Mengingat segala tentangmu, adalah penyiksaan terbesar yang selalu ku rasakan.
~~~
Astero menghela napas. Bertemu dengan mantan yang memang baru putus kemarin memang tak mudah. Rasa sesak dan sakit pasti hinggap tanpa diminta. Dan sampai sekarang, Astero masih belum mendapat jawaban tentang alasan cowok itu harus meninggalkannya.
Gadis itu akhirnya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Lebih baik ia fokus ke arah olimpiadenya yang akan berlangsung minggu depan.
Mungkin melampiaskan emosi kepada buku-buku akan lebih baik ketimbang menangis di depan teman kelasnya.
Gadis itu melepas sepatunya dan menaruhnya di tempat sepatu. Astero masuk ke perpus melewati pintu otomatis yang dipecah menjadi dua bagian. Yang kanan untuk log in, dan yang kiri untuk log out. Selain itu, terdapat juga finger print, atau yang biasa dikenal dengan absensi sidik jari yang menggunakan jempol kanan untuk mengindentifikasi identitas diri.
Gadis itu meletakkan tasnya dan mengambil dua buah buku fisika yang ada di rak perpus. Pelan tapi pasti Astero mulai memahami maksud tiap soal dan pembahasan yang ada disana. Astero hanya memanfaatkan waktu sengganggnya untuk membaca sembari menunggu guru pembimbing datang ke perpustakaan SMA.
***
"Lo putus sama Kak Diego?" sebuah pertanyaan yang dilontarkan Diana sontak membuat Astero langsung menyemprotkan Hilo dingin yang baru saja ia beli dari kantin.
Gadis itu melebarkan matanya ke arah Diana. "Darimana kamu tau?" tanyanya heran.
"Lo gak tau ya? Kak Diego kan lagi deket sama Kak Livia, malah ada kabar mereka deketnya seminggu yang lalu. Dan tadi siang, mereka berdua malah berduaan di kantin." Astero terdiam. Gadis itu menatap nanar gelas plastik yang berisi Hilo dingin miliknya. Ada rasa sakit saat tau bahwa mantan pertamanya itu ternyata sudah menjalin kasih dengan kakak kelas satu angkatan di atasnya.
"Meskipun Kak Diego gak bilang, tapi banyak orang berspekulasi bahwa lo putus sama Kak Diego. Ya kalau dilihat-lihat dari perlakuan Kak Diego ke Kak Livia, emang bener-bener romantis."
Astero menatap Diana yang duduk di hadapannya. Gadis itu mencoba tersenyum ke arah teman lain kelasnya yang tengah makan tela-tela rasa balado itu.
"Aster, gue gak maksud----"
"Gue ke belakang dulu ya." belum selesai Diana menyelesaikan kalimatnya, Astero sudah memotongnya duluan. Gadis itu buru-buru berlalu ke kamar mandi dengan membawa sebuah buku ekonomi akuntasi di tangannya.
***
"Diego."
Cowok beriris mata hijau itu menoleh saat namanya dipanggil seseorang. Diego menatap seorang cowok dengan tatapan bertanya.
"Gue denger lo deket sama Livia ya?"
"Apa urusan lo?!" Bukannya merasa tersinggung, cowok itu malah tersenyum pelan.
"And than, lo putus kan sama adik kelas berotak einstein itu?" Tatapan Diego semakin menajam. Ia tidak suka ada orang yang terlalu ikut campur tentang kehidupannya.
"Lo brengsek banget, ya?" Diego mendesis. Cowok itu menatap tajam ke arah sang cowok tadi. "Well, lo manfaatin dia cuman buat ngerjain pr lo doang. Dan saat lo gabutuh, lo tinggalin dia gitu aja."
Tangan Diego mengepal. Cowok itu tidak suka ada orang yang mencampuri segala kehidupannya. Diego punya alasannya sendiri untuk segala aktivitasnya.
Cowok itu menatap Diego dengan tatapan menantang.
"Nanti jam empat sore gue tunggu di gang sebelah. Gue tau lo bukan pecundang," merasa egonya disentil, Diego langsung tersenyum tipis.
"Gue pasti dateng------Lo tunggu aja," ujarnya lalu pergi begitu saja.
***
"Tero, lo pulang sendirian?" Astero mengangguk. Ia tersenyum ke arah kakak kelasnya yang kini tengah berada di hadapannya.
Cowok yang akrab disapa dengan Alino itu menoleh ke arah di sekitarnya. "Ter, jalannya sepi? Lo yakin pulang sendiri? Mau bareng gue?" Astero menggeleng. Gadis itu tersenyum tipis.
"Tidak usah, kak. Saya bisa pulang sendiri."
"Gue tungguin sampai angkutan umumnya dateng, ya." Lagi-lagi Astero menggeleng. "Tidak usah, kak. Aku gak papa, kok. Udah biasa nunggu sendiri disini."
Alino mengangkat salah satu alisnya, "Lo yakin? Ini sepi, loh. Udah sore juga."
"Gak papa, kak. Emang biasannya aku nungguin sendiri kok. Cuman hari ini emang agak sorean aja. Jadi, harus menunggu angkutan umum lebih lama." ujarnya diiringi senyum tipis yang penuh keyakinan.
"Kakak duluan aja. Lagian kakak pasti capek habis latihan basket." Alino tersenyum. Cowok itu mengangguk pelan. Setelahnya ia melajukan sepeda motornya dan meninggalkan Astero yang masih berdiri di depan gerbang sekolah.
Nyatanya meskipun tidak setampan Diego, Alino memiliki kepribadian yang jauh lebih sempurna. Cowok itu sangat ramah, peduli sesama, dan tidak egois pastinya.
Pernah dulu Alino menembaknya dikala ia pertama masuk SMA, tapi Astero menolak dengan alasan yang sangat klasik---fokus belajar. Tapi tak lama setelah itu, ia malah menerima ajakan Diego untuk pacaran. Munafik sih, memang. Tapi apa daya. Astero juga menyukai Diego.
Tapi yang ada, hubungan mereka malah berakhir dengan tidak semestinya.
Tapi sampai saat ini, Alino masih ramah terhadapnya. Sikapnya tidak berubah dari dulu. Meskipun Astero sudah menolaknya dan berpacaran dengan teman seangkatannya, Alino masih peduli dengan gadis itu.
Mengingat sang mantan, lagi-lagi rasa sesak tanpa diminta tiba-tiba hinggap di hati gadis itu. Astero menghela napas. Tidak baik untuknya mengingat cowok itu terlalu lama. Karena percuma, yang ada ia malah akan merasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asteroica Mulatta
Teen FictionBiarkan aku mencintaimu dengan caraku sendiri. Mungkin hubungan kita sudah berakhir dan ditelan oleh waktu, tapi di setiap celah di hatiku, di setiap alirah darah yang mengalir di organ tubuh dan sistem peredaran darahku, juga di setiap helaan nafas...