Malam begitu dingin, angin berhembus kencang menggoyangkan seluruh pergelangan batang pohon disekitarnya. Seorang anak kecil berusia sekitar 10 tahunan, sedang terduduk merenung didepan sebuah restoran fast food. Entah apa yang ditunggunya.
"Ssshhh ...," kedua tangannya mendekap tubuhnya sendiri, berusaha melawan angin dingin yang dapat masuk melalui celah-celah pakaiannya yang sedikit koyak. Pandangan liarnya menatap kedalam restoran. "Aku lapar ...." Lirihnya.
Seorang anak keluar dari dalam restoran, di tangan kanannya tertenteng sebuah kotak sisa makanan, dibuangnya kotak itu kedalam tempat sampah yang berada tak jauh dari tempat anak kecil itu berada.
Dengan tergesa-gesa, dihampirinya tempat sampah yang sudah memiliki bau tak sedap itu. Dengan cekatan kedua tangannya mengais-ngais tempat sampah itu, diambilnya kotak makanan bekas anak kecil tadi. Ditemukannya juga sebuah kotak minuman berisi susu yang masih terisi separuh. Dibawanya kedua temuannya ketempat yang menurutnya lebih 'nyaman' untuk menyantap makanan ala kadarnya itu.
Dilahapnya dengan nikmat nasi beserta potongan ayam goreng yang hanya tinggal tulang terlapis sedikit daging, dijilatinya potongan tulang itu, seolah itulah makanan ternikmat yang pernah dinikmatinya.
Dari kejauhan, seorang pria paruh baya sedang memperhatikannya. Dihampirinya anak pria kecil itu. "Dek, kamu lapar?."
Merasa dirinya yang ditanya, anak itu menengadahkan kepalanya. "Iya Om, sudah dua hari saya nggak makan. Untung saya dapat susu dan ayam goreng ini. Enak banget, Om." Tangan kumalnya menghapus sisa nasi yang masih berlepotan di sekitar pipinya. "Susunya sih sedikit asam, mungkin basi. Tapi ... Saya sudah lapar."
"Ikut saya, saya bisa kasih kamu makanan yang lebih enak dari ini. Ikut Om, jadi anak Om, mau?" tanya pria paruh baya itu dengan ramah.
"Wah, mau Om," anak itu terlihat girang, dijilati jari-jari dengan kuku-kuku hitamnya untuk membersihkan sisa makanan. "Kenalin Om, nama saya Ilham," Ilham mengulurkan tangannya.
Pria paruh baya itu langsung merangkul hangat pundak Ilham. "Panggil aku, Papa."
"Ah ... eh ... I-iya," Ilham salah tingkah, antara bahagia dan heran.
*****
Fadly, nama pria paruh baya itu. Dia membawa Ilham kerumahnya yang megah dan penuh dengan barang-barang mewah. "Sekarang, inilah rumahmu,"-dipandanginya Ilham-"sekarang, kamu mandi dulu. Habis itu temani Papa," ujar Fadly dengan lembut. Ditunjukkannya kamar Ilham. Di dalam kamar itu terdapat banyak sekali boneka dan mainan yang terlihat masih baru. "Ini dulu adalah kamar anak Papa. Anak dan istri Papa meninggal dalam sebuah tabrakan, dan hanya Papa yang selamat. Jadi, Papa harap, Ilham bisa menjadi anak yang penurut." Diusapnya kepala Ilham.
Ada rasa bahagia di dalam hati Ilham. Semenjak kematian kedua orangtuanya akibat banjir bandang didaerah Jakarta Selatan, hanya dirinyalah yang selamat dan hidup sebatang kara, hingga hari ini.
*****
Fadly sudah menunggu di kamar. Pintu terketuk, "Masuklah." Ujar Fadly.
Ilham terlihat rapih, penampilannya kini tak jauh beda dengan penampilan anak orang kaya sesungguhnya.
"Duduklah di samping Papa," ujar Fadly.Ilham menurut, dia duduk tepat di samping Fadly, ditepi ranjang. "Ada apa Papa memanggil saya kemari?."
"Badan Papa pegal, Ilham bisa tolong pijat?"
"Bisa," jawab Ilham.
Fadly berbaring terlentang, dengan bertelanjang dada. Diperintahkannya Ilham untuk mulai mengolesi tubuh bagian belakangnya dengan minyak urut. Ilham mulai memijat tubuh Fadly, pelan, pelan, dan pelan.
"Hmm ...," Fadly mendesah tertahan. Ia pun berbalik, "Sekarang pijat tubuh bagian depan Papa."
Ilham menurut, tak terbersit sedikit pun akan niat Fadly yang sesungguhnya. Fadly mulai melucuti celana pendeknya, "Pijat bagian 'itu'," perintahnya..
"Hah? Bagian 'itu'?"
"Iya. Lakukan."
Lagi-lagi Ilham menurut. "Ya, teruskan. Hmm ....,"-Fadly mengubah posisinya, ia duduk berhadapan dengan Ilham-"Ilham, kamu harus nurut sama Papa." Fadly mulai menjamah tubuh Ilham, Ilham tak berdaya, ia hanya diam. Dia belum paham, maksud sebenarnya dari Fadly.
Dilucutinya pakaian Ilham satu persatu, diraba dan dikecupnya seluruh bagian tubuh kurus Ilham. "Pa, Papa mau apa?," Ilham mulai merasakan sesuatu yang tak beres.
Botol beling berisi minyak urut masih digenggamnya, Fadly memerintahkan Ilham untuk berbalik membelakanginya dengan posisi berdiri. "Ilham, harus nurut ya?" Dirasakannya sebuah benda hangat berada tepat di belakang tubuhnya, "Hmm ...," tanpa banyak bicara ia melakukan perbuatan nista itu terhadap Ilham.
"Aaakkkhhh!!!," Ilham berteriak kencang, seluruh otot dan urat di pergelangan kakinya seolah terputus.
"Diam! Nikmati saja permainan yang baru akan kumulai!" Fadly membekap mulut Ilham. Desah erotis dari nafsu binatang Fadly terdengar tak putus-putusnya mengalir dari mulutnya. Ilham hanya bisa membelalak menahan rasa sakit di sekitar anusnya, seluruh perut bagian bawah dan daerah sekitar selangkangannya terasa sakit dan perih, airmata mengalir terputus dari kedua mata Ilham.
Dengan sisa tenaga yang ada, Ilham berusaha memberontak. "Jangan bergerak! Sshh .. Ahhh ...," dijambaknya rambut Ilham. Ilham merasa harga dirinya telah hancur, dengan penuh rasa benci dan amarah, dilayangkannya botol minyak yang sedari tadi berada digenggamannya kearah kepala Fadly.
'PRAK!'
Tepat mengenai dahi Fadly. "Aakhh! Setan!" Fadly berjalan mundur memegangi dahinya yang berdarah.
"Saya percaya sama Papa, tapi Papa menghancurkan rasa hormat saya!" Dengan langkah tertatih-tatih, Ilham menghampiri Fadly. "Lebih baik, saya bunuh Papa!."
Fadly menahan rasa sakit di dahinya, beberapa pecahan botol menancap di sana. Dicabutinya satu persatu, sementara Ilham terus mendekat. "Papa, harus mati!"
"Ja-jangan, Nak" Fadly memohon. Namun tiba-tiba ia tergelincir dan terjatuh akibat genangan bekas minyak urut.
Ilham mendapati sebuah pisau cutter berada diatas meja komputer Fadly. Diraihnya benda itu. Fadly kini tak berdaya, pecahan botol yang berserak di lantai, mengenai telapak kakinya. "Ma-maafkan aku, Nak."
Dilayangkan pisau cutter itu kearah wajah Fadly, "Dengar, Papa, saya akan membahagiakan Papa," ujar Ilham sembari tersenyum getir menahan pedih dihatinya. Disayatnya wajah Fadly, berulang-ulang.
"Akkkhhhhh ...!!!" jeritan panjang terdengar dari mulut Fadly. Fadly berusaha berdiri, namun lantai yang licin akibat minyak dan darah juga telapak kaki yang tertancap pecahan botol membuatnya kembali terjatuh.
"Pa ...,"-Ilham tersenyum-"Ilham akan memuaskan Papa." Ilham berjongkok, digenggamnya kemaluan milik Fadly, diarahkannya pisau cutter tersebut kearah benda laknat itu, dan ...
"Aaaaakkkkhhhh ...!!!" Fadly berteriak menahan rasa sakit yang sulit terlukiskan oleh kata-kata, badannya bergetar dan menggelinjang hebat, seperti seekor ayam yang tersembelih tanpa persiapan. Tangannya menahan sakit di kemaluannya. Badan Fadly terus bergetar, erangan dan rintihan tertahan terus mengalir dari mulutnya. Ilham hanya menyaksikan adegan tersebut. Gerakan Fadly mulai melambat, dan kali ini terhenti."Mungkin, ini memang nasibku. Bukan kebahagiaan yang kudapatkan, melainkan penderitaan. Bukankah kebahagiaan sesungguhnya, adalah kematian?"
Ilham menatap dirinya didepan cermin, "Kematian adalah awal kebahagiaan. Dan kematian adalah sebuah pilihan bagiku, karena aku tak punya apa-apa lagi selain harga diriku yang telah ternoda." Lirih Ilham sembari mengangkat tinggi-tinggi pisau cutter itu, dan menancapkan tepat di lehernya. Percikan darah yang bersembur dari lehernya menciptakan sensasi keindahan bak bunga api yang merekah di langit malam. Selamat jalan Ilham. Kematian adalah pilihan yang tepat bagimu
KAMU SEDANG MEMBACA
Urban Legends
HorrorLegenda urban merupakan mitos atau legenda kontemporer yang seringkali dipercaya secara luas sebagai sebuah kebenaran. Kebanyakan berkaitan dengan misteri, horor, ketakutan, humor, atau bahkan kisah moral. Legenda urban tidak selalu berarti kisah bo...