1. Kemauan

616 192 133
                                    

Kali ini bintang bertebaran, terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang terlihat kelabu namun tak kunjung menumpahkan air yang telah lama awan pendam.

Jakarta tetaplah Jakarta, yang padat dan terkenal dengan kesibukannya. Kota metropolitan. Jangan heran jika orang-orangnya juga banyak yang menggilai pekerjaan mereka.

Ting tong ....

Wanita paruh baya dengan piyama tidur merah melangkah cepat menyambut kedatangan sang suami. Membuka pintu bercorak ukiran klasik yang terkesan tinggi dan gagah di depannya.

Cup.

Satu kecupan mendarat mulus di kening lebar istrinya. Burhan Wijaya, tersenyum manis menunjukkan deretan gigi putihnya yang terawat. "Assalamualaikum sayang ...."

"Waalaikumsallam, Papa." jawabnya malu-malu. Terlihat jelas dari semburat merah yang ada di kedua pipi Hani.

Mereka melupakan satu orang yang sedang mengerjakan proposal di depan TB, ia mendengus. Bukan hal baru baginya jika tiap malam kedua orangtuanya akan melakukan adegan romantis di depannya tanpa tahu malu.

Mereka berdua berjalan perlahan, dengan Hani yang sudah melingkarkan tangannya di pundak Burhan. Hani baru ingat, ia ingin mengatakan hal ini kepada suaminya.

"Pa, Papa tahu nggak? Tetangga sebelah menantunya udah mau lahiran tau," Burhan menatap istrinya sebentar, lalu menarik tangannya guna membuka simpul dasi kerjanya yang terasa mencekik sedari tadi. "..., Mama jadi pengen juga deh." sambung Hani.

Langkah keduanya terhenti di ruang keluarga yang cukup luas. Burhan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Sedangkan Hani memilih untuk pergi ke dapur, guna menyiapkan teh hangat untuk suami tercinta.

"Kapan nikah, kamu?" tanya Burhan santai. Namun tak ada jawaban yang terdengar. Nathan menutup laptopnya perlahan, sebelum itu ia sudah menyimpan berbagai dokumen yang baru saja ia kerjakan.

Menghela napas sejenak, Nathan berkata, "Nanti." Cukup singkat dan padat. Burhan memperbaiki duduknya saat Hani datang dengan senampan cemilan dan juga teh hangat.

"Nantinya itu kapan? Hm?" sahut Hani bertanya. " Kamu ini gimana sih? Mama pengen kamu cepet-cepet nikah loh padahal ...." sambungnya ikut mendudukkan diri di samping sang putra pewaris tunggal. Hening menyelimuti mereka cukup lama, hanya ada suara bising yang berasal dari TV di depan mereka.

"Ah Papa tahu, maksudnya nanti itu apa."

Ucapan Burhan barusan membuat Nathan dan Hani menoleh antusias.

"Apa?" beo mereka secara bersamaan. Penasaran.

"Nanti, nunggu calonnya ada. Iya kan, Nath?" Burhan terkekeh di akhir kalimat. Hani ikut tersenyum geli.

"Iya juga ya Pa ... gimana kalo Mama bantu cariin?" tawar Hani antusias. Jelas Nathan mengerti apa yang ibunya maksud. Arnathan Dinar Wijaya bukanlah remaja belasan tahun yang tak mengerti maksud dari perkataan Hani barusan.

Lagi-lagi Nathan harus menghela napas. Bukannya tak mau, tapi ia belum ingin. Bahkan sedikitpun ia belum kepikiran sampai ke sana. Di usianya yang saat ini 26 tahun, Nathan masih fokus dengan tanggung jawab pekerjaannya.

"Mama punya kenalan, kalo kamu mau kita bis --"

"Enggak, Ma." singkat namun terdengar dingin.

Hani yang merasa permintaannya ditolak segera menegakkan tubuhnya."Kamu bantah Mama? Jahat kamu nak. Mama cuma pengen nimang cucu di usia Mama yang udah gak muda lagi ini." Nathan menatap Mamanya sendu, ada guratan kekecewaan di matanya.

Tak tega.

Kata yang mampu menggambarkan isi hati Nathan terhadap sosok wanita di depannya. Tangannya terulur untuk menggenggam kedua telapak tangan yang sedikit berkerut itu. Ia berusaha mengucapkan kata yang sepertinya sulit untuk ia ucapkan. "Ma, aku minta maaf ak-" Kalimat yang akan Nathan ucapkan terpotong begitu saja.

"Mama kamu yang mengandung kamu loh Nath, dia gak pernah ngeluh sedikitpun ke Papa, padahal Papa tahu, menjadi seorang wanita hamil itu berat." Nathan yang membelakangi papanya merasa terenyuh. Genggamannya menguat, begitupun Hani yang juga menggenggam tangan putranya erat.

"Kamu tahu nak, ngedapetin kamu itu susah. Mama harus rela kehilangan tiga kali demi mempertahankan kamu. Begitupun setelah kamu lahir dan minta adik, kami gak bisa nurutin kamu kan? Karena itu susah bagi Mama." Cairan bening menetes. Nathan benar-benar tak sanggup melihat ini. Secara refleks ia mengusap pipi halus sang mama.

Dadanya bergemuruh, tanpa aba-aba Nathan merengkuh tubuh Hani erat, ia memeluk sang ibunda.

Namun, di lain sisi, sebelah mata Hani berkedip memberikan isyarat 'berhasil' kepada suaminya. Burhan pun juga membalasnya dengan membentuk tanda 'oke' di udara.

 Burhan pun juga membalasnya dengan membentuk tanda 'oke' di udara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terimakasih, telah membaca cerita di atas.
Selalu tinggalkan komentar positif serta bintang kalian ya ....

HEART HARBOURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang