“Masalah apa?” tanyaku.

“Masalah kau yang tiba-tiba menghindariku.” Jawab Dewa.

Kalau begini berarti Dewa minta penjelasan padaku.

Aku menarik napasku, kemudian menghembuskan secara perlahan. Dari mana aku harus memulainya, dari mana aku mulai bercerita. Dewa masih terus menatapku tajam, sementara aku sudah merasa panas dingin ditatap setajam itu oleh Dewa. Rasa takut dan gugup bercampur menjadi satu.

Bismillah... Akan kucoba untuk cerita semua. Aku memulai cerita apa yang terlintas di pikiranku. Kali ini di pikiranku pertama muncul adalah Dewa yang menjadi imam shalat berjamaah di sekolah waktu satu Muharram.

Selesai aku menjelaskan semuanya, mulai dari Dewa yang menjadi imam shalat sampai perkataan Dewa yang menanyakan kapan dia bisa menjadi imam shalatku. Dan tentu saja aku tidak menceritakan kecemburuanku pada Dewa. Kalau aku ceritakan, bisa-bisa Dewa mengejekku.

Selama aku bercerita Dewa tak henti-hentinya tersenyum. Aku bergidik ngeri. Dewa ini kenapa?.

“Jadi....”

Dewa menggantungkan ucapannya, kemudian menatapku dengan senyum manisnya. “Bagaimana rasanya diimami oleh calon imammu?”

Mataku melotot mendengar pertanyaannya yang mampu membuatku malu setengah mati. Apa-apaan ini?! Pertanyaan macam apa itu?. Pertanyaan Dewa benar-benar menjebakku. Degup kesukaanku semakin menjadi-jadi mendengar pertanyaannya.

Dewa... Kumohon jangan seperti ini!.

🖤🖤🖤

Malam pun tiba, kali ini Papa pulang larut malam lagi. Ini sudah berlangsung selama empat hari Papa selalu pulang larut malam, karena itu Papa selalu makan di luar dan meninggalkan makan malam bersama Mama dan aku. Aku tidak tahu apa alasan Papa selalu pulang larut malam, apa karena banyak pekerjaan hingga mewajibkan Papa untuk lembur atau karena hal lain. Aku dan Mama tidak mau berpikir negatif.

Dewa✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang