GRM Ganendra Arnawama Paramayoga paling benci pertemuan dengan orang-orang yang memiliki jabatan tinggi di pemerintahan; baik dari dalam atau luar negeri, di saat yang ingin ia lakukan hanya menghabiskan waktu di studio seraya mempersiapkan materi untuk pameran lukisan dua bulan lagi. Kerajaannya bukanlah kerajaan besar yang masih memimpin suatu daerah seperti Yogyakarta misalnya. Kerajaannya hanyalah bagian dari tradisi turun-temurun, sementara sistem pemerintahan dipegang oleh Bupati. Oleh sebab itu ia tak terlalu mengerti, mengapa orang-orang itu ingin sekali bertemu keluarga kerajaan.
Ganendra memandang berkeliling dengan gusar, hal kedua yang ia benci adalah ruangan bebas asap rokok. Namun, ia tak mau ambil risiko merokok di halaman depan, terekam kamera swafoto pengunjung Borobudur atau wartawan yang kebetulan melintas, lalu menjadi viral di Instantgram dengan takarir Pangeran Mahkota Magelang kepergok merokok di sekitar area wisata. Itu adalah mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan ketimbang terjebak di ruangan bebas asap rokok. Ganendra mengambil tusuk gigi di meja makan, lalu mengulumnya untuk meredam keinginan merokok. Ia tahu ini mitos, tapi Ganendra tetap melakukannya saking tidak ada yang bisa dikerjakan di sini.
Sebuah pesan masuk di ponsel pintarnya, ia melirik sekilas.
Nyuwun pangapunten Gusti, sepertinya menteri pendidikan Malaysia mengalami keterlambatan pesawat.
Ganendra misuh-misuh dalam hati. Lekas ia beranjak dari kursi, mengantongi ponselnya yang semula berada di atas meja, lalu mencari udara segar di luar. Restoran Manohara terletak di dalam area Candi Borobudur. Sudah tak terhitung lagi berapa kali ia mengunjungi tempat ini. Ganendra bahkan menghafal di luar kepala struktur Borobudur, relief, dan posisi masing-masing stupa. Obyek wisata ini tak pernah sepi pengunjung, meski pada hari-hari di luar libur sekolah atau libur nasional seperti sekarang ini.
Ponsel Ganendra berbunyi lagi, biasanya staf istana tak pernah menghubunginya sesering ini, mereka sudah hafal betapa Ganendra tidak ingin diusik, karena akan merusak suasana yang susah payah ia bangun saat sedang bekerja, dan dibatasi hanya dua kali pemberitahuan saja dalam sehari. Ditambah satu kali lagi jika kondisi benar-benar darurat.
Kak, nanti malam jadi, kan?
Ganendra memandang berkeliling dengan was-was sebelum menelepon nomor tak dikenal itu—meski sudah dihafalnya di luar kepala. Ia tak perlu menyimpan nama kontak untuk menghindari kecurigaan yang tak semestinya diketahui khalayak ramai. Hanya pada mereka saja Ganendra mempercayakan rahasianya rapat-rapat.
"Halo, Kak," sapaannya yang riang dan ramah menyapu pendengaran Ganendra. "Tumben telepon aku segala?"
"Sudah kubilang berapa kali, jangan menghubungiku hari ini," geramnya dalam frekuensi rendah, hanya cukup untuk bisa didengar lawan bicaranya saja. "Atau kapanpun pada siang hari."
"Ah, justru karena aku tahu hari ini kakak ada pertemuan penting, makanya aku WU saja."
Ganendra kembali memaki dalam hati, "Kamu kan tahu, aku nggak pernah terlambat setiap kali bikin janji sama kamu, jadi jangan pernah menghubungiku untuk hal remeh seperti ini."
Tawa renyahnya terdengar lagi, ia seolah tahu betul suara tawanya yang merdu dapat meredam kemarahan Ganendra, "Iya deh, maaf ya Kak, nanti kalau ketemu, aku mau melakukan apapun buat Kakak sebagai permintaan maaf."
Hati Ganendra berbunga, senyumnya kembali terbit, "Sampai ketemu lagi."
Ia matikan telepon, menghapus nomor kontak tersebut dari daftar panggilan, menghapus riwayat pesan, lalu menyimpan ponselnya kembali. Ganendra melayangkan pandangan, persis di seberangnya ada seorang gadis duduk di rerumputan di bawah pohon. Ia sibuk mencatat entah apa pun yang ia tulis dalam buku agenda tebal bersampul kulit.
Sepanjang yang Ganendra ingat terhadap perilaku para pengunjung obyek wisata, hampir jarang ia temui orang yang sibuk menulis jurnal saat sedang berwisata. Ranselnya yang besar terlihat nyaris kosong karena hampir semua isinya keluar. Kamera mirrorless menggantung di lehernya, satu pouch bag besar yang tampaknya difungsikan sebagai kotak kosmetik terletak di pangkuannya. Ia tidak membawa peralatan swafoto seperti tongsis atau tripod, ponselnya pun tampak tidak tersentuh, tergeletak di dekat kakinya. Sesekali ia mengibaskan tangan ke wajah dan sekitar leher yang berkeringat.
Setelah menulis sekitar dua halaman, ia berhenti. Ganendra bahkan sampai menghitung seberapa banyak yang telah perempuan ini tulis, saking ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari sana. Ia membuka kotak kosmetiknya, merogoh-rogoh di antara barang-barang lain di dalam, lalu mengeluarkan botol kecil mirip hair spray. Ia mengocok kaleng aerosol tersebut sebelum menyemprotkan ke wajahnya. Face mist, Ganendra mengangguk paham, koleksi perawatan kulit anak ini boleh juga. Dia pasti dari kota besar, karena produk-produk seperti itu selain harganya tidak murah juga tidak mudah ditemukan di sekitar sini. Ia mengeluarkan botol tabir surya, memulas di wajah dengan menggunakan cermin bedak—bukan, cushion—memakai pelembab bibir, menggosokkan soothing gel ke leher dan tangan, lalu menyemprot face mist lagi dan lagi dengan amat murah hati.
Penampilannya biasa saja, Ganendra menduga ia tidak banyak pakai polesan, karena bekas jerawatnya masih terlihat samar di beberapa tempat. Warna kulit wajahnya tidak lebih cerah dari kulit bagian tubuh yang lain, menandakan ia tidak pakai krim pemutih. Dia juga terlihat cukup mapan untuk anak semuda itu. Usianya mungkin baru awal dua puluhan dari prediksi Ganendra.
Ganendra mengalihkan pandangannya. Tidak biasanya ia menatap orang lain lebih dari semenit. Jangankan anak ini, perwakilan Jawa Tengah di ajang Puteri Indonesia saja tidak mampu menggetarkan hati Ganendra, tidak peduli seberapa sering mereka makan malam dan berfoto bersama. Tetapi, ia tidak tahu mengapa anak ini cukup menarik perhatiannya. Pakaiannya memang terlihat sederhana dari jarak jauh, meski tak bisa menipu pandangan Ganendra. Sepatu olahraganya berlogo salah satu brand impor yang didesain khusus untuk jogging. Harganya mungkin sedikit di bawah UMR Kabupaten Magelang. Celana denim dan kaus lengan panjangnya meski terlihat sedikit kotor, juga bukan barang murah. Ia tidak gemuk, juga tidak kurus. Dompet kulit, agenda bersampul kulit, dan sampul tablet ukuran 12.9 inci berbahan kulit yang kini Ganendra yakin pasti bukan imitasi. Seleranya boleh juga. Dalam beberapa hal saja, Ganendra bisa menemukan kesamaan dengannya. Ia kembali melanjutkan menulis, gerakan tangannya begitu lembut dan hati-hati. Ia bahkan tak terlihat mencoreti hasil tulisannya, seperti setiap kata telah diukir dengan rapi dan hati-hati tanpa tergesa. Seolah dia memiliki seluruh waktu di dunia ini untuknya seorang. Sesuatu yang tidak Ganendra miliki, dan tiba-tiba saja tebersit rasa iri di hatinya.
Ia baru berhenti menulis ketika rombongan kereta kelinci datang, menurunkan penumpang di dekat pintu keluar, lalu mengangkut penumpang baru yang ingin berkeliling kompleks candi. Ia membereskan barangnya dengan sedikit tergesa, memasukkan semua ke dalam ransel sebelum berlari menyongsong kereta tersebut dengan langkah riang seperti anak kecil bertemu mainan kesukaan. Benar-benar bocah. Ia bahkan tidak merasa perlu menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang tertinggal—meski memang tidak ada. Berapa usianya? Dengan siapa ke sini? Pertanyaan demi pertanyaan masuk dalam kepala Ganendra tanpa bisa dibendung.
Ganendra menggelengkan kepala. Sejak kapan dia tertarik pada perempuan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Mahkota
RomanceKaira mengunjungi Candi Borobudur untuk mempelajari kearifan budaya lokal, tetapi ia malah mendapatkan tawaran untuk menikah dengan Pangeran Mahkota dari Karesidenan Magelang, dan membuatnya terlibat ke dalam konflik perebutan kekuasaan yang cukup p...
Wattpad Original
Ada 7 bab gratis lagi