Delapan Belas: Menghidupkan Rasa

1.4K 213 6
                                    


"Kak istirahat dulu ya..."

Jendra mengangguk, mengiyakan Gio yang kini sudah rebahan diatas karpet. Adik Sandra itu langsung menempelkan es kiko yang masih beku ke atas dahinya. Mencoba memberikan sensasi dingin disana, setelah selama 2 jam berkutat dengan soal-soal yang diberikan Jendra. Pemuda itu memang menjadi tutor dadakan untuk Gio yang sebentar lagi akan menghadapi ujian nasionalnya.

"Lo udah belum?" Kini gantian Jendra menolehkan kepalanya kearah Sandra. Gadis itu yang awalnya fokus bermain hp, sontak kembali berkutat dengan soal di hadapannya. "Belom Jen, belom..."

"Itu cuman 5 soal, masih belum kelar?" Jendra berdecak membenarkan sebentar letak kacamata bacanya. Pemuda itu dengan seenaknya merampas ponsel Sandra lantas mengantonginya. Ia sudah menahan kepala Sandra yang sudah maju untuk menyerangnya. "Hape lo gue sita dulu. Kerjain, baru gue kasih."

Sandra berdecih, memberikan tatapan tajam namun akhirnya menurut juga. Jendra hanya menghela nafas, menyelesaikan kembali soal matematika dari buku tebal di depannya. Ia melirik Sandra yang bukannya mengerjakan soal, justru membuat garis garis tak beraturan di kertas coretannya.

"San..." Sandra mengangkat wajahnya, menatap balik Jendra yang masih menyelesaikan soal di depannya. "Apa?" Tanyanya dengan dagu yang kini menempel di atas meja.

"Lo gak jalan sama Dias kan nanti malem?"

"Emang kenapa?" Sandra meraih es kiko di atas nampan, mematahkannya menjadi dua sebelum memakannya. "Enggak, dia ada les malem ini..."

"Temenin gue yuk..." Ajak Jendra kini mengalihkan pandangannya. "Hari ini calon nyokap baru gue, bakal ketemu Die..." Ucapan pemuda itu sukses, di balas dengusan dari Sandra.

"Yaudah, tapi inget ini kali terakhir lo kabur ketemu Tante Mia."

****

Dinginnya malam kali ini, sukses membuat Sandra semakin mengeratkan jaketnya. Tidak, sedingin apapun Jakarta tak akan pernah membuat Sandra kedinginan seperti ini. Sahabatnya itu mengajaknya kabur tak main-main, langsung membawanya ke Bogor. Untuk pertama kalinya, Jendra mengunakan motornya yang sudah ia dapat sejak ulang tahunnya itu.

Sandra melirik ke kaca spion, menatap wajah Jendra yang tertutup oleh helm full facenya. Namun, gadis itu bisa melihat kedua mata Jendra yang sedikit menyipit karena fokus pada jalanan. Sedari mereka memasuki kota Bogor, Sandra enggan bertanya kemana pemuda itu akan mengajaknya pergi.

Karena sudah kesepakatan sejak lama. Kemanapun salah satu dari mereka mengajak pergi, tidak boleh ada yang bertanya kemana tujuannya.

"Turun..." Gumam Jendra otoriter, saat ia memberhentikan motornya di depan sebuah warung mie ayam. Suasana ramai warung tersebut, membuat Sandra mengernyitkan dahi. Jangan bilang sahabatnya itu mengajaknya jauh-jauh kesini cuman untuk makan mie ayam.

"Kok mie ayam sih?" Tegur Sandra seraya menyerahkan helmnya ke arah Jendra. "Kalau lo ajak gue ke bogor, mending ngajak gue makan Laksa deh yang jelas-jelas jarang di tempat kita."

Jendra menyentil pelan dahi Sandra, lantas tersenyum miring. "Gak usah bawel, kan yang bayar gue..." Sarkasnya, kini menarik lengan Sandra masuk ke dalam warung tersebut. Untung saja, masih ada satu tempat kosong di pojok warung tersebut.

"Serius deh, kenapa lo ngajak gue jalan sejauh ini?" Dengus Sandra, setelah Jendra kembali ke hadapannya setelah memesan. Ia meraih satu bungkus kerupuk kulit yang memang tersedia di setiap meja, lantas melahapnya dengan mata menyipit. "Mie ayam lagi, deket rumah juga ada kok."

"Lo tuh harus kurang-kurangin bawelnya tau gak. Udah mau punya pacar juga." Sinis Jendra, mencomot satu potong kerupuk kulit. Baru saja hendak membalas, tiba-tiba pelayan datang mengantarkan pesanan mereka membuat Sandra jadi diam saja.

Love KrunchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang