"Saya sekalian catat boleh ya, Pak?" Kaira bersiap mengeluarkan buku agendanya dan pulpen, ketika mereka berdua menaiki undakan pertama bangunan candi. "Tolong bicaranya agak pelan."
Pemandu wisata yang Kaira sewa tergelak hingga kepalanya terdorong ke belakang, "Buat tugas kuliah, Mbak?"
Kaira menggeleng, sekaligus tersipu karena dikira masih mahasiswa, "Saya ini penulis, Pak."
"Penulis di koran? Saya suka baca koran, lho," beliau tersenyum. "Saya baca koran pagi setiap hari."
Kaira menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Saya membuat buku. Buku cerita yang ada di toko-toko buku."
"Seperti buku Sherlock Holmes?"
Sedikit terkejut karena genre yang ditulisnya setipe dengan Sherlock, Kaira bertanya, "Bapak pernah baca Sherlock Holmes?"
Beliau kembali tersenyum. Orang Jawa Tengah ini ramah-ramah sekali rupanya. "Anak saya yang baca, pinjam dari taman bacaan. Saya hanya mengembalikan bukunya saja. Mari kita mulai turnya."
"Kebetulan genre yang saya tulis serupa dengan Sherlock Holmes," kata Kaira, seperti masih ingin membahas tentang itu. "Kalau anak bapak suka cerita misteri, saya akan berikan buku saya untuk anak bapak."
Pemandu Kaira hanya tersenyum sebagai balasan, lalu menjawab setelah lama hening, "Nggak perlu repot-repot, Mbak, dia sepertinya sibuk."
Kaira sedikit kecewa dengan penolakan tersebut, tetapi ia memilih mengesampingkan perasaan tersebut saat mengikuti pemandunya berjalan mengitari undakan pertama Borobudur searah jarum jam.
"Ini adalah lantai pertama dari Candi Borobudur, dinamakan Kamadhatu. Pada dinding atas menggambarkan kondisi di Surga Tushita saat Bodhisattva meminta izin turun ke dunia dan menjelma menjadi manusia." Pemandu wisata Kaira yang ia ketahui bernama Pak Sukarto, menunjuk pada sebuah relief di mana dua dunia berbeda disekat oleh satu pohon besar, sisi kanan terlihat sosok anak baru dilahirkan, sementara sisi kiri orang-orang membawa nampan dan menggiring binatang ternak. "Relief ini disebut Lalitavistara, jumlahnya ada 120 panel. Lalu pada dinding bawah, disebut relief Manohara dan Avadana, masing-masing 120 panel."
"Jadi, dalam satu candi ada berbagai kisah?" tanya Kaira ketika Pak Sukarto menjelaskan makna relief Manohara dan Avadana. "Maksud saya, pangeran Sudana dan bidadari Manohara ini tidak ada hubungannya dengan Buddha Gautama kan, Pak?"
Pak Sukarto mengangguk, "Saya sendiri juga kurang paham tentang hubungan antara Manohara dan Buddha Gautama, tapi saya rasa kisah ini ada kaitan erat dengan kearifan ilmu agama Buddha, tentang pengorbanan dan rasa kasih sayang pada semua makhluk hidup. Atau bisa juga ini sebagai contoh tepat untuk menggambarkan kehidupan manusia yang masih terikat dengan keinginan-keinginan dan nafsu duniawi."
Kaira menyimak penjelasan bapak pemandunya dengan takzim, sesekali mencatat hal trivia menarik yang bisa menjadi materi untuk tulisannya, seperti relief Borobudur yang berwarna kekuningan karena Pemerintah Belanda pernah mencoba melapisi dindingnya dengan copper agar lebih awet, tetapi justru malah mengikis batuan tersebut. Ketika mereka sampai di puncak, Kaira memandang berkeliling ke arah stupa-stupa.
"Di tingkat Arupadhatu ini sudah tidak ada relief, hanya stupa-stupa saja, menjelaskan kalau pada tahap ini manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa namun belum mencapai nirwana."
"Lalu yang di tengah dan paling besar itu?" tunjuk Kaira pada stupa di puncak Borobudur.
"Dulu di dalamnya ada patung Buddha besar, tapi belum selesai. Patungnya kini disimpan di dalam museum Karmawibhangga."
"Jadi di dalam sana kosong, Pak?"
"Kosong."
Kaira menggigit ujung pulpennya, pertanda sedang berpikir keras, "Pertanyaan saya, Pak. Ini mungkin agak aneh, karena ... karena Bapak tahu, saya menulis cerita semacam Sherlock Holmes."
Dari raut wajah Pak Sukarto yang terlihat tidak menaruh kecurigaan apa-apa, sepertinya beliau belum membaca Sherlock Holmes. Tetapi Kaira tetap melanjutkan perkataannya.
"Kalau misalnya ada orang yang ingin menyembunyikan, umm ... mayat di sini ... kalau misalnya terjadi pembunuhan di Borobudur, kira-kira orang akan menyimpannya di mana? Maksud saya, tempat yang paling tersembunyi di sini yang bisa digunakan untuk ..." Belum selesai Kaira berbicara, sorot mata Pak Sukarto terlihat seperti baru saja melihat hantu. Kaira cepat-cepat meralat ucapannya, "Maksud saya, apa ada tempat di sini yang tertutup atau tidak diketahui masyarakat publik yang bisa dipakai untuk menghilangkan jejak kejahatan? Oh, begini saja! Seperti misalnya di piramida saja. Di sana ada ruangan rahasia di dalam bilik-bilik piramidanya untuk menyimpan harta Firaun di balik dinding batu. Maksud saya seperti itu. Apakah dinding-dinding candi ini padat atau ..."
Kaira sudah biasa dianggap kurang waras sejak ia mulai menulis novel serinya. Ketika ibunya mengendap-endap masuk kamar Kaira dan mendapati hasil print out cara bunuh diri agar tidak terdeteksi otopsi, Kaira sampai disidang oleh seluruh anggota keluarga besar karena dikira hendak bunuh diri. Mereka bahkan menjadwalkan satu sesi konseling dengan psikiater dan Kaira sudah menjelaskan semuanya pada terapisnya. Beliau tergelak saat mengetahui alasan Kaira yang sesungguhnya, dan tidak lupa berpesan agar lebih berhati-hati dalam menyimpan arsipnya, karena beberapa orang awam mungkin akan langsung berpikiran buruk jika mengetahui tentang hal itu.
Tetapi cara Pak Sukarto menatap Kaira benar-benar berbeda, ada ketakutan pada diri laki-laki tua itu, seperti rasa trauma dari masa lalu yang dipicu dari pertanyaan Kaira. Kaira membuka dan mengatupkan mulutnya tanpa ada suara yang bisa keluar, saking salah tingkahnya. Ia mencoba mengingat-ingat mengapa reaksi Pak Sukarto terhadap pertanyaannya, entah mengapa terlihat familier.
"Bapak baik-baik saja?" Kaira bertanya dengan hati-hati. "Maaf kalau pertanyaan saya ..."
"Anak saya, yang suka membaca Sherlock Holmes, dia suka menulis cerita pembunuhan juga seperti Mbak," nada suara Pak Sukarto kental dengan nuansa kesedihan yang pekat. "Dia meninggal di usia muda karena di-bully oleh senior-seniornya di sekolah, lalu untuk menutupi jejak kejahatan, jenazahnya dimasukkan sumur dan disemen. Anak saya baru ketemu dua minggu setelah meninggal karena tetangga pelaku mencurigai bau tidak enak dari arah pekarangan rumahnya. Sempat masuk berita juga, tapi mungkin Mbak tidak tahu tentang itu."
Kaira menutup mulutnya yang menganga dengan telapak tangan. Matanya berkaca-kaca mendengar pengakuan Pak Sukarto. Selama ini, Kaira tidak pernah membantah atau melawan ketika orang-orang terdekat menganggapnya gila karena penemuan artikel bunuh diri atau artikel forensik lain yang digeledah dari kamarnya. Ia tidak menyesal harus konsultasi ke psikiater karena yang mereka bicarakan sepanjang sesi hanyalah hal-hal yang ia perlukan untuk membuat karakteristik tokoh kriminal. Tetapi Kaira benar-benar menyesali mulut besarnya karena tidak segera menyadari topik sensitif yang pemandunya tidak ingin bicarakan dengannya. Tubuh Kaira berguncang hebat dan mungkin dia akan pingsan jika tidak ada dinding candi yang bisa digunakan untuk bersandar.
"Saya minta maaf sebesar-besarnya, Pak," desisnya. "Saya memang bodoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Mahkota
RomanceKaira mengunjungi Candi Borobudur untuk mempelajari kearifan budaya lokal, tetapi ia malah mendapatkan tawaran untuk menikah dengan Pangeran Mahkota dari Karesidenan Magelang, dan membuatnya terlibat ke dalam konflik perebutan kekuasaan yang cukup p...
Wattpad Original
Ada 8 bab gratis lagi