7. Siapa ya?

274 77 34
                                    

Gerimis datang, padahal ini baru jam tujuh kurang lima belas menit, pagi. Bahkan matahari yang hendak menyorot aktivitas manusia pun mengurungkan niatnya.

Sruupp ....

Burhan menyeruput teh buatan sang istri sebagai penutup sarapan. "Jangan pulang malem-malem ya, Pa .... " Ia menoleh Hani sekilas. Wanita yang sudah lebih dari dua puluh tahun ini mendampingi lika-liku hidupnya.

Senyuman terbit di wajah tampan Burhan. "Iya sayang ... nanti aku usahain pulang cepet." Tangan Burhan yang bebas mencubit pipi Hani gemas, Hani pun menanggapi dengan senyuman manisnya, bahkan teh hangat yang barusan Burhan minum pun kalah manis.

"Nath, kamu juga jangan pulang malem-malem," Nathan mengalihkan pandangannya dari piring. "kita mau ketemu calon besan, dan kamu ... ketemu calon istri." lanjut Hani, cekikikan sendiri di akhir kalimat.

Nathan menyandarkan punggungnya, hembusan napasnya terdengar berat, namun senyum di bibirnya tetap tersungging. Sorot mata sendunya berkedip lemah, namun ia menyempatkan untuk bertanya, "Jam berapa, Ma?"

"Sekitar jam delapan malem."

Meneguk air putih hingga tandas, Nathan berucap kembali, "Aku ada meeting, kata Papa itu penting."

Burhan membelalakkan matanya berusaha menyangkal. "Ngada-ngada kamu. Kapan Papa ngomong meeting sama ——" Kalimat Burhan terpotong.

"Kata Papa meeting sama siapa pun itu penting, kita gak boleh beda-bedaan mana perusahaan gede dan mana perusahaan kecil, kan?" tutur Nathan, membuat Burhan gelagapan.

Iya juga.

"Udah, buruan berangkat, keburu macet."

***

Seorang gadis melambaikan tangannya dari kejauhan. "Wei! Pagi Lis .... " sapa Nanas saat dirasa jaraknya sudah lumayan dekat dengan gadis berkuncir kuda.

Yang disapa ikut melambaikan tangan dan menunjukkan senyuman termanisnya. "Pagi ... uculku." balas Chalista.

"Dianter?"

"Iya nih, daddy maksa Pak Firman buat nganter."

"Yah ... kok gitu?" Chalista hanya mengedikkan bahu.

Pelajaran pertama adalah matematika. UTS tinggal tiga hari lagi. Dengan jadwal sains dan prakarya di hari Kamis, English language dan PKN di hari Jum'at, serta IPS dan seni budaya di hari Sabtu.

Tak lama, bel istirahat berbunyi. Semua siswa/i berhamburan menuju kantin, guna mengisi perutnya yang lapar.

"Gimana? Lancar?" tanya Hilda yang datang dengan segelas es teh di genggaman.

Nanas yang tadinya menelungkupkan kepala di lipatan tangan buru-buru bangun dan menyahuti, "Lancar pala lu kotak! Susah, bego!"

"Mau nyontek kanan-kiri kagak ada yang kenal juga." Chalista menyahuti.

Bersamaan dengan itu pesanan mie ayam mereka sampai. Chalista dan Nanas membantu ibu kantin menata pesanan, sedangkan Hilda memposisikan tubuhnya untuk duduk.

"Yaudah nyontek depan-belakang dong." Chalista dan Nanas membolakan matanya memelototi Hilda, dan tak disangka-sangka jitakan pedas mendarat di ujung kepalanya.

Ctaak.

Hilda mendengus sebal. Gadis dengan perawakan lebih tinggi di antara mereka itu mengadu sakit. "Sakit tau!"

"Ruangan gue dijaga Bu Muslimah, gak mungkin bisa geraklah kita. Auto jadi patung." lirih Nanas, si cewek berambut sebahu.

Bibir Chalista mengerucut meniup sendokan pertama yang masih mengeluarkan kepulan asap. "Gue lebih parah lagi, masa ... "

"Siapa?" Antusias Hilda dan Nanas membuat Chalista berpaling sebentar, lalu menjawab, "ikan balon."

"Wah ... parah sih." beo Hilda dengan gelengan kepala pelan.

Ikan balon adalah sebutan yang diberikan anak-anak SMA 45 Jakarta untuk si ibu dengan bobot yang lumayan berlebihan dengan name tag Hanum Winarti, S. Pd. Dibandingkan dengan guru-guru yang lain, guru kesenian yang juga merangkap di bidang keterampilan itu terkenal akan ucapannya yang terlampau kasar.

Ekor mata Nanas bergerak pelan. Menatap sosok yang baru-baru ini mereka bicarakan. "Ssst ... liat tuh! Itu kan gebetan barunya Mella." setelah itu ia menyempatkan melahap sendokan di tangannya yang sempat ia anggurkan.

"Lah iya ... teliti banget lo, tadinya gua pikir anak sekolahan lain. Lagian mukanya jarang nongol sih."

"Jarang nongol gimana, Lis? Lo aja kalik yang baru tau ... dia ini anak band. Fuckboy gitu, samaan lah sama si Mella, dia kan juga fuckgirl." papar Hilda, sehingga membuat Chalista manggut-manggut. "Jadi penasaran gue, kira-kira si fuckgirl sama si fuckboy kalo disatuin jadinya kek gimana ya?" gumam Hilda dengan mulut penuh.

Hilda yang duduk bersebelahan dengan Nanas memelototkan matanya sebal, karena cewek dengan rambut pendek itu tiba-tiba menyenggol bahunya dengan sengaja. "Eh ssst ... dia ke sini, gileeee ...." ucapan Nanas barusan membuat Hilda dan Chalista buru-buru mengangkat wajahnya, mencari kebenaran.

"Chalista ya?"

Lagi-lagi Nanas menyenggol pundak Hilda dengan keras. "Biji gilee! Kenal temen kita cuy." Sedangkan Hilda hanya memberikan tatapan malas, seolah sedang berkata apaan sih lo, lebay tau gak! lewat tatapan matanya.

Nih cowok kenal gue? pikir Chalista menerka.

Chalista yang sebelumnya meneguk minuman buru-buru menjawab, "Iya, ada apa ya?"

"Rumah lo deket rumahnya Mella, kan?"

"Enggak, jauh."

Jawaban Chalista membuat cowok berambut lumayan panjang itu terlihat gelagapan. Tangannya yang bebas dari saku celana mengusap tengkuk pelan, lalu ia kembali bertanya, "Tapi searah 'kan?" Chalista berdehem sebagai jawaban.

Beberapa pasang mata terlihat sedang memperhatikan mereka. Apalagi saat pangeran sekolah yang dikabarkan dekat dengan ratu cabe dengan santainya menghampiri meja Chalista dkk tadi.

"Bisa anter gue ke rumah dia? Barusan dia pulang, katanya sakit. Nanti rencananya gue mau jengukin dia bentar." jelasnya.

"Mella pulang? Kok kita gak tau ya?" bisik Hilda ke Nanas, Nanas yang sibuk dengan minumannya hanya mengedikkan bahunya acuh.

Chalista mengangguk setuju. Air muka pria berusia delapan belas tahun itu mendadak cerah dan sumringah. "Oke, nanti begitu bel bunyi gue samperin lo."

"Gak perlu," tolak Chalista, "gue samperin lo di parkiran." pungkas Chalista dengan nada bicara yang lumayan cuek.

Kedua tangan pria yang akrab disapa Raffa itu kembali terbenam di saku celana, setelah itu ia mengucapkan, "Thank's." Lalu melenggang pergi.

"Dia siapa sih?"

"Lo beneran gak tau?"

Karena aku dan kamu adalah ketidak sengajaan yang menjadi ketetapan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karena aku dan kamu adalah ketidak sengajaan yang menjadi ketetapan.

Jangan lupa vote dan komennya.
Jadilah pembaca yang bijak!

HEART HARBOURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang