Dua Puluh Satu: Pacar

1.5K 214 5
                                    

"San, ayo balik..."

Jendra sedikit mendengus, jadi memajukan badannya hingga dagunya menyentuh stang sepeda. Pandangannya terpaku pada Sandra yang sedang berjongkok di taman bundar, masih dengan pakaian seragamnya. Sandra menjilat es krimnya sesaat, sebelum akhirnya menyentuh pohon yang ada di depannya itu.

"San-"

"Jen, kata Bitsy lo berisik..." Potong Sandra, masih dalam posisi membelakangi Jendra. Namun dari suaranya, Jendra tau kalau gadis itu sudah memperingatkannya untuk tak diganggu. Dan memangnya Jendra bisa melawan?

Bitsy. Kucing anggora yang sayangnya harus mati karena tak sengaja ditabrak Fakhri saat sedang belajar menyetir mobil. Penyebab kenapa Sandra suka kesal sendiri dengan kakaknya yang satu itu. Pasalnya saat itu Sandra sedang sekolah, dan ketika dia pulang kucing kesayangannya sudah dikubur di taman bundar ini.

Dan lagi-lagi Jendra sebagai saksi kejadian itu. Dia hanya bisa pasrah ketika Sandra sudah menangis kencang di halaman rumahnya, sampai-sampai membuat tetangga menatap ke rumahnya keheranan. Bahkan dia sampai menemani Sandra melihat makam Bitsy hingga Jendra harus menyeret Sandra pulang saking larutnya.

"Jen..."

Sandra sudah bangkit dari posisinya, sedikit menepuk pohon besar yang menjadi tanda makam Bitsy. Gadis itu berjalan mendekat, menyeka airmatanya yang jatuh dari mata. Bibirnya mengerucut, seraya menjilati es krimnya lagi. Pemandangan yang seharusnya biasa saja bagi Jendra, tapi sukses membuat pemuda itu deg-deg an sendiri.

"Udah jangan nangis, Bitsy gak suka." Bujuk Jendra, mencubit pelan pipi Sandra. "Udah yuk pulang, besok masih ulangan..."

Untungnya kali ini Sandra menurut. Gadis itu menaiki pijakan di roda belakang sepeda, hanya tangan kirinya mencengkram bahu Jendra untuk berpegangan. Jangan lupakan es krim yang masih gadis itu nikmati di belakang. "Pelan Jen..."

Jendra mengangguk, mulai mengayuh sepedanya. Hening, tidak ada yang membuka pembicaraan. Mungkin ini pertama kalinya, perjalanan mereka berdua tak diisi oleh makian ataupun ejekan untuk satu sama lain. Mereka masing-masing paham, kalau sudah ada yang berbeda diantara mereka.

"Tumben diem?" Tanya Jendra akhirnya, tak betah juga hanya sunyi yang menemani perjalanan mereka. "Biasanya semuanya lo komentarin..."

"Kangen Bitsy..." Ucap Sandra pelan, sedikit mengerucutkan bibirnya menahan tangis. Padahal gadis itu sudah berjanji tidak akan menangisi lagi kucing kesayangannya itu.

Sadar kalau Sandra mulai sesegukkan di belakang, Jendra jadi menghentikkan sepedanya. Blok rumah mereka masih tersisa satu blok lagi di depan, dan pemuda itu blok rumahnya pasti sedang ramai-ramainya saat ini karena memang jam pulang.

Jendra menghela nafas, memutar badannya masih dengan posisi menahan sepeda agar tak oleng. Sandra sudah menghapus air matanya yang tak kunjung berhenti, dan semakin parah ketika melihat wajah Jendra. "Gue gak mau nangis..." Adunya mengerjap-ngerjap, namun dia terdiam ketika Jendra memasangkan topi padanya.

"Nangis aja, gue tungguin." Ucap Jendra tenang, kembali memunggungi sahabatnya itu. Beruntungnya blok E ini sedang sepi, jadi Jendra tak perlu khawatir akan tatapan warga melihat Sandra yang sesegukkan di belakangnya.

Sandra mengigit bibirnya, menghentikan tangisnya. Ia tanpa sadar menatap punggung Jendra di depannya. Tiba-tiba sebuah pikiran masuk ke dalam otaknya. Kalau yang menemaninya adalah Dias saat ini, akankah cowok itu berperilaku sama?

Siapa yang harus dia pilih? Jendra yang sudah mengenalnya sejak lama atau Dias yang sudah berhasil merebut hatinya secara perlahan?

****

Love KrunchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang