PROLOG

91 13 7
                                    

Ribuan tahun yang lalu, Terra de Fiori adalah daratan penuh taman bunga yang sangat indah, tempat keduabelas dewa-dewi dari Galaxia biasa bersantai dan bersenda gurau. Setelah keduabelas dewa-dewi keturunan Dewa Demiorg beranjak dewasa dan memperoleh kekuatan, mereka menciptakan para manusia, elf, orc, siren dan demon untuk menghuni daratan itu. Dewa Demiorg akhirnya menugaskan mereka untuk menjaga para penghuni daratan itu.

Sebagai wujud rasa syukur, para makhluk ciptaan dewa dewi itu memberi persembahan, memujanya setiap saat bahkan mengadakan pesta dan jamuan yang didedikasikan untuk dewa dewi Galaxia. Dan sebagai gantinya, para dewa dewi akan memberikan mereka anugrah kekuatan yang dapat diwariskan kepada keturunan mereka.

Hari itu, Dewa Demiorg dan keduabelas dewa dewi berkumpul di singgasana Galaxia. Langit Galaxia sangat gelap dan dipenuhi sambaran petir yang menggelegar tiada henti karena sang dewa langit yaitu Dewa Demiorg, sedang marah. Keduabelas dewa dewi yang duduk di singgasananya masing-masing nampak gelisah.

"Apa yang telah kau lakukan, Thafos?" tanya Dewa Demiorg pada Dewa Thafos, sang dewa akhirat dan hari akhir.

Suara Dewa Demiorg menggelegar di seluruh penjuru langit Galaxia.

"Aku hanya sedikit bermain-main. Itu saja," jawab Dewa Thafos.

"Bermain-main katamu? Apa kau sudah gila?" ujar Dewa Plotus, sang dewa kekayaan dan keberkatan.

"Kalau aku gila, lalu sebutan apa yang tepat untuk Kak Thalia?" jawab Thafos tak kalah garang.

"Kau! Beraninya mencuri cawanku. Dia mencuri cawanku, Ayah!" adu Dewi Geia, sang dewi kehidupan dan kesejahteraan.

Dewi Geia menangis tersedu di pelukan Dewi Thriskea, sang dewi kepercayaan dan ilmu pengetahuan.

"Kenapa kau harus melakukan itu, adikku Thafos? Apa yang mereka perbuat hingga kau binasakan mereka?" tanya Dewi Thriskea.

Dewa Thafos masih duduk bersandar di singgasananya. Ia kini melipat tangan di depan dada, "Ayolah, kak Thriskea. Mereka sudah mulai melupakan kita. Lihat saja persembahan yang kita dapat makin berkurang. Bencana itu hukuman yang pantas bagi mereka karena tidak tahu terima kasih. Benar tidak, kakakku Varo?"

"Harusnya kau yang paling tahu, Thriskea. Tanpa kepercayaan dan persembahan mereka, kau yang akan lebih dulu binasa sebelum saudara-saudari kita. Thafos tak sepenuhnya bersalah," ujar Dewa Varo, sang dewa keadilan dan hukuman.

Dewa Nekrus, sang dewa waktu dan kematian, beranjak dari singgasananya dan berdiri di hadapan Dewa Demiorg, "ulah Thafos telah membuatku kesulitan karena banyak nyawa yang harus mati sebelum waktunya, dan itu membuat keseimbangan waktu berantakan. Bukankah seharusnya Thafos dihukum? Iya kan, ayah?"

"Aku juga ingin Thafos dihukum karena dia mencuri bejana kristalku dan menggunakannya untuk membuat air bah yang menewaskan para mortal," ujar Dewi Thalia, sang dewi laut.

"Sudahlah, Kak Thalia. Jangan bersikap seolah kau peduli pada mereka. Kalau memang kau peduli, untuk apa kau menciptakan Siren untuk membunuh siapa saja yang mengarungi lautan?" jawab Thafos dengan nada meremehkan.

Kemarahan Dewi Thalia telah memuncak hingga membuatnya berteriak marah, "jaga ucapanmu! Mereka hanya berusaha melindungi lautan dari hal yang buruk."

"HENTIKAN!!!"

Petir menggelegar dengan hebat. Para dewa dewi terdiam lalu bergegas duduk di singgasananya masing-masing. Langit Galaxia makin menghitam, begitu pula mata Dewa Demiorg. Dewa Demiorg mengangkat tongkat petirnya yang menyala-nyala seperti hendak menyambar siapa saja yang berada di tempat itu.

"Kau telah menimbulkan kekacauan dan sedikit pun tidak menyesalinya. Terlepas apa pun alasanmu melakukannya, kau tetap salah. Renungi perbuatanmu di Bumi selama 500 tahun dan tak ada seorang pun yang boleh mengunjungimu atau memberimu persembahan!" perintah Dewa Demiorg.

Petir kembali menggelegar di seluruh penjuru langit Galaxia. Lalu terbukalah sebuah portal di bawah singgasana Dewa Thafos yang menelannya dalam sekejap dan mengirimkannya ke Bumi.

Dewa Thafos terbangun di sebuah tempat gelap dan lembab. Ia dapat mencium bau tanah dari segala arah. Ia melirik pergelangan tangan kirinya yang dibalut oleh lembaran kulit Cerberus lalu mengeluarkan sesuatu dari baliknya. Tongkat Api Apocalypso dikeluarkan dari sana.

Terra de Fiori (Daratan Fiori) - Re-WriteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang