4. Kesan kedua

304 103 50
                                    

Pagi ini adalah hari di mana semua siswa/i kelas 12 dari SMA 45 Jakarta akan mengikuti ujian tengah semester. Tadi malam Chalista sudah belajar mati-matian untuk ujian tengah semesternya. Bahkan karena sangat ingin mendapatkan nilai bagus —agar kado yang dijanjikan Randra segera terpenuhi— Chalista sampai rela belajar di meja makan sambil sarapan.

Randra dan Sari saling melempar tatapan penuh tanya. Mulutnya yang penuh dengan sumpalan roti selai tak menghalangi aktivitas tangannya yang terus membuka lembar demi lembar buku tebal di hadapannya.

"Kamu sehat, Lis?" tanya Randra. Chalista berdehem untuk mengiyakan. Chalista sehat, sehat sekali malah.

Setelah menelan roti, pandangan mata sipitnya mengarah ke depan, di mana terdapat Sari di sana. "Mom, aku pinjem mobilnya lagi."

Sari menegakkan tubuhnya antusias. "Gak boleh! Kamu kan udah janji gak akan minjem lagi."

"Aku kan udah setuju mau di kenalin." Sari mendengus setelah mendengar perkataan anaknya.

Jemari lentik itu meraih secangkir susu di depannya, beberapa detik setelahnya susu vanila itu sudah tandas tak tersisa.

"Aku ambil kuncinya ya Mom. Bye Mom, Dad ... Assalamualaikum."

Sari ingin meledak saja rasanya. Mobil itu hasil jerih payahnya sendiri tanpa meminta belas kasihan dari Randra, oleh sebab itu ia sangat menyanyangi mobilnya.

Tangan Randra mengelus punggung Sari lembut. Lalu ia berkata, "Udah gak apa. Nanti kalo lecet lagi, aku ganti baru." Randra mengulas senyum manisnya yang seketika menular kepada sang istri.

"Makasih ya, Dad." Senyumnya mengembang.

***

Pria dengan proporsi tinggi 184 cm memakai balutan kaos berwarna coklat dan jaket hitam itu memacu kuda besinya untuk membelah jalanan Jakarta yang terbilang cukup sepi dari hari-hari biasanya.

Arnathan, CEO muda yang sedang meliburkan diri di hari Senin. Bukan apa-apa hanya saja ia ingin sedikit refreshing untuk otaknya yang jenuh. Bukan libur sepenuhnya, karena nyatanya petang nanti ia akan kembali bekerja.

Speedometer menunjukkan angka delapan puluh, cukup pelan bagi Nathan. Ia berusaha menikmati angin pagi yang terasa sepoi-sepoi di kulitnya.

Sementara itu ....

Chalista mengendara dengan santai, apalagi kali ini ia benar-benar sangat berhati-hati agar tidak terjadi insedin seperti beberapa hari yang lalu.

Suara lagu yang berasal dari radio membuat kepala gadis dengan cepol asal-asalannya ini sedikit bergoyang. Matanya menyipit, ia mengernyit, berusaha memastikan siapa yang ia lihat.

Ini dia yang gue tunggu-tunggu ....

Tanpa berpikir lebih lama lagi, dengan segera Chalista menambah laju kecepatan mobil, berusaha mengejar motor di depannya. Setelah dirasa cukup dekat ia segera membanting setir kemudinya bersamaan dengan itu Chalista juga menghentikan mobilnya bak peran pengganti profesional di film laga.

Setelah decitan rem terdengar bersahutan memekakan telinga, kedua kendaraan ini berhenti. Buru-buru ia keluar dan menghampiri pemuda berjaket hitam itu.

Gue yakin gue gak salah orang!

"Heh! Turun lo!"

Masih dengan kebingungannya, Nathan dengan cepat menanggalkan helmnya, lalu ditaruhnya di atas tangki. Ia juga kesal, tak ada angin tak ada hujan, seorang perempuan dengan berani menghadang jalannya.

"Ini Mas-mas yang kemaren'kan?" tanya Chalista, tak ada jawaban.

Mas? Gue dibilang Mas-mas? Ya ampun.

Menyisir rambut hitamnya dengan jemari, Nathan membuka suara singkat, "Kenapa?" Tatapannya datar, tak bersahabat. Chalista jadi takut sendiri. Kalau sebenarnya dia orang jahat bagaimana.

"Ehm ... masnya inget'kan? Singkat aja, gue minta ganti rugi ke Masnya." ucap Chalista, sedangkan Nathan masih setia dengan tatapan datarnya. Tangan yang berada di saku celana membuat kesan sangar menguar dari diri Nathan.

Semilir angin yang menerbangankan sebagian rambut hitam keduanya. Chalista melambaikan tangan di depan wajah pria yang belum ia ketahui identitasnya itu. "Hellow~ masnya ngelamun? Udah deh, buruan sini! Gue keburu telat nih." Kedua tangan di pinggang dengan pelototan yang sedikit menyeramkan tapi didominasi keimutan itu membuat sudut bibir Nathan sedikit terangkat.

"Dih! Masih diem aja, gue minta ganti rugi anj*ng!" pekiknya lumayan keras. Maafkan Chalista, ia tak sengaja menyebutkan makhluk berliur yang satu itu.

Nathan menghela napas kasar. "Gue manusia." sangkalnya santai, dengan nada dan wajah yang tentu saja selalu datar.

Tadinya Nathan mau meminta maaf secara formal setelah mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Namun melihat kelakuan gadis di depannya membuat Nathan mengurungkan niat baiknya.

Memutar bola matanya, Chalista kembali berkata, "Terserah! Mau lo manusia, mau anj*ng atau apalah itu, gue gak peduli ya Mas ... gue cuman minta ganti rugi, udah itu aja!" Sebelah tangannya mengadah, untuk meminta uang ganti rugi.

Menarik dompet kulit dari saku celananya. Nathan mengeluarkan enam lembar seratus ribuan dan selembar tanda pengenal.

"Hubungi, kalo itu kurang."

Pria berbadan jangkung itu melangkah lalu memakai helmnya dan menstarter motor, lalu meninggalkan Chalista yang berdiam diri di sana dengan perasaan geram.

Pria berbadan jangkung itu melangkah lalu memakai helmnya dan menstarter motor, lalu meninggalkan Chalista yang berdiam diri di sana dengan perasaan geram

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Biji butuh waktu untuk tumbuh, bunga butuh waktu untuk mekar.

Ayo dukung cerita ini!
Berkomentar positif dan jadilah pembaca yang bijak.

Nb : Gambar di mulmed bisa kalian gunakan untuk penggambaran visual Nathan.

HEART HARBOURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang