Bab 4

155K 11.2K 582
                                    

VOTE 2K dan Komentar 300 untuk part selanjutynya wkwkwk sekalian nabung dulu mau tahu seheboh apa kalian sama cerita ini wkwkwkwkwk XD

Enjoy, sorry typo:*

**

Fika merasa dirinya menjadi orang paling bodoh sekarang. Duduk diam di atas Sofa dengan perasaan tidak nyaman. Bahkan kikikan geli dua orang dewasa yang membicarakan masa lalu sudah terlena dengan dunia mereka berdua, mengabaikan Fika sepenuhnya yang diam tidak bergerak sedikitpun.

Jangankan untuk bergerak, bernapas saja sekarang berubah menjadi manual. Jantung dan jiwanya tidak bisa santai. Kenapa Fika berlebihan seperti ini? Tidak, Fika terlebihan. Jika orang lain berada di posisinya sekarang, Fika yakin akan merasakan kecemasan yang sama.

Oh ayolah, bagaimana rasanya saat tahu cowok yang belakangan ini Fika kejar untuk sebuah ambisi mendapatkan nomor ponsel, ternyata adalah mantan cinta monyetnya!

Terlalu lebay, mungkin. Tapi cinta monyetnya dengan Ipta benar-benar membuat Fika kembali bergidik geli. Ipta yang dulu kurus kerempeng, botak dan cengeng. Cowok pendek yang hobi sekali menempel kepadanya. Kadang dia menangis saat Fika meninggalkannya pergi. Pokoknya, dulu Ipta itu list yang paling mengganggu di hidup Fika.

Fika berpacaran dengan Ipta juga kerena sebuah tantangan dari teman-temannya. Karena Ipta sering kali menempel kepada Fika, teman-teman Fika menantang Fika menjadikan Ipta pacar dengan embel-embel akan diberikan boneka yang saat itu sedang boming dari teman-temannya.

Sedari kecil, jiwa tantangan Fika memang luar biasa. Jadi jangan terkejut jika melihat Fika yang sudah dewasa selalu ambisius dan menerima tantangan orang lain, yang penting menguntungkan.

Tapi, kenapa Ipta yang dulu berubah drastis? Kenapa wajah yang sering menampilkan ekspresi melas juga cengeng berubah menjadi datar dan menyebalkan? Apa selama ini dia berteman dengan tembok sampai wajahnya tidak bisa berekspresi? Dan kenapa Fika tidak menyadari lebih dulu jika nama panjangannya Geovan Pradiptaa.

"Kampret!" umpat Fika, membuang napas kasar.

"Ngumpat itu udah jadi kebiasaan lo ya?"

Suara itu menyadarkan Fika. Fika terkesiap lalu mendongak. Geovan berdiri dengan pakaian yang sudah di ganti. Fika menunduk, menggaruk dahinya.

"Kok bisa sih?" gumam Fika.

Geovan yang mendengar gumaman itu menaikan satu alisnya. "Apa?"

Fika memejamkan mata, kembali membuang napas kasar. Bangun dari duduknya dan berdiri di depan Geovan. "Kok bisa lo jadi berubah begini? Dulu lo pendek kerempeng kayak sapu lidi. Sekarang? Kenapa lo bisa jauh lebih tinggi dari gue!" teriak Fika tidak terima.

Geovan masih memberikan ekspresi sama, datar. Sama sekali tidak terusik dengan hinaan Fika barusan. "Lo baru ngaku kalau lo pendek sekarang?"

Fika melotot. "Gue gak pendek ya!"

Geovan mengerutkan dahinya. Mengukur kepala Fika dengan tangannya yang hanya sampai dada Geovan. "Pen-dek."

Fika menggeram tidak terima. "Gue gak pendek! Lo aja yang ketinggian tiang listrik!"

"Ngelak aja terus," Geovan berjalan keluar.

Fika tidak terima, berjalan mengikuti Geovan. "Gue gak pendek! Lo tuh yang ketinggian! Lo baru SMA udah setinggi ini, gimana nanti? Bisa-bisa tiang listrik juga minder lihat lo."

Geovan mengambil bola basket di keranjang, berjalan kembali mengabaikan Fika. Di depan rumah Geovan tersedia lapangan basket yang cukup luas.

"GEOVAN! LO DENGER GAK! TIANG LISTRIK GAK BERPERASAAN! GE─Akh!" Fika memekik jatuh tersandung kakinya sendiri.

Halo, Mantan! (Tersedia Di Gramedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang