Ch 13

37 3 0
                                    

Niel


Diriku tak berdaya, aku hanya tahu duduk termenung di sudut gubuk kecil ini. Suara angin yang menghempaskan pintu jendela yang terbuka dan tertutup mengiringi hariku. Terkadang aku menolehkan wajahku, melihat langit gelap yang tak kunjung cerah di sana. Semakin hari semakin pekat dan kelam. Hujan dan badai silih berganti.

Suara pintu terbuka, Khaya masuk membawa keranjang yang diisi dengan bermacam jenis sayuran. Suara pisau, dan desingan air mendidih mewarnai gubuk. Tubuhku masih penuh dengan balutan luka, jejak kekalahanku. Khaya menghampiriku, memeriksa semua lukaku.

"Lukamu sudah mengering." Bisiknya halus

Aku hanya menatapnya kosong.

"Sudah waktunya kita melanjutkan perjalanan. Kita harus segera pergi ke Mietaq. Kita tidak boleh membiarkan Lydia berhasil membuka segel ke dua."

"Sudahkah kamu berhasil berkomunikasi dengan mereka?"

"Kamu tidak perlu khawatir. Mereka pasti selamat. Tempat persembunyian mereka tidak akan begitu mudah dapat dilacak oleh Lydia."

Aku terdiam. Beban di hatiku ini seakan sedikit terangkat, tapi apa dayaku, tak bergeming, ditelan kegaduhan. Tak terasa, raja malam kembali menyinari langit. Benak pikiranku kosong, dan hanya dia yang selalu menyemangatiku. Dia tak kunjung menyerah dan terus merawat diriku. Aku merebahkan tubuhku dan melihat wajahnya yang cerah. Khaya menghampiri diriku, kembali merawat luka-lukaku. Apa yang sebenarnya ada dibenaknya? Jantungku selalu bergejolak dengan kencang disisinya. Aku merasa hidup. Apa maumu? Pertanyaan kosong.

Khaya menatapku dengan dalam dan lembut. Rona wajahnya, kilau matanya. Untuk sekali ini saja, kumohon biarkanlah aku. Hasratku bergejolak di dalam dada. Tanganku menggapai wajahnya. Seakan merindukanku, Khaya tersenyum dan menutup matanya. Air mata kebahagiaan mengalir dipipinya. Aku mendekatkan wajahku. Menatapnya dengan dalam, dan mengecupnya ringan di pipi, didahi dan mendaratkannya ke bibir lembutnya.

Sentuhannya membuatku panas, haus akan dirinya. Kurebahkan dirinya, perlahan-lahan membelainya. Khaya begitu indah, dia tampak manis. Sambil terus membalas ciumanku, belaiannya mengikatku, membelenggu diriku lebih dalam. Dunia seakan berputar terbalik, dimataku hanya ada dirinya. Ku daratkan kecupan di leher dan seluruh tubuhnya, kujelajahi perlahan. Khaya terlihat bahagia dan tersenyum kearahku. Malam ini, aku tahu, aku tidak akan bisa berpisah dari wanita ini.

***

Kilau mentari pagi membasahi wajahku, membangunkan diriku. Khaya terbaring dipelukkanku. Tanpa kusadari, aku tersenyum sendiri, kudaratkan kecupan ringan di dahinya. Aroma tubuhnya begitu memikat. Dia milikku. Secara perlahan aku menghempaskan satu-satunya selimut bulu yang menutupi tubuhku, beranjak dan mengenakan kembali jubah, celana dan mantelku. Tubuhku masih sedikit kaku, masih ada sedikit rasa tajam yang menusuk. Aku berjalan perlahan keluar dari gubuk. Untuk pertama kalinya sejak kekalahanku, aku keluar dari tempat persembunyian ini, merasakan paparan hangatnya mentari.

Segerombolan burung-burung kecil terbang saling berkejaran satu sama yang lain, kicauannya begitu indah ditelingaku. Kutarik nafasku dalam-dalam, membusungkan dada, dan memaksimalkan oksigen yang masuk ke paru-paruku. Sedikit terasa nyeri ketika ku lakukan hal tersebut, tapi banyaknya udara segar yang masuk, membuatku sadar, aku masih hidup. Syukurlah, banyak hal yang telah terjadi, betapa leganya dan menakutkan semua yang telah kuhadapi. Betapa beruntungnya diriku, aku masih bisa bertahan. Bukan aku yang terkubur dalam pertarungan itu. Mungkin aku egois, aku akui itu, tapi.... Entahlah, terima kasih teman untuk semua pengorbanan kalian. Aku tidak akan membiarkan kalian mati sia-sia. Kukepalkan kedua tanganku, Magimus, tidak akan pernah berhasil bangkit lagi dan menginjakkan kakinya di Myria.

Aku membalikkan badanku untuk kembali ke dalam gubuk. Khaya berdiri disana, hanya dengan dibaluti selimut, tersenyum kearahku, bahagia. Wajahku pun merespon, senyuman lembut tergambar dengan jelas. Aku berjalan perlahan mendekatinya, memeluknya erat.

"Niel, maafkanlah aku." Kata Khaya dengan lembut.

"Sudahlah, biarkanlah yang lalu berlalu, aku yakin kamu dihadapkan pada sesuatu hal, yang membuatmu melakukan hal tersebut."

"Tapi..."

Ku daratkan bibirku kebibirnya, menghentikannya untuk menjelaskan lebih lanjut.

"Yang aku tahu sekarang, hanya perasaan di dada ini."

"Niel..." pelukkannya semakin erat kediriku.

***

Dua minggu telah berlalu sejak kekalahanku. Khaya masih bersamaku, melanjutkan perjalanan ke istana Mietaq. Letak segel ke dua setelah pemukiman Tudia. Kami melanjutkan perjalanan setelah lukaku membaik. Dia duduk didepanku, menyantap daging panggang di piringnya. Geraknya gemulai dan anggun, sambil sesekali memberiku senyum manisnya. Kita berhenti di salah satu kedai kecil untuk beristirahat dan melepas dahaga. Aku menikmati secangkir rum dengan beberapa irisan daging asap dan kentang.

Sekelilingku terdengar obrolan keras dari masing-masing meja. Mereka tidak tahu ancaman yang sedang menghantui Myria. Miris, melihat hanya segelintir orang sebagai basis pertahanan Myria dari ancaman Magimus.

"Kalian sudah dengar tentang rumor yang beredar. Kabarnya Putri Violet sudah sadar."

"Apa benar? Katanya beliau sakit sejak kecil." Suara tajam wanita tua menimpali.

"Syukurlah, Baginda raja akhirnya sudah bisa lepas dari belenggu derita."

"Masih kuingat enam belas tahun yang lalu, betapa kelamnya Mietaq, betapa suramnya masa-masa itu."

"Sudahlah, hentikan pembicaran belasan tahun yang lalu. Tidakkah kalian takut akan hukuman dari kerajaan." Kata salah satu dari mereka sambil berbisik, dan melirik kearahku.

Dengan segera kupalingkan wajahku balik ke Khaya, dan berpura-pura tidak mencuri dengar pembicaraan mereka. Tampaknya Khaya juga mendengarkan pembicaraan mereka. Dengan segera aku melemparkan lima mier ke meja dan memberikan tanda ke Khaya untuk segera meninggalkan kedai itu.

Aku berjalan keluar dengan tenang dan Khaya mengikutiku dari belakang. Tak lama, kedai itu tak lagi tampak dan kita berdua telah masuk dalam ke hutan sekitar. Aku melihat sekitar dan melemparkan mantra perlindungan dan mantra penjerat. Khaya juga beraksi dengan cepat dan menembakkan mantra perlindungan. Gerakannya begitu cepat dan membentuk api unggun untuk menghangati kita berdua. Kabut pekat perlahan tapi pasti merayap masuk dan sinar matahari disela-sela pepohonan rindang pun perlahan meredup dan berganti dengan pekatnya malam.

"Khaya, apakah kamu tahu siapa putri Violet itu?" tanyaku halus kepadanya.

Khaya menganggukkan kepalanya dan menghela nafasnya panjang. "Aku ingat mendiang master Rue pernah mengatakan kejadian putri Violet sebagai kegagalan terbesar dalam hidupnya sebagai seorang aoral. Beliau pernah bercerita bahwa putri Violet lahir dengan kekuatan sihir yang sangat besar. Namun anehnya kekuatannya bergejolak dan memberontak. Beliau tidak berkata lebih apa yang terjadi, namun setahuku putri Violet tertidur panjang akibatnya."

Mendengar cerita Khaya, membuatku teringat akan Naya. Ketidakmampuan Naya untuk mengendalikan kekuatannya, membuatnya menghembuskan nafas di depan mataku. Aku menatap jauh dan tatapanku kosong, aku merasa lega melihat Naya masih hidup. Walau dirinya berbeda, tapi aku tak bisa memungkiri perasaan legaku. Bagaimanapun juga dia dan diriku berhubungan darah. Setelah Naya tiada dan master meninggalkanku dengan tragis, setidaknya ketika aku melihat Naya berdiri didepanku, dadaku ini tidak begitu sesak.

Pikiranku begitu kacau, entah bagaimana nasib dari penyihir Tudia lainnya, Jhun, Elle, Kai, Moe, Fiona, Becca, Ava, Dann, Dean. Mengingat Dean, tubuhku mulai bergemetar, seakan memohon jika dia selamat, mengingat tancapan belati Naya ke jantungnya.

"Niel...." Suara Khaya samar-samar terdengar.

"Niel"

"Niel!!" sontak Khaya menyadarkanku dari pikiranku sendiri.

Aku menatap kearahnya, tanpa kusadari butiran air mata membasahi mataku. Aku menahan agar air mataku tidak membasahi pipiku. Tidak tahu sejak kapan, aku merasa diriku semakin tidak berguna. Khaya memghampiri diriku, menenangkan diriku, dan dia hebat dalam hal ini. Mungkin karena dia, karena ada dia, aku tidak perlu terlihat teguh dan kokoh didepannya.

WARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang