Urban Legend#51:Looney Girl

633 29 0
                                    

Ini adalah kereta bawah tanah yang terakhir malam ini. Banyak bangku yang masih kosong. Mungkin karena hujan yang lebat, jadi banyak orang yang malas keluar. Kuistirahatkan kakiku yang dari tadi berdiri di stasiun. Uap membumbung dari kopi tubruk yang baru kubeli. Kuseruput perlahan sambil menikmati kehangatan dan kepahitan yang terasa di lidah. Sebuah guncangan kecil terasa hingga kopiku menodai jaket kesayanganku. Beruntung aku memakai jaket yang berwarna agak gelap. Pintu kereta terbuka. Pekerja kantoran, buruh pabrik, mahasiswa, dan penghuni metropolitan yang lainnya. Mereka semua berkumpul, berhimpitan satu sama lain dan merebutkan tempat duduk seolah itu adalah harta yang paling berharga. Kugantungkan jaketku di bangku agar kering. Seorang wanita seumuranku duduk disebelahku sedang memangku gadis kecilnya yang membawa sepasang boneka teddy bear. Dia tersenyum manis kepadaku. Ya,dia membuatku gugup hingga adiknya tertawa melihat tingkah konyolku. Kakaknya pergi meninggalkan kami berdua. Kuberanikan diri untuk mengobrol dengan adiknya.
“Adek lapar?” dia hanya menggelengkan kepala. Namun semua orang bisa melihat jelas bahwa wajahnya yang mungil menampilkan ekspresi kelaparan. Aku teringat dengan makanan yang aku beli saat pulang dari kantor. “Mau?” kutawarkan dua buah bakpao isi daging. Dia meraih dari tanganku lalu tersipu malu. Mulutnya yang mungil menggigit makanan pemberianku tanpa ada kekuatiran bahwa makanannya aku beri obat bius atau racun. Matanya terbelalak. Saat kembali membawa minuman, kakaknya terdiam kaget melihat adiknya. Kusahut minuman yang dipegang kakaknya dan kuberikan kepada sang adik.
“Makasih kak.”
“Sama-sama. Lain kali kalau makan jangan cepat-cepat, dek.” Kuambil satu lalu kuberikan semua makanan yang ku punya. Kami bertiga melahapnya bersama.
“Nama kakak siapa?” tanya anak itu setelah menelan makanan yang ada dimulutnya.
“Gilang. Kalau nama adek?” dia terdiam. Bakpao ditangannya jatuh menggelinding diatas lantai yang kotor karena tanah. Tangan kecilnya menutupi mata yang berlinang air. Mulutnya terbuka dan mengeluarkan rengekan yang mencuri semua perhatian semua orang. Semua mata tertuju padaku. Mereka semua menghakimiku secara tidak langsung. Tatapan matanya menembus tepat di hatiku. Aku merasa seolah aku adalah mahkluk yang paling hina dan bersalah. Bagaimana tidak, aku telah membuat adik sang bidadari meneteskan air mata. disaat seperti ini, kakaknya malah tertawa kecil sambil berusaha menenangkan adiknya. Tangannya yang putih mendekap dan mengelus rambut hitam sang adik. Setelah beberapa saat, akhirnya tangisan itu berhenti.
“Kami berdua tidak pernah tau orang tua kami. Sebenarnya aku dan adikku berniat untuk kabur dari panti asuhan karena tidak tahan dengan keadaan disana. Sampai sekarang adikku masih belum mempunyai nama.” Suaranya yang lembut membuat hatiku sangat tenang. Apakah dia benar-benar manusia atau bidadari yang terjebak ditubuh manusia? “Oh iya, aku sampai lupa.” Bisa kurasakan lembutnya kulit wanita ini saat menggenggam tanganku. “Namaku Citra.”
“Citra?” dia menganggukkan kepala. Wajahnya kebingungan melihat diriku berusaha menahan tawa. “Pantas kulitmu putih dan halus.” pipinya memerah mendengar perkataanku.
“Memangnya kenapa?”
“Citra adalah salah satu merek kosmetik yang lumayan terkenal.” bahuku dipukul beberapa kali dan rambutku dijambak olehnya setelah mendengar itu.
“Baru kenal sudah bikin kesal ya.” Adiknya menatap kami berdua bersenda gurau.
“Enak sekali kalau mempunyai nama.” gerutu gadis itu. sebelum air mata menetes lagi, Citra langsung menghibur adiknya lagi.
“Bagaimana kalau sekarang kakak memanggil adik dengan nama Tyas.” Secercah senyuman menghiasi wajah gadis itu. Dia memeluk erat diriku hingga aku sulit bernafas. Kepalanya mendongak ke arahku.
“Terima kasih kak. Ini untuk kakak.” Tyas memberikan salah satu bonekanya kepadaku. Guncangan kecil terasa kembali. Pintu kereta sudah terbuka. Kami langsung terpisah karena aku ada urusan dengan perutku. Setelah beberapa menit didalam toilet, terdengar teriakan dari luar disusul dengan sebuah ledakan.setelah Celanaku sudah terpakai, kini pintu toilet kubuka sedikit. Dari celah itu, terlihat banyak orang berlalu lalang. Ada beberapa yang masuk kembali ke dalam kereta yang masih berhenti. Sebenarnya apa yang terjadi? Darah berceceran dimana-mana. Batu-batu bertumpuk membentuk sebuah blokade menutupi pintu keluar. Apakah ini adalah nyata? Ya, dia adalah Citra. Bidadari yang baru kukenal. Dia menggenggam sebilah katana. Sisi tajam senjata itu mengkilat diterangi cahaya lampu neon. Jaket abu-abunya bersimpah darah. Ada seorang bapak yang tua memohon belas kasih kepadanya. Dengan sekali tebas, kepala bapak itu terpisah dari tubuhnya. Masih terlihat jelas bahwa matanya masih berkedip dan hidungnya berusaha menarik udara ke dalam walaupun aku tak tau entah kemana udara itu akan menuju.
“Kak... Gilang!” sesosok gadis kecil dengan wajah penuh semangat dan darah tiba-tiba muncul dihadapanku. Dia menarikku keluar dari toilet. “Ini Tyas, kak. Kenapa kakak sembunyi disana?” Citra menatap tajam kearahku, menjilati gagang katana dengan penuh semangat. Wanita itu mengerlingkan matanya kepadaku. Kembali tangan kami bersentuhan. Ah sialan, kenapa hal ini terjadi disaat seperti ini? Entah respon apa yang harus aku berikan. Nafsu atau ketakutan. Selagi gadis kecil itu membersihkan wajahnya dari darah, tangan Citra menuntunku untuk menggenggam katana. Ternyata tidak seperti yang aku dugaan, katana lebih berat dari pada parang. Namun saat diayunkan, terasa sangat ringan hingga tidak sengaja menebas pinggang seorang ibu yang berusaha melarikan diri. Erangan kesakitan terdengar lagi. Darah segar mengalir deras seperti mata air di pegunungan. Tyas dan Citra terkekeh melihat kejadian ini. Gadis itu menarik lengan kakaknya. “Kak, Tyas bolehkan?” tanyanya sambil melirik ibu itu. Kakaknya hanya menganggukkan kepala. Tyas kegirangan saat menerkam ibu itu hingga terjungkal. Aku hanya bisa terteguh. Tak sekalipun aku berkedip saat pisau itu menggores leher berkalung emas.
Tak terasa ujung katana sudah menekan leherku hingga setetes cairan kental merah keluar. “Gilang juga mau?”
“Katanya kakak cinta sama kak Gilang, tapi kok gitu?” tanya gadis kecil itu keheranan.
“Sayangnya kakak tidak membawa formalin hari ini, dek” Citra mengelus-elus rambut adiknya. Lalu Tyas mengambil boneka yang tertinggal di toilet.
“Nih, kak.” Dia memberikan kembali boneka teddy bear kepadaku setelah memeluknya erat-erat. Mereka berdua meninggalkanku sendirian disaat polisi berhasil menerobos barikade itu. Adik dan kakak itu menghilang dalam gelapnya lorong. Mungkin aku mengalami syok berat hingga tubuhku menjadi kaku. Samar-samar terdengar polisi menanyakan keadaanku. Ditengah kerumunan polisi, terdengar suara dentingan aneh. Suara detak jam. Saat kusadari bahwa itu berasal dari boneka teddy bear, tubuhku terhempas. Aku tidak bisa merasakan kedua tangan dan kakiku. Lalu pandangan menjadi buram, kemudian gelap.

Urban Legends Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang