Sebelum berangkat Asti mencium bau amis darah dan bangkai lagi. Polisi yang tengah melakukan investigasi tak menemukan apapun. Hilangnya penghuni apartement masih menjadi misteri besar. Kesaksian Asti tentang adanya pembunuhan disangkal oleh pihak kepolisian. Ia dianggap membual dan mengada-ada, bahkan ada yang mengira dirinya memiliki gangguan kejiwaan.
'Hidup itu bukan cuma milik manusia.' Suara itu kembali berbisik di telinga Asti.
***
“Asti, lo pucet banget, kenapa?” tanya Sarah, teman kantor yang juga sahabat kampusnya.
“Gue gak apa-apa, Sar, makasih,” jawab Asti dengan senyum yang jelas dipaksakan.
“Loe bisa cerita kapan aja loe butuh gue, As"
Asti hanya mengangguk lemah tanpa mengeluarkan kata-kata, kemudian ia kembali merapihkan dokumen yang menumpuk di atas mejanya. Ia sangat berharap bahwa teror yang diterimanya hanyalah rasa khawatir yang ia ciptakan sendiri—bisikan yang selalu terngiang hanya ilusinya semata. Bisa saja para penghuni apartement tengah liburan, atau setidaknya pergi untuk urusan pribadi mereka selama berhari-hari. Toh, biasanya mereka juga jarang berkomunikasi.
Tak sengaja, Asti melihat ‘Head Line News’ di televisi. Kasus orang hilang di tempat tinggalnya sudah melebihi separuh penghuni di sana. Kecemasannya meningkat, bahkan semakin mengelayuti hati dan pikirannya, ‘pasti ada yang salah’, batinnya.
Asti bergegas pulang ke apartement. Tekadnya bulat untuk segera pindah. Ia mendapati firasat tak menyenangkan bila harus berlama-lama tinggal di sana.
“As, lo mau kemana? Hey, tunggu!”
Asti tak menghiraukan panggilan Sarah. Terpaksa Sarah mengejar dan menarik tangannya hingga berhenti. Sarah tertegun melihat air mata di sudut mata Asti.
“Kenapa, As?” tanya Sarah makin khawatir.
Asti tak menjawab. Ia hanya menunjuk televisi yang masih memberitakan tentang orang hilang di apartement-nya. Sarah memiringkan kepalanya, tanda ia tak mengerti dan ingin penjelasan lebih lanjut.
“Gue harus pindah, Sar," terang Asti. Suaranya bergetar, jelas tergambar ketakutannya. “Gue gak mau seperti mereka!” Asti mulai sesegukan.
“Ok, gue ikut lo. Tunggu di sini! Gue urus perizinan di HRD dulu.”
5 menit kemudian. Sarah kembali setelah mengantongi surat izin yang telah ditandatangani untuk mereka berdua. Ada iba mendalam melihat sahabatnya yang biasanya selalu ceria, kini bermuram durja.
Mereka berdua meninggalkan kantor diiringi wajah penasaran rekan kerja yang ingin tahu apa yang sedang terjadi. Mereka hanya tahu Asti menjadi murung sudah hampir seminggu ini. Ya, semenjak ia bilang selalu diteror, dan satu-persatu penghuni apartement-nya dikabarkan hilang secara misterius.
Tubuh Asti masih tetap bergetar selama perjalanan di dalam taksi. Segala upaya dikerahkan Sarah agar sahabatnya dapat tenang, meski hanya sesaat.
Sarah meraih bahu sahabatnya yang gamang, dibiarkan kepala Asti bersandar pada bahunya. Lambat-lambat air mata Asti tumpah, ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kematian seolah begitu dekat, bisikan-bisikan menjemput nyawanya selalu saja terngiang di dalam kepalanya.
“Gu-gue takut Sar, gue belom pengen mati….”
“Lo gak akan mati As, gue pasti ngelindungin lo!” jawab Sarah yang sebenarnya tak yakin dengan apa yang baru saja ia katakan.
Asti pun semakin larut dalam tangis ketakutan di dekapan sahabatnya. Sahabat yang selalu ada untuknya, mendukung setiap keputusannya.
Dari pantulan kaca pengemudi, Sarah bisa melihat sang supir ikut terharu dan sesekali menyeka air mata yang mungkin menggenangi kantung matanya, lalu kembali pada fokusnya mengemudi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Urban Legends
TerrorLegenda urban merupakan mitos atau legenda kontemporer yang seringkali dipercaya secara luas sebagai sebuah kebenaran. Kebanyakan berkaitan dengan misteri, horor, ketakutan, humor, atau bahkan kisah moral. Legenda urban tidak selalu berarti kisah bo...