Tiga Hari Sebelumnya
Matahari masih belum terlalu tinggi ketika Kaira melompat turun dari bus jurusan Jombor-Borobudur bersama beberapa bule dan sesama wisatawan lokal. Tadi ketika di perjalanan, Kaira sempat mengobrol sebentar dengan perempuan berambut pirang yang duduk di sebelahnya ketika di dalam bus. Dia dan tiga temannya berasal dari Jerman dan sedang menghabiskan liburan di Jogja. Bahasa Jerman Kaira sedikit karatan, karena terakhir kali ia mengambil kursus bahasa tersebut ketika libur kuliah semester empat. Namun, usahanya berbicara bahasa Jerman patah-patah sungguh diapresiasi teman barunya tersebut. Mereka berpisah jalan di terminal karena mereka ingin berfoto-foto terlebih dahulu, sedangkan Kaira ingin segera fokus pada tujuannya semula ke Borobodur yaitu riset. Segera ia keluarkan kamera untuk memotret lingkungan sekitar, lalu memejamkan mata merasakan embusan angin sepoi-sepoi di tengah terik matahari pagi. Membiarkan intuisinya sebagai penulis misteri bekerja, menemukan ke mana cerita barunya akan dibawa.
Kaira memandang berkeliling seraya memeriksa peta digitalnya sekali lagi. Ia tidak salah. Bus tersebut mengantarkannya pada lokasi yang tepat, ia hanya perlu berjalan sekitar lima ratus meter lagi sebelum mencapai pintu masuk kompleks Candi Borobudur. Ia tidak tersesat, dan ia baik-baik saja. Mantra itu selalu dirapalkannya berulang kali setiap beberapa menit sekali, dan kini sudah jadi kebiasaan baru Kaira setiap kali menjejak ke tempat baru seperti sekarang.
Berbekal panduan Giggle dan aplikasi wisata, ia memberanikan diri untuk keluar rumah, meninggalkan seperangkat komputer, gambaran citra satelit dan berkantong-kantong teh seduh teman begadang di kamar kerjanya. Ini pertama kali Kaira menulis cerita dengan tidak mengandalkan ingatan terhadap lokasi yang pernah dia kunjungi atau hanya lewat gambar-gambar yang dilihatnya di internet. Kaira akan mengamati langsung dan merasakan sendiri suasana sekitar yang akan menjadi latar novel terbarunya. Kaira menyambungkan perangkat jemala pada gawai, membuka aplikasi pemutar musik digital, lalu menyandang ransel pada kedua bahu. Ia siap memulai petualangan pertamanya seorang diri.
"Becak, Mbak. Borobudur masih jauh, satu kilometer lagi. Tiga puluh ribu saja," tawar seorang laki-laki paruh baya pada Kaira yang ia tolak halus, meski ia memberi uang tiga puluh ribu pada pria tersebut. Untuk beli rokok, katanya. Beliau berterima kasih dengan sorot mata berbinar.
Kaira bertekad untuk merampingkan kaki dan betis sejak pertama kali menginjakkan kaki ke dalam kereta jurusan Surabaya-Yogyakarta kemarin petang. Kaira rasa ini adalah saat yang tepat untuk memulai olahraga ringan demi kesehatan punggung dan kakinya akibat berjam-jam hanya duduk dan mengetik di depan komputer. Ia susuri jalanan sepanjang terminal hingga pintu masuk Borobudur dengan langkah kecil bersama beberapa rombongan sesama pelancong lainnya.
Ketika Kaira mengantre untuk membeli tiket, ia sedikit terkejut dengan perbedaan harga tiket turis lokal dan mancanegara yang amat berlipat jauh. Biasanya, pada hari kerja di luar libur nasional atau libur sekolah, tempat wisata tidak terlalu ramai pengunjung. Tetapi Kaira berbaris cukup lama di pintu masuk untuk diperiksa isi tas. Sepertinya ada rombongan KTS anak sekolah yang datang bersamaan dengannya, jika dilihat dari wajah-wajah remaja di sekitarnya. Kaira sedang memandang berkeliling, mencari papan petunjuk arah ketika seorang Bapak tua mendekatinya, "Mau pakai tur, mbak? Nanti saya ceritakan detail Candi Borobudur beserta sejarahnya."
Seketika Kaira tahu, itu yang ia butuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Mahkota
RomansaKaira mengunjungi Candi Borobudur untuk mempelajari kearifan budaya lokal, tetapi ia malah mendapatkan tawaran untuk menikah dengan Pangeran Mahkota dari Karesidenan Magelang, dan membuatnya terlibat ke dalam konflik perebutan kekuasaan yang cukup p...
Wattpad Original
Ada 9 bab gratis lagi