2. Kesan pertama

389 158 63
                                    

Pukul enam lewat empat puluh delapan pagi. Kilatan cahaya sang surya mulai nampak lebih terang daripada beberapa menit lalu. Matahari dengan anggunnya memancarkan kehangatan untuk dunia.

Jalanan ibukota terlihat lebih padat daripada biasanya. Kembali dengan kesehariannya, polusi udara kian menguasai.

Gadis berseragam putih abu-abu dengan sepatu hitam berusaha berjalan cepat dengan langkah pendeknya. Kali ini ia akan membawa kabur mobil Mini Cooper yang baru saja lunas dari cicilan.

Namun, dari dalam rumah terdengar teriakan yang memekakkan telinga. "Chalista! Mau kamu bawa ke mana kunci mobil mommy?!"

"Aku pinjem mom! Mau pamer ke temen-temen, kalo mobilnya udah lunas!" sahutnya ikut berteriak dari samping pintu mobil yang terbuka.

Mobil melaju cukup pelan. Maklum, gadis SMA kelas akhir yang satu ini baru saja belajar berkendara akhir pekan lalu. Tapi cukuplah, sudah bisa dikatakan lancar. Mobil dengan nomor polisi B 5412 I itu berhenti kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah.

"Duh ... lampu merah segala! Udah jam berapa nih?" desisnya.

Cewek remaja berusia 18 tahun, dengan nama lengkap Chalista Avindya Bramasta itu melirik arloji yang ia kenakan. Lima menit lagi pintu gerbang sekolahnya akan segera ditutup.

Telat nih pasti ....

Lamunan Chalista buyar setelah telinganya mendengar suara goresan yang berasal dari PINTU MOBILNYA?!

Tanpa ia lihat pun sepertinya dugaannya benar jika mobil yang ia kendarai ini tergores cukup parah.

Kaca mobil turun perlahan. Mata jernih dengan bulu mata yang tipis menatap nyalang seseorang di balik helm fullface hitam. Seperti tak ada rasa bersalah. Tentu saja hal tersebut membuat Chalista marah, apa lagi ini mobil ibundanya yang baru saja dinyatakan lunas.

"Permisi. Maaf ya Mas, kalau mau berhenti itu kasih jarak dikit. Liat! Mobil saya jadi lecet kan?!" jelas Chalista menahan kekesalan.

Mulutnya sudah komat-kamit menyumpah serapahi pelaku. Keheningan yang ia dapatkan, hanya suara deru kendaraan yang terdengar mendominasi.

Tahan, jangan es mosi ....

"Oke, karena ini bukan mobil saya. Saya minta ganti rugi." Chalista menengadahkan tangan kanannya keluar dari jendela.

Satu detik.

Dua detik.

Lima detik.

Tujuh detik.

Sepuluh detik.

Sampai dua jam pun sepertinya hasilnya akan tetap sama.

Tanpa Chalista sadari, lampu merah kini telah berubah menjadi hijau. Motor besar dengan salah satu merek dunia itu melaju kencang. Meninggalkan Chalista dan kekesalannya.

Gadis yang berusaha menahan kekesalan menganga tak percaya, menatap kepergian motor berwarna hitam abu-abu itu. "Bener-bener! Bangsat emang! Gak ada sopan santunnya banget tuh Cowok!" geramnya, tangannya mengepal erat lalu memukul kemudi.

Kepalanya tertunduk lalu tertelungkup di lipatan tangan yang berada di atas kemudi. "Nanti kalo dimarahin mommy gimana? Kalo uang jajan gue dipotong, daddy mau nambahin gak ya? Aarrgh! Pusing gue!"

Tin tin ....

Riuh klakson kendaraan mengagetkannya. Ia mengangkat kepala dan matanya melihat kaca spion bagian tengah, ternyata banyak sekali kendaraan yang mengantri menunggu mobilnya kembali berjalan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Chalista segera melajukan kendaraannya.

***

Pake motor aja, mungkin jalanan macet.

Kalau tahu ia akan menyerempet mobil di sampingnya tadi, mungkin Nathan memilih untuk menaiki mobilnya saja. Tapi jika sudah begini apa boleh buat.

Tok tok tok.

Suara ketukan yang lumayan nyaring terdengar, membuat Nathan tersentak kaget.

Setelah meminimalisir kekagetannya ia segera mengizinkan seseorang untuk memasuki ruangannya. "Masuk." titahnya.

Dari balik pintu kaca muncullah seorang wanita bertubuh tinggi semampai dengan balutan blazer dan rok span selututnya. Lesung pipinya terlihat saat senyumnya terbit dengan manis.

"Selamat pagi, Pak Nathan," sapanya sopan. Nathan hanya mengangguk dengan bolpoin di genggaman. "..., jadwal Bapak pagi ini sedikit longgar, jam delapan ada rapat dengan dewan komisaris, setalah itu ... ah iya, meeting dengan Pak Burhan diajukan menjadi pukul sepuluh, setelahnya Bapak bisa beristirahat." jelas wanita dengan name tag Olivia Maharani.

"Ya, terimakasih, Oliv."

"Sepertinya Bapak banyak pikiran, apa perlu saya pesan kan kopi untuk Anda, Pak?"

"Tidak perlu."

Oliv tersenyum ramah, lalu berkata, "Baik, Pak. Jika ada tambahan atau perubahan jadwal akan saya kabari, saya permisi." Badannya membungkuk hampir sembilan puluh derajat. Nathan mengangguk dengan senyuman singkatnya sebagai jawaban.

Suara ketukan bolpoin beradu dengan meja besi berlapis kaca kembali terdengar, memenuhi keheningan pagi ini.

Bukan maksud Nathan menghindar, bahkan untuk mengganti rugi lima kali lipat pun Nathan sanggup. Sungguh.

"Sebenernya gue bisa ganti rugi di tempat itu juga. Tapi, kenapa gue ngehindar ya?"

Bego. Pikir Nathan memaki dirinya.

Nathan hanya tak suka jika dirinya dicap seseorang, sebagai lelaki yang tak bertanggung jawab.

Persetan dengan kejadian tadi pagi!

Ini terbilang masih sangat pagi untuk ia gunakan melamun. Masih banyak berkas-berkas yang harus Nathan kerjakan.

Ah Nathan pusing!

Ah Nathan pusing!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku pengen kalian paham, nulis itu gak segampang ngabisin uang.

Tinggalkan komentar positif dan bintang kalian ....

HEART HARBOURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang